Mengapa Merundung: Sebuah Kajian Sosiologis tentang Perundungan

Rully Raki
Pengajar Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat (STPM) Santa Ursula
Konten dari Pengguna
16 Maret 2024 22:37 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rully Raki tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bullying di Korea Selatan. Foto: Rawpixel.com/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bullying di Korea Selatan. Foto: Rawpixel.com/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hampir lima tahun belakangan ini kasus perundungan atau bullying sering sekali menjadi masalah yang diangkat dalam pemberitaan-pemberitaan di media. Beberapa waktu yang lalu, kasus yang cukup tenar adalah perundungan yang dilakukan oleh anak seorang artis terhadap teman sekolahnya di salah satu sekolah di Jakarta (kumparan.com, 19/2/24). Entah bagaimana penyelesaiannya, banyak pihak tentu berharap bahwa tindakan seperti ini tidak lagi terjadi.
ADVERTISEMENT
Terhadap masalah perundungan ini, sudah banyak ahli yang berbicara tentang sebab dan akibat. D. Olweus (1999) dalam bukunya The Nature of School Bullying: A Cross-National Perspective, mendefinisikan bullying atau perundungan sebagai sebuah masalah psikososial dengan menghina dan merendahkan orang lain secara berulang-ulang dengan dampak negatif terhadap pelaku.
Korban bullying atau perundungan adalah orang yang mempunyai kekuatan lebih kecil dibandingkan pelaku. Selain mengalami kekerasan fisik, korban perundungan biasanya mengalami gangguan kesehatan mental (Skrzypiec et al., 2012).
Tulisan ini dibuat untuk melihat beberapa sebab yang paling mungkin dan paling dekat mengapa perundungan terjadi dalam perspektif sosiologis yang juga menyentuh aspek psikologis.

Mengapa Orang Merundung?

Kodrat manusia sebagai makhluk sosial selalu membuat manusia tidak bisa hidup sendiri. Manusia selalu membutuhkan orang lain, atau kelompok orang (masyarakat) untuk hidup. Dalam masyarakat itu tentu manusia bisa mewujudkan hal-hal positif dalam dirinya seperti bersosialisasi. Di dalam Masyarakat, manusia juga saling membantu, melengkapi atau pun manusia bisa mengekspresikan dirinya.
ADVERTISEMENT
Namun sayangnya dalam pergaulan yang sama ini, bukan hanya hal positif yang terwujud, tetap hal negatif juga bisa terjadi di sana. Beberapa hal negatif yang muncul dalam kehidupan sosial misalnya seperti konflik atau pertentangan, sikap egois atau menang sendiri atau pengekspresian diri yang merugikan orang lain, seperti tindakan anarkis atau vandalisme atau tindakan yang menimbulkan kegaduhan dan mengganggu ketenangan sosial. Salah satu bentuk ekspresi diri yang negatif pun bisa muncul dalam bentuk tindakan perundungan.
Tidak bisa disangsingkan bahwa manusia memang punya kecenderungan untuk mengekspresikan diri. Namun beberapa orang dalam proses ekspresi diri senantiasa berpretensi menempatkan diri pada posisi superior lalu menganggap orang lain inferior. Akibat dari tindakan ini adalah melihat orang lain menjadi pihak yang harus berada di bawah atau menjadi pihak yang kalah.
ADVERTISEMENT
Sikap atau tindakan yang demikian itu bisa sangat mungkin terbentuk dari mental kompetisi. Selain bahwa mental kompetisi ini sudah ada di dalam pribadi masing-masing orang, mental atau kebiasaan kompetisi ini semakin dipertajam dalam lingkungan keluarga atau lingkungan lainnya.
Namun demikian, lingkungan sekolah bisa menjadi salah satu lingkungan yang semakin mempertajam hal ini, karena orang atau anak-anak akan melihat yang lain sebagai kompetitor bahkan sebagai musuh yang harus dikalahkan.
Parahnya kalau orang lain, itu adalah anak-anak yang lebih lemah, baik secara fisik maupun dalam aspek-aspek lainnya, maka anak-anak itu akan menjadi sasaran yang paling empuk bagi sikap ekspresi diri sebagai sang pemenang atau pihak anak-anak yang ingin jadi yang paling berkuasa. Kondisi ini membuat tindakan-tindakan perundungan menjadi tindakan yang tidak jarang ditemui atau terjadi di Masyarakat, terutama di lingkungan sekolah.
ADVERTISEMENT
Selain lingkungan sekolah, tindakan perundungan juga sangat besar disebabkan oleh pengaruh televisi maupun media sosial. Sampai saat ini, media sosial ataupun televisi merupakan pihak yang sering menampilkan konten-konten bagi masyarakat. Pada kenyataannya, tidak dapat dielakan bahwa beberapa konten di media sosial tidak jarang menampilkan konten baik berupa film atau sinema elektronik yang menceritakan tentang kelompok-kelompok di sekolah yang saling bersaing atau berkompetisi.
Konten-konten seperti ini tentu akan menjadi tontonan setiap hari, karena konten ini setiap hari diputar di televisi. Akibatnya generasi sekarang ataupun anak-anak yang menonton konten ini akan meniru dan melihat persaingan tadi sebagai hal yang lumrah yang ada di setiap sekolah. Situasi ini tentu menjadi kondisi yang paling subur dan paling mungkin melahirkan tindakan-tindakan perundungan atau pun tindakan-tindakan anarkis lainnya yang marak terjadi di sekolah-sekolah.
ADVERTISEMENT

Membangun sikap saling melengkapi

Jika permasalahan yang terjadi, yakni masalah perundungan kerap juga disebabkan oleh penyebab-penyebab sosial, maka perspektif sosiologis bisa menjadi salah satu perspektif yang digunakan untuk mencari solusi atas masalah ini. Dalam kaitan dengan itu, perspektif sosial, yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang saling melengkapi bisa dipakai di sini.
Pemakaian perspektif ini bisa paling banyak diterapkan dalam lingkungan sekolah. Di sini, bagi para pendidik atau pun pemilik lembaga pendidikan, penting untuk berpikir dan menciptakan habitus pendidikan bagi anak-anak sekolah atau peserta didik yang saling melengkapi. Habitus ini dibangun dengan beberapa langkah berikut: pertama, pentingnya penanaman nilai bagi para peserta didik, bahwa selain memanusiakan manusia, pendidikan juga harus membuat sesama manusia saling menghormati dan membantu. Sikap saling membantu ini diwujudnyatakan dengan tindakan menolong mengangkat dan membantu para siswa yang lemah baik secara fisik, akademik maupun dari segi lainnya oleh mereka yang lebih kuat.
ADVERTISEMENT
Tindakan ini dibuat dengan penegasan yang dibuat oleh para pendidik, juga orang tua ataupun siapa saja yang bisa memberikan pengaruh bagi anak-anak, bahwa kelebihan, kekuatan maupun potensi diri adalah talenta yang dianugerahkan Yang Kuasa, yang dimiliki manusia dan mesti digunakan secara positif.
Dengan begitu, hal itu akan membentuk manusia yang positif juga. Pada saat yang sama, penegasan atas potensi diri tadi dapat menunjukan sekaligus menjadikan sekolah bukan menjadi tempat di mana orang bisa berkompetisi untuk membuktikan diri sebagai yang paling hebat, tetapi sekolah menjadi tempat berbagi untuk membantu sesama dan menciptakan suasana dan dunia yang lebih baik.
Penegasan dari pendidik yang demikian dapat juga pada sisi lain membantu dalam memberikan awasan bagi para peserta didik ketika mengkonsumsi berbagai konten maupun tontonan yang ada di media sosial maupun televisi. Cara berpikir untuk memanfaatkan potensi positif untuk membantu lingkungan sosial, bisa membuat orang menyadari bahwa berbagai hal yang bisa merusak hubungan manusia, seperti kompetisi negatif antara kelompok-kelompok di sekolah dalam tayangan televisi merupakan hal yang perlu dihindari karena tidak memberikan kontribusi positif bagi Masyarakat dan bisa berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dengan paradigma berpikir dan tindakan yang demikian, selain bisa mengikis potensi pembulian di dunia pendidikan, tetapi lebih jauh dan di masa yang akan datang, sikap saling melengkapi seperti demikian menjadi dasar untuk meredam berbagai tindakan egois yang bisa berdampak lebih besar seperti perusakan alam, eksploitasi besar-besaran atas sumberdaya bumi maupun tindakan monopoli-monopoli perdagangan yang bisa menyebabkan kehancuran alam, pemanasan global atau pun situasi kelangkaan pangan seperti yang terjadi saat ini.
Perundungan mungkin bisa dilihat sebagai kasus yang terjadi pada orang dan waktu tertentu. Namun jika ditarik lebih jauh, sikap-sikap kompetisi atau ekspresi diri dalam kehidupan sosial itu bisa menyebabkan efek negatif yang berkepanjangan dan berkelanjutan dalam kehidupan sosial di masa yang akan datang. Mari saling melengkapi dan hindari kompetisi negatif untuk menjadi superior karena perundungan bisa berawal dari situ.
ADVERTISEMENT