Cadar Dipandang Sebelah Mata, Pantaskah Mendapatkan Diskriminasi?

Rhefikha tria
Mahasiswi Ilmu Komunikasi UMY
Konten dari Pengguna
7 Januari 2022 13:19 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rhefikha tria tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber : unspalsh.com
zoom-in-whitePerbesar
sumber : unspalsh.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sedikitnya jumlah wanita bercadar menjadikan mereka termasuk ke dalam bagian kelompok minoritas. Sering kita lihat kelompok minoritas dianggap sebagai sesuatu hal yang tidak wajar dan mendapatkan perlakuan yang berbeda dalam lingkungannya. Dalam lingkungan masyarakat kita muncul sebuah konstruksi yang menganggap bahwa identitas bercadar merupakan tanda radikalisme.
ADVERTISEMENT
Hal ini dipicu oleh pemberitaan media tentang tindak kejahatan yang dilakukan beberapa oknum dengan membawa identitas cadar. Sehingga, hal ini memberikan adanya peluang diskriminasi terhadap wanita bercadar. Tentunya topik pembahasan ini sangat menarik untuk dibahas, bagaimanakah perkembangan cadar? Benarkah cadar merupakan tanda radikalisme sehingga pantas untuk menerima tindakan diskriminasi? Bagaimana pemerintah Indonesia menanggapi kaum minoritas bercadar? Oleh karena itu penulis mengajak para pembaca untuk melihat kelompok minoritas bercadar dalam sudut pandang yang berbeda.
Istilah minoritas diberikan kepada kelompok yang jumlahnya sedikit dibandingkan dengan kelompok mayoritas yang jumlahnya banyak. Seperti yang kita tahu biasanya mereka yang dicap sebagai kelompok minoritas memiliki perbedaan yang mencolok dan dianggap tidak normal oleh kelompok mayoritas. Perbedaan tersebut dapat berupa identitas ras, budaya, bahasa, agama, adat istiadat, pola kebiasaan, pandangan hidup dan orientasi sosial lainnya.
ADVERTISEMENT
Mengupas kelompok minoritas, sebenarnya apa itu minoritas? Menurut KOMNAS HAM, definisi kata minoritas selain dapat dipahami secara numerik yaitu populasi yang sedikit, secara konkretnya kata minoritas juga dapat dilihat dalam hal pengaruh. Hal pengaruh artinya di sini adalah kaum minoritas tidak memiliki pengaruh atau kekuatan yang dominan justru mereka berada dalam situasi yang dirugikan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Jika kita lihat secara global baik di negara maju maupun negara berkembang, kelompok minoritas masih mengalami ketidakadilan dan merasa tersisihkan bahkan ada yang harus menerima perilaku kekerasan dari kelompok mayoritas di lingkungannya. Contohnya seperti kasus kekerasan terhadap kaum minoritas muslim Rohingnya di Myanmar yang beberapa tahun belakangan ini menjadi perhatian publik. Dapat kita lihat kelompok minoritas muslim Rohingnya menerima tindakan diskriminasi dari pemerintah Myanmar.
Sahabat muslim Rohingya berunjuk rasa Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Awal mulanya konflik ini dipicu oleh peristiwa pada tahun 1950-an saat sebagian kaum muslim di bagian Arkan atau Rakhine menyebut diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis yang berbeda dan terpisah, namun klaim tersebut tidak mendapatkan pengakuan dari pemerintah Myanmar sehingga keberadaan mereka tidak diakui dan tidak ada tempat yang aman untuk kaum muslim Rohingnya.
ADVERTISEMENT
Setelah memahami bagaimana realita beberapa kehidupan kelompok minoritas. Lalu, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana realita kelompok minoritas bercadar saat ini di Indonesia? Cadar atau dalam bahasa arabnya, niqab adalah sebuah cara berpakaian perempuan yang tinggal di wilayah gurun pasir. Penampilan wanita bercadar yang biasa kita lihat adalah mereka memakai jilbab yang dalam dan longgar dengan ditambahkan cadar yaitu berupa kain tambahan yang menutupi wajah kecuali mata dan dipadukan dengan pakaian yang longgar misalnya seperti gamis dan biasanya tampil dengan warna yang netral seperti hitam, biru dongker, dan warna netral lainnya yang memberikan kesan anggun.
Rasanya agak kurang jika kita tidak mengupas bagaimana awal kemunculan cadar. Cadar atau chadar dalam bahasa Persia berarti tenda. Perkembangan cadar sendiri dimulai muncul sejak dinasti Hakhamanesh. Di mana pada zaman tersebut, cadar digunakan oleh wanita-wanita bangsawan untuk berpergian ke tempat umum. Niqab merupakan istilah dalam tradisi Arab, kemudian ada lagi istilah burqu’ atau burka artinya kain yang diikatkan ke kepala dan menutupi wajah kecuali mata. Istilah ini terkenal di wilayah bagian Asia Selatan.
ADVERTISEMENT
Menarik juga untuk dibahas, bagaimana pandangan Islam terhadap cadar. Makna menutup aurat dalam agama Islam terbagi menjadi beberapa pandangan di kalangan ulama. Ulama seperti Imam Syafi’i berpendapat, bagian wajah dan kedua belah telapak tangan bukanlah termasuk aurat bagi seorang wanita, hal ini berdasarkan dengan tafsir Al - Qur’an surat An - Nur ayat 31. Kemudian, sebagian ulama lagi berpendapat wajah adalah aurat sehingga harus ditutup dengan kain yaitu cadar dan hanya menyisakan mata saja. Hal ini dapat kita simpulkan bahwa cadar bukanlah sebuah kewajiban bagi seorang wanita Islam dan sebenarnya cadar merupakan sebuah suatu cara berpakaian wanita Arab atau wanita yang tinggal di wilayah gurun pasir yang akhirnya berkembang menjadi kebiasaan dan budaya.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan penjelasan KOMNAS HAM terkait ruang lingkup kelompok minoritas untuk konteks Indonesia, maka kelompok minoritas bercadar termasuk ke dalam bagian ruang lingkup Kelompok Minoritas Etnis. Makna etnis di sini dipahami sebagai penggolongan manusia berdasarkan kepercayaan, nilai, kebiasaan, adat istiadat, norma, bahasa, sejarah, geografis, dan hubungan kekerabatan. Maka dapat kita simpulkan cadar sendiri termasuk ke dalam kategori kebiasaan. Ruang lingkup kelompok minoritas lainnya adalah Kelompok Minoritas Ras, Kelompok Minoritas Agama dan Keyakinan, Kelompok Penyandang Disabilitas dan Kelompok Minoritas berdasarkan Identitas Gender dan Orientasi Seksual.
Indonesia merupakan negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Walaupun begitu ternyata sejarah pernah mencatat bahwasanya jilbab dan cadar pernah mengalami masalah krisis di Indonesia. Kita beralih ke tahun 1982, saat perkembangan Islam dan Gerakan Tarbiyah sangat gencar di kalangan pelajar dan mahasiswa akibat dari dampak ikutan Revolusi Iran. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan aturan baru terkait pedoman seragam sekolah.
ADVERTISEMENT
Aturan tersebut memberikan kerugian kepada para sisiwi yang memakai jilbab, mereka diperlakukan dengan buruk seperti dikeluarkan dari kelas, dilarang ikut melaksanakan ujian, tidak menerima rapor, hingga dikeluarkan dari sekolah. Hal ini terjadi ketika Soeharto masih menjabat sebagai Presiden RI, di mana hal ini merupakan bentuk represif rezim Soeharto. Permasalahan ini juga disorot oleh seorang profesor di Universitas Negeri Australia bernama Ariel Heryanto yang menulis di dalam bukunya berjudul “Identitas dan Kenikmatan: Potret Budaya Layar di Indonesia” tahun 2015.
Mengulik salah satu kasus diskriminasi wanita bercadar yang pernah terjadi di Indonesia yaitu kasus yang menimpa dua mahasiswi bercadar jurusan kedokteran di Universitas Sumatra Utara. Kasus ini terjadi pada 30 November 1999 awal berakhirnya era Orde Baru, di mana dekan fakultas kedokteran mengeluarkan surat keputusan resmi yang berisi larangan memakai cadar di kampus. Alasannya adalah cadar dianggap dapat menghalangi proses pembelajaran dan komunikasi antara mahasiswi dengan dosen serta dianggap menyulitkan kontak dengan pasien ketika bertugas. Mahasiswi bercadar ini kerap mendapat pengusiran paksa untuk keluar dari ruang kelas saat proses belajar mengajar, mendapat ancaman tidak diberi nilai, dikucilkan dalam lingkungan pertemanan, dan masih banyak lagi.
ADVERTISEMENT
Hingga akhirnya, satu mahasiswi memilih untuk angkat kaki dari USU dan satu orang lagi memilih untuk tetap berjuang demi kelulusannya di jurusan kedokteran tersebut. Dan masih banyak lagi kasus diskriminasi yang terjadi terhadap kelompok minoritas bercadar baik di Indonesia maupun di wilayah luar. Pada tahun 2016, salah satu kawasan di Italia melarang memakai cadar. Kemudian, ada juga Belanda yang melarang cadar di tempat-tempat umum seperti rumah sakit, sekolah, halte dan lain-lain.
Poster pemilu yang mendukung larangan menggunakan cadar di Jenewa. Foto: Fabrice Coffrini/AFP
Cadar juga dilarang keras di Chad, hal ini dilatarbelakangi oleh kasus bom bunuh diri pada tahun 2015. Berbarengan dengan Kamerun, lalu wilayah di Nigeria dan Kongo di tahun yang sama mengeluarkan larangan bercadar, larangan tersebut juga berdalih untuk mencegah serangan terorisme. Maka, sebenarnya walaupun Indonesia negara yang bermayoritaskan agama Islam, realitanya juga tidak dapat menjamin keamanan dan kenyamanan hidup bagi kelompok minoritas bercadar.
ADVERTISEMENT
Diskriminasi membuat kelompok minoritas merasa diremehkan sekaligus tertekan dengan kondisi lingkungan yang menyudutkan mereka. Lalu, apa pemicu diskriminasi? Diskriminasi diawali dengan stereotip atau asumsi yang belum tentu benar. Stereotip ini timbul berdasarkan pengalaman yang sebelumnya pernah kita alami, kita lihat atau bahkan hanya sekadar pernah mendengar desas-desus suatu asumsi yang beredar di lingkungan kita.
Perkembangan media juga bisa memicu kita untuk percaya akan suatu stereotip. Padahal pemberitaan di media cetak maupun media massa belum tentu realitanya begitu. Banyak sekali kita temukan berita tindak kejahatan tanda radikalisme yang menyeret identitas cadar yang awalnya hanya sebuah budaya cara berpakaian. Hal ini pun mendorong orang-orang untuk percaya akan asumsi-asumsi negatif yang timbul tentang cadar.
ADVERTISEMENT
Selain dipicu oleh stereotip, keanekaragaman agama yang ada di Indonesia mendorong masyarakat untuk menciptakan sebuah stigma dan pemahaman yang berbeda-beda. Perbedaan ini muncul karena adanya doktrin-doktrin dari agama-agama, perbedaan suku, ras, perbedaan kebudayaan dari kelompok minoritas dan mayoritas. Akhirnya hai inilah yang mendorong seseorang atau suatu kelompok melakukan tindakan diskriminasi kepada suatu kepercayaan.
Setelah jatuhnya rezim Orde Baru, pemerintah Indonesia sendiri sudah mulai menunjukkan perhatian mereka kepada kelompok minoritas yang ada di Indonesia. Salah satunya adalah hadirnya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menjamin kelompok minoritas untuk mendapat perlakuan dan perlindungan yang sama di depan hukum layaknya kelompok mayoritas. Lebih khusus lagi Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi lewat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik), menegaskan kepada negara pihak untuk menghormati hak hak kelompok minoritas meliputi etnis, bahasa atau agama.
ADVERTISEMENT
Besar harapan agar semua pemerintah negara lainnya dapat memperlakukan kelompok minoritas bercadar layaknya kelompok mayoritas. Tentunya mengurangi tindakan diskriminasi ini bisa dilakukan mulai dari diri sendiri seperti untuk selalu bertindak selektif terhadap asumsi atau barita-berita yang sedang ramai dibicarakan. Tujuannya supaya kita tidak dengan mudahnya menyamaratakan oknum-oknum jahat yang memang sengaja menyeret identitas cadar agar terlihat radikal di mata masyarakat.
Pejalan kaki peluk peserta aksi peduli cadar. Foto: ANTARA FOTO/Feny Selly