Potensi Jebakan Janji Subsidi dan Pilpres 2024

Rully Raki
Pengajar Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat (STPM) Santa Ursula
Konten dari Pengguna
10 Februari 2024 12:26 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rully Raki tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Barang Bantuan. Foto: Johanes Hutabarat/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Barang Bantuan. Foto: Johanes Hutabarat/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Debat Pilpres 2024 tahapan ke-5 baru saja berlalu. Debat ini menjadi salah satu kegiatan untuk memperkuat tahapan kampanye akan memasuki masa akhir dalam beberapa hari terakhir. Debat yang baru saja berlalu itu membicarakan banyak hal, mulai dari soal pendidikan, kesehatan, teknologi, pembangunan sosial sampai masalah seperti subsidi atau bantuan sosial.
ADVERTISEMENT
Kehadiran debat itu termasuk dari ragam cara dan pendekatan yang dilakukan oleh masing-masing pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk memancing perhatian sekaligus menarik minat rakyat. Selain pada saat kampanye, atau saat bertemu pendukung, dalam debat itu pun para calon pemimpin memaparkan visi misi, pencitraan berbagai kegiatan karitatif hingga melemparkan janji-janji memberikan subsidi atau bantuan sosial kepada masyarakat.
Tidak diragukan bahwa janji-janji subsidi ini disambut oleh khalayak masyarakat dengan antusias. Antusiasme itu timbul ketika subsidi-subsidi atau pun bantuan sosial itu menjadi bagaikan air segar di kala kemarau bagi rakyat Indonesia yang sedang mengalami berbagai bentuk kekurangan. Sebut saja subsidi berupa tunjangan ibu hamil senilai 6 juta, janji subsidi makan siang, janji menaikkan dana desa menjadi 5 miliar, janji susu gratis dan masih banyak lagi, termasuk janji dari penguasa untuk menaikkan bansos
ADVERTISEMENT
Namun di tengah antusiasme itu, baik dari pihak yang berjanji maupun menerima janji, terselip pertanyaan, mau sampai kapan rakyat terus menerima subsidi dalam bentuk bantuan sosial ataupun bentuk lainnya? Adakah ini akan selalu berdampak baik dan tidak membawa dampak negatif?

Tujuan Subsidi

Sudah sejak kemerdekaan Indonesia, pemerintah memberikan banyak subsidi kepada Masyarakat. Subsidi-subsidi itu hadir dalam rupa-rupa bentuk, mulai dari masa Orde Lama, ketika Presiden Soekarno melakukan penyesuaian harga BBM antara tahun 1965-1966 (Permatasari, 2022) atau di masa Orde Baru ada subsidi pupuk sebesar 50% di tahun 1970 dan proyek pembangunan irigasi dengan pinjaman utang luar negeri (Abisono N, 2002). Pada masa pasca reformasi subsidi BBM terus dijalankan dan pada masa rezim sekarang terdapat subsidi tunai langsung (BLT).
ADVERTISEMENT
Ada beberapa pihak yang memandang bahwa subsidi-subsidi ini akan bisa membawa dampak yang positif. Sebut saja subsidi KUR (Kredit Usaha Ringan) yang dimunculkan pasca Pandemi Covid 19 yang didapuk sebagai stimulus untuk memutar kembali roda perekonomian yang mengkhawatirkan setelah diterjang Pandemi Covid 19.
Meskipun data Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa tumbuhnya UMKM saat ini mencapai 64,2 juta dengan kontribusi terhadap PDB sebesar 61,07 persen atau senilai 8.573,89 triliun rupiah (djpb.kemenkeu.go.id, 2023), namun hal yang kadang banyak dilupakan orang adalah pertanyaan mengenai dari manakah sumber subsidi-subsidi seperti itu?
Apakah kas negara kita sudah cukup untuk memberikan subsidi? Ataukah subsidi itu berasal dari utang negara yang semakin besar sehingga muncul sisi lain dari subsidi itu bahwa subsidi atau subsidi sebenarnya mendatangkan efek yang negatif bahkan bisa destruktif?
ADVERTISEMENT

Pedang Bermata Dua

Presiden Jokowi (kemeja merah marun) mengunjungi serta membagikan bansos kepada para pedagang di Pasar Pinasungkulan, Kota Manado, Kamis (19/1/2023). Foto: Rusman/Biro Pers Sekretariat Presiden
Seperti pedang bermata dua, pada satu sisi tidak dapat dielakkan juga bahwa program stimulus atau subsidi yang diberikan pemerintah dapat berdampak baik. Namun pada sisi lain yang tidak terelakan juga bahwa subsidi itu bisa berpotensi menciptakan jebakan. Jebakan terjadi ketika bantuan yang diberikan dalam rentang waktu yang lama dapat mendatangkan efek negatif bahkan destruktif.
Pertama, subsidi-subsidi yang diberikan pemerintah sangat berpotensi memperbesar utang negara yang menurut data Kementerian Keuangan sudah mencapai 29,3% yang didominasi oleh Utang Luar Negeri (ULN) jangka panjang dengan pangsa mencapai 87,1% dari total Utang Luar Negeri (djppr.kemenkeu.go.id)
Mungkin ada maksud baik di balik subsidi itu seperti menjadi dana stimulus untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya, pertumbuhan ekonomi akan memberikan masukan balik ke kas negara. Namun demikian kenyataan yang terjadi di lapangan ialah banyak subsidi yang tidak digunakan secara produktif sehingga menjadi subsidi yang dipakai habis.
ADVERTISEMENT
Kedua, pada level lokal seperti di daerah-daerah atau di desa-desa, sering terdengar antusiasme Masyarakat ketika mendapatkan subsidi sosial. Bahkan di desa-desa dengan partisipasi masyarakat yang cukup rendah untuk kegiatan bersama menyangkut urusan desa, masyarakat begitu antusias berkumpul untuk mendapatkan subsidi.
Bahkan penentuan penerima subsidi oleh pemerintah desa, bisa menjadi pemicu konflik horizontal antara masyarakat maupun konflik vertikal antara masyarakat dan pemerintah desa, antara mereka menerima dan mereka yang merasa bahwa seharusnya mereka juga menjadi penerima, tetapi tidak dipilih oleh pemerintah desa.
Bukan baru sekarang, konflik berkaitan dengan bansos sudah terjadi sejak tahun 2012, di mana para perangkat desa di Purwokerto yang tergabung dalam Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) mendatangi gedung DPRD Banyumas untuk menolak bansos karena itu telah menimbulkan konflik dan keresahan akibat teror terhadap perangkat desa. Hal itu terjadi ketika bansos memicu munculnya kecemburuan dan kekecewaan di masyarakat akibat dugaan ketidakmerataan pembagian bansos (detiknews.com).
ADVERTISEMENT
Selain itu, konflik juga terjadi ketika Bantuan Sosial COVID-19 seperti di Desa Klampok Kecamatan Wanasari Kabupaten Brebes, ketika pemerintah desa dinilai tidak adil dalam membagikan bantuan, sehingga menimbulkan unggahan di media sosial (Mahfudhoh & Kinseng, 2023) bisa menjadi contoh lain berbicara mengenai hal ini.
Ketiga, kenyataan-kenyataan tadi tentu pada gilirannya akan mendukung fakta bahwa lama kelamaan, subsidi maupun janji-janji tentangnya akan berubah jebakan ketika bangsa ini terlalu dipermudah dan terus diberikan subsidi sehingga menimbulkan ketergantungan masyarakat terhadap subsidi pemerintah. Masyarakat hanya akan bergerak atau bergairah untuk berusaha jika itu dapat memperoleh subsidi.
Hal ini tentu akan sanggup mengebiri kesadaran rakyat untuk berusaha keluar dari berbagai kesulitan hidup. Rakyat dapat abai untuk memanfaatkan potensi diri dan potensi wilayah untuk mengembangkan diri dan mematangkan serta memantapkan perekonomian secara mandiri.
ADVERTISEMENT
Keempat, jebakan lain yang paling berbahaya dan bisa berefek lama adalah subsidi ini menjadi jebakan ketika janji ini menjadi lingkaran setan yang tidak berujung. Ini terjadi ketika pola pikir banyak calon pemimpin yang akan duduk di pemerintahan atau pun wakil rakyat menjadi pakem bahwa kampanye dengan memberikan subsidi merupakan kampanye yang lumrah dan wajib dibuat untuk sukses dalam meraup suara.
Hal ini pun dibuat tanpa memikirkan efek lebih jauh dari bentuk kampanye demikian. Sebab, mata, hati dan daya berpikir sudah buta akibat penggunaan segala cara dan upaya untuk meraih tujuan.

Langkah Preventif

Dalam situasi seperti ini, hal yang cukup membuat resah adalah beberapa orang yang akan duduk sebagai wakil rakyat ataupun sebagai pemimpin dan wakil pemimpin bangsa ini, masih menggunakan janji-janji subsidi atau menaikkan bansos. Memang janji-janji demikian dapat membantu, namun pertanyaannya adalah sampai kapan bangsa ini akan terus hidup dan bergantung di dalam mekanisme subsidi?
ADVERTISEMENT
Apakah itu tidak seperti menggali lubang jebakan sendiri dan menggerus semangat berdikari dan semangat pemberdayaan plus program-program pemerintah yang dinilai sebagai program pembangunan berkelanjutan?
Apresiasi memang patut diberikan kepada pemerintah yang begitu murah hati memberikan subsidi. Namun hal yang perlu diperhatikan adalah pemberian subsidi mestinya tidak dilakukan dengan mekanisme asal memberikan uang.
Pengamatan dan analisis mendalam tentang efek dari subsidi itu, termasuk apakah subsidi itu bisa menyebabkan timbulnya konflik di masyarakat, digunakan secara produktif setelah diberikan mesti dilakukan. Hal itu penting agar subsidi yang diberikan tidak menjadi subsidi konsumtif semata, atau menjadi hal wajib bagi setiap calon pemimpin atau wakil rakyat di setiap masa kampanye.
Pada daerah-daerah di Indonesia Timur seperti di NTT, jarang sekali bahkan sangat langka terdengar berita bahwa subsidi yang diberikan pemerintah digunakan secara produktif, entah karena subsidinya memang kecil atau pola dan kebudayaan konsumtif masyarakat yang terlalu tinggi sehingga subsidi itu tidak dimanfaatkan secara baik atau subsidi digunakan untuk hal-hal yang lebih krusial seperti urusan pendidikan anak-anak.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, pola pemberian subsidi tidak bisa dibiarkan diberikan dengan begitu saja, atau dalam istilah orang timur pukul rata di mana semua diberlakukan sama. Hal itu penting karena jika hal itu dibuat demikian, maka seperti meminum air asin bantuan yang diberikan akan menimbulkan kehausan baru. Kehausan itu akan membuat orang dapat berkelahi jika subsidi itu sesewaktu dihentikan. Lalu pertanyaan terakhir, bagaimana langkah preventif terhadap fenomena ini?
Sebagai langkah preventifnya yang paling awal yang bisa dibuat adalah bahwa di masa-masa kampanye termasuk presentasi pada debat Pilpres ke 5 yang telah berlalu, dan berlanjut sampai pada masa pemilihan umum atau Pemilu dan Pilih Presiden (Pilpres) 2024 ini, bangsa ini harus lebih jeli untuk memilah para calon pemimpin negara atau wakil rakyat yang akan dipilih.
ADVERTISEMENT
Ketelitian dan kejelian dipakai untuk melihat, memilah dan memilih mana pihak yang terus atau pun terlalu banyak menjanjikan subsidi serta mana yang tidak. Hal itu penting karena jika kita masih mendukungnya artinya kita menjadi bagian dari mereka yang masih mau masuk lingkaran yang berpotensi menciptakan jebakan subsidi setiap kali masa menjelang pemiliah Presiden (Pilpres).