Pengendalian Konflik dalam Demokrasi dan Politik

Rully Raki
Pengajar Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat (STPM) Santa Ursula
Konten dari Pengguna
20 Maret 2024 12:41 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rully Raki tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Demonstrasi Tuntut Pelaksanaan Hak Angket. Sumber: kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Demonstrasi Tuntut Pelaksanaan Hak Angket. Sumber: kumparan.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Situasi pasca Pemilu 2024 cukup menunjukan naiknya fenomena konflik. Konflik-konflik itu didominasi oleh proses Pemilu yang dianggap tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya atau curang, atau pun terjadi karena hasil perolehan suara pada Pemilu yang tidak sesuai dengan ekspektasi para kontestan. Akibatnya konflik fisik maupun konflik non-fisik tidak jarang terjadi.
ADVERTISEMENT
Pada tataran nasional, perdebatan tentang penguliran Hak Angket untuk membahas Pemilu 2024, merupakan salah isu yang paling hangat dibicarakan. Selain itu, berbagai konflik dugaan kecurangan pemilu masih terus diberitakan, sampai dengan yang terakhir demonstrasi di depan Gedung DPR yang menuntut pelaksanaan Hak Angket Pemilu (kumparan.com, 20/3/24). Tidak hanya berhenti di situ, kualitas Pemilu Indonesia termasuk Netralitas Presiden sendiri dipertanyakan sampai di level internasional yakni di PBB (kumparan.com 15/3/2024).
Berdasarkan data dari Bawaslu RI pada Goodstats.com, beberapa penyebab konflik terjadi pada Pemilu 2024 terlihat dalam kejadian Pemilu yang dimulai di atas pukul 17.00 (37.466 kasus), logistik pemilu tidak lengkap (10.496 kasus), adanya mobilisasi mengarahkan pemilihan (2.632 kasus), intimidasi pada pemilih atau penyelenggara (2.431 kasus) (Goodstats.id, 20/2/2024).
ADVERTISEMENT
Di lain pihak, konflik yang lahir di pasca pemilihan bukan hanya terjadi pada masa pemilu, karena pada proses pemilihan kepala daerah (pilkada) sampai pemilihan kepala desa (pilkades) konflik implisit dan konflik eksplisit, konflik fisik maupun non-fisik di masyarakat selalu terjadi.
Ibnu Nugroho (2023) bersama teman-teman dari Universitas Gadjah Mada dalam riset di Papua yang dimuat dalam The Conversation, menulis telah terjadi konflik pada pilkada langsung sejak tahun 20 tahun 2005 hingga 2020. Konflik terjadi sejak pra pelaksanaan hingga pasca pilkada. Mereka yang terlibat pun bisa dimulai dari elit partai politik, pasangan calon, tokoh masyarakat, dan penyelenggara Pilkada.
Sementara itu, riset dari The Habibie Centre, pada Pilkada antara tahun 2005-2013 menunjukan konflik pada 10 provinsi di Indonesia. Data itu menunjukan terdapat 585 kasus kekerasan dalam pemilukada yg akibatkan korban tewas 47 orang, cedera 510 orang, bangunan rusak 416 buah (Suyitno, 2018).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan fakta dan pemaparan data di atas, muncul pertanyaan apakah demokrasi selalu melahirkan konflik? Mestikah demokrasi itu dihilangkan agar konflik-konflik itu tidak terjadi? Atau apakah konflik dapat menghilangkan demokrasi?
Ilustrasi Konflik Pasca Pilkada. Sumber: kumparan.com
Konflik dan Peradaban Manusia
Sejak masa dulu, konflik merupakan bagian dari kehidupan manusia, sebab eksistensi manusia sebagai makhluk sosial tidak pernah lepas dari perbedaan dan yang kemudian bisa menghasilkan konflik. Bahkan sejak masa sebelum masehi, konflik antara manusia sudah ada. Hukum kuno Hammurabi, merupakan salah satu contoh hukum yang dibuat untuk mengendalikan konflik, di mana setiap orang yang mengambil mata atau gigi orang lain harus menggantikannya dengan yang sama.
Selain itu, Perang Salib abad 15-17 ataupun perang 30 tahun di Eropa antara Katolik dan Kristen di abad 17, Revolusi Perancis (1789) yang dilanjutkan dengan Perang Dunia I dan II merupakan bukti lain tentang konflik yang tidak pernah lepas dari hidup manusia.
ADVERTISEMENT
Kondisi-kondisi seperti inilah yang mendorong banyak pihak kemudian berpikir untuk menciptakan sistem untuk keteraturan sosial. Aturan-aturan atau kesepakatan-kesepakatan bisa dirujuk sejak sistem demokrasi kuno di Yunani, hingga perjanjian-perjanjian seperti kontrak sosial berdasarkan Thomas Hobbes atau J.J. Montesquieu yang menjadi cikal bakal lahirnya negara-negara modern dengan berbagai sistem termasuk demokrasi.
Selain menciptakan sistem untuk keteraturan, manusia juga secara khusus mengkaji mengenai konflik dari berbagai perspektif. Kajian-kajian seperti yang dibuat Karl Marx, Ralf Dharendorf atau pun para ahli sosial yang lain menjadi bentuk kajian untuk melihat akar, proses dan bagaimana itu bisa diselesaikan dalam dunia sosial.
Demokrasi Sebagai Pengendali Konflik
Meskipun ada sistem keteraturan yang diciptakan dalam sistem seperti demokrasi, kajian mengenai konflik, namun mengapa sampai hari ini demokrasi tidak pernah bisa lepas dari konflik? Menjawab pertanyaan ini, hal pertama yang mesti diperhatikan di sini adalah demokrasi di berbagai level tidak bisa lepas dari konflik karena berbagai kegiatan dalam demokrasi seperti pemilu, pilkada, pilkades merupakan selalu dilihat dalam bingkai kompetisi. Di situ, tentu salah satu hal yang tidak terelakan adalah tentunya di dalam kompetisi pasti ada pihak yang kalah dan menang.
ADVERTISEMENT
Hal kedua adalah meskipun para kontestan yang terlibat di dalamnya sudah tahu mengenai konsekuensi ini, konflik semakin diperbesar dengan ketiadaan kedewasaan dalam berdemokrasi. Hal ini tentunya terjadi karena pada dasarnya orang yang berkompetisi atau masyarakat secara umum belum sampai pada level kedewasaan dan kematangan dalam berdemokrasi. Ketiadaan itu selanjutnya akan mematikan sikap sportifitas, legowo atau pun berbesar hati ketika kalah dalam kontestasi.
Padahal sistem demokrasi yang ada sejak masa Polis di Yunani itu sengaja konstruksi untuk mengkondisikan agar orang-orang yang hadir dengan berbagai perbedaan pandangan, pendapat dan tujuan untuk dapat mencapai kesepakatan dalam diskusi atau musyawarah dalam forum-forum publik yang kemudian diakhiri dengan memberikan suara mayoritas sebagai perwujudan pencapaian kebaikan bersama oleh mayoritas yang ada. Dan sistem ini kemudian bisa membantu untuk menciptakan hidup lebih baik dalam berbagai aspek, entah itu politik, ekonomi, budaya dan lainnya.
ADVERTISEMENT
Mengatur Konflik dalam Demokrasi
Dengan penerapan sistem sebagaimana yang dibuat di atas, ada banyak ekspektasi bahwa secara tidak langsung, potensi konflik karena perbedaan pandangan dan pendapat bisa dikendalikan. Namun demikian hal yang tidak bisa dikesampingkan adalah keberadaan sistem demokrasi tidak harus berarti bahwa itu dengan serta merta menghilangkan konflik.
Dikatakan demikian sebab kehadiran konflik dan demokrasi selalu seperti dua sisi dari mata uang yang sama. Jika konflik sanggup menciptakan ketidakteraturan, maka demokrasi diharapkan bisa menciptakan keteraturan, begitulah ekspektasi dari segenap orang. Namun demikian, karena konflik itu menjadi bagian dari kehidupan manusia dan kedewasaan dalam berdemokrasi kadang masih jarang ada, maka konflik merupakan hal yang seperti hampir tidak mungkin tidak bisa dihindari.
ADVERTISEMENT
Meskipun begitu paling kurang ada beberapa hal yang bisa dibuat sebagai langkah sebagai langkah untuk mengurangi potensi yang hadir pasca berbagai proses pemilihan politik. Pertama adalah perlu ada sikap untuk selalu melihat dan mengantisipasi konflik bagi mereka yang ikut berkompetisi. Dalam hal ini hendaknya berbagai pihak yang berkompetisi selalu bersiap untuk menerima skenario gagal atau tidak berhasil keluar sebagai juara dalam kompetisi untuk meraih kekuasaan dalam demokrasi.
Hal kedua adalah perlunya kesepakatan dari masing-masing pihak untuk menciptakan situasi tenang setelah kompetisi, di sini orang mesti bisa melihat bahwa di dalam kompetisi entah itu keluar sebagai pemenang maupun tidak hal ini merupakan hal yang lumrah. Mesti ada pihak yang kalah atau yang menang, namun hal penting juga di sini adalah agar kompetisi yang terjadi merupakan kompetisi yang adil dan memuaskan semua pihak.
ADVERTISEMENT
Hal ketiga adalah perlunya membangun pola pikir untuk saling berkontribusi setelah pemilu, pilkada untuk bersama membangun negara, namun itu tidak berarti tidak ada oposisi, sebab demokrasi yang baik juga ditentukan dengan adanya pihak oposisi.
Beberapa hal diatas merupakan beberapa alternatif Solusi yang bisa ditawarkan untuk bisa mengendalikan konflik pasca berbagai kompetisi politik dalam pesta demokrasi. Demokrasi tidak bisa dihilangkan begitu saja karena itu melahirkan konflik.
Demokrasi dan konflik memang tidak bisa berjalan masing-masing atau saling menghilangkan, karena kedua hal itu, selain selalu ada bersama. Meskipun begitu hal yang tidak boleh dilupakan adalah entah itu konflik maupun demokrasi selalu mempunyai potensi untuk mendukung satu sama lain.
Hal itu berarti bahwa konflik dan perbedaan dapat berpotensi menciptakan demokrasi dan demokrasi perlu ada untuk membuat konflik dan perbedaan semakin bermutu. Itu berarti di dalam demokrasi ada jaminan tetap adanya perbedaan atau konflik namun demokrasi dapat mengarahkan perbedaan atau konflik itu menjadi lebih berguna bagi perkembangan masyarakat dan bangsa. Penempatan konflik dan pengaplikasian demokrasi pada sisi yang tepat akan membuat kedua hal ini menciptakan sisi positif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
ADVERTISEMENT