Pancasila Sebagai Pengokoh Demokrasi Indonesia

Rully Raki
Pengajar Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat (STPM) Santa Ursula
Konten dari Pengguna
26 Mei 2024 11:36 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rully Raki tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pancasila. Sumber: kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pancasila. Sumber: kumparan.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kontestasi politik yang dibingkai dalam pesta demokrasi sudah berakhir beberapa bulan yang lalu. Meskipun demikian, efeknya masih juga terasa sampai sekarang. Hal itu muncul karena dinamika politik yang tidak bisa dibilang biasa pada Pemilu 2024 yang telah lalu.
ADVERTISEMENT
Beberapa peristiwa seperti pertikaian antara kubu-kubu politik, perpecahan koalisi atau berpindah-pindahnya elit politik sudah terjadi pada masa sebelum maupun pada saat pemilu dan setelah pemilu. Di samping itu, ada pula peristiwa yang mencederai pesta demokrasi seperti politik uang, politik transaksional atau deal-dealan politik maupun berita-berita bohong untuk kepentingan segelintir orang. Hal ini turut turut membuat kekisruhan demokrasi di Indonesia.
Berhadapan dengan kondisi-kondisi ini, kita bisa bertanya, apakah hal-hal tadi wajib di dalam demokrasi? Ataukah apakah hal-hal yang dapat berdampak buruk tadi muncul akibat ulah oknum-oknum yang begitu terobsesi ingin memiliki kekuasaan perlu dianggap hal biasa sebagai dinamika demokrasi?
Menjawab pertanyaan itu, mungkin perlu kembali kita melihat Sejarah demokrasi. Dalam sejarahnya, demokrasi yang muncul di polis-polis Yunani seperti Athena dan Sparta adalah demokrasi kuno yang aspirasi rakyat menjadi sumber penentu demokrasi. Dalam mekanisme diskusi untuk menentukan pengambilan Keputusan untuk kepentingan hidup bersama, demokrasi bersandar pada kesetaraan, pengakuan atas hak dasar manusia dan jaminan undang-undang sebagai dasarnya (Held, 1995). Meskipun belum bisa dikatakan sangat sempurna, karena pada saat itu wanita dan anak-anak tidak mempunyai hak suara, tetapi demokrasi paling kurang sudah menunjukan bahwa sistem ini mempunyai landasan, mekanisme dan juga mempunyai tujuan.
ADVERTISEMENT
Jika asal muasal dan bentuk ideal demokrasi adalah seperti yang digambarkan tadi, maka idealnya juga peristiwa-peristiwa negatif seperti yang digambarkan sebelumnya seharusnya tidak terjadi. Namun demikian, mengapa fakta tetap menunjukan bahwa agaknya sulit bagi bangsa ini untuk menghindar dari peristiwa-peristiwa negatif tadi. Mungkinkah sistem ini tidak cukup baik sebagai sistem penyelenggaraan politik dan kekuasaan di negara ini?
Menjawab pertanyaan ini, demokrasi seharusnya merupakan sistem yang paling baik untuk penyelenggaraan pemerintah dan kekuasaan karena di dalamnya aspirasi-aspirasi yang berbeda ditampung untuk mencapai kesepakatan. Kesepakatan itu merupakan wadah untuk menampung berbagai aspirasi yang berbeda paradigma untuk mewujudkan tujuan dan kebaikan bersama.
Pada negara yang mengalami kegagalan pemerintahan yang juga tidak menggunakan sistem demokrasi, seperti negara-negara dengan pemimpin yang otoriter, hampir tidak ada ruang untuk mencapai kebaikan dan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan bersama, karena yang baik bagi rakyat adalah apa yang dikehendaki pemimpinnya, bukan rakyatnya.
ADVERTISEMENT
Hal yang patut kita syukuri ialah Indonesia bukanlah negara otoriter karena negara dan bangsa Indonesia, yang memiliki Pancasila sebagai landasannya. Selain itu, Pancasila dengan nilai Ketuhanan, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan, hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan, dan keadilan sosial, juga merupakan dasar dan pengokoh demokrasi. Oleh karena itu tidak salah untuk mengatakan bahwa Pancasila dan demokrasi adalah dua hal yang saling melengkapi untuk mencapai kebaikan dan kesejahteraan bersama.
Dengan tantangan-tantangan yang terlihat dalam fenomena negative seputar Pemilu yang lalu, sebagai bangsa kiranya penting untuk melihat kembali pada nilai-nilai Pancasila sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Berkaitan dengan itu, sebagai bangsa kita semua bisa melihat, apakah semua tindakan negatif dalam pemilu, entahkan politik uang, deal-deal politik untuk kepentingan diri dan pihak tertentu, atau juga kampanye palsu yang menipu atau merugikan orang lain sesuaikah atau berlawanan dengan Pancasila dan demokrasi?
ADVERTISEMENT
Di situ kita sebagai bangsa Indonesia bisa menakar dan merefleksikan, jika selama ini ada yang menggunakan politik uang, apakah dengan begitu orang menunjukan diri sebagai makhluk berTuhan dan beradab? Atau, jika yang terjadi ialah politik transaksional dengan deal-deal politik untuk kepentingan segelintir pihak saja, apakah itu sudah menunjukan gambaran orang Indonesia yang berkeadilan sosial dan berpikir tentang persatuan untuk kepentingan banyak orang?
Apabila selama ini sudah banyak terjadi kampanye bohong untuk mengangkat pihak tertentu dan menjatuhkan pihak lain, benarkah itu menunjukan kita sebagai bangsa yang punya keyakinan pada Tuhan dan menghormati sesama sebagai ciptaan? Jika semua itu benar dan sudah terjadi, bagaimanakah kondisi kita sebagai bangsa yang seharusnya dipimpin dalam hikmat dan kebijaksanaan, untuk bermusyawarah dalam perwakilan dan kerakyatan atau dipersingkat sebagai proses berdemokrasi?
ADVERTISEMENT
Berdasarkan pada kenyataan dan pertanyaan-pertanyaan tadi, mari kita kembali kepada Pancasila sebagai fondasi dan filosofi bangsa untuk menjaga berjalannya demokrasi. Dengan berlandaskan pada lima butir nilai Pancasila, mari kita berefleksi dan berjuang untuk kembali melihat dan menepatkan Pancasila sebagai pengikis segala fenomena negatif politik yang sudah terjadi selama ini yang telah menimbulkan kekisruhan demokrasi.
Dengan penerapan nilai-nilai Pancasila, kita sebagai bangsa Indonesia mengusahakan tumbuhnya demokrasi yang sehat dan bersih untuk mencapai kesejahteraan bersama. Mari kita kembali dan mewujudkan nilai-nilai Pancasila sebagai penjaga untuk kokoh berdirinya demokrasi bangsa Indonesia.