Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dilema Kelas Menengah: UKT Mahal dan Kuliah sebagai Kebutuhan Tersier
4 Juni 2024 15:05 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Rheza Auliya Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sembari rehat di selasar pada sore hari setelah bermain bulu tangkis dan menikmati gemericik hujan tak sengaja melihat notifikasi di handphone terkait berita meningkatnya biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) . Hal ini cukup menarik karena beberapa pihak yang diwakili oleh BEM mengeklaim adanya kenaikan UKT untuk mahasiswa baru serta terdapat universitas yang menambah klaster dalam pembayaran UKT.
ADVERTISEMENT
Seperti halnya yang disampaikan oleh ketua BEM Universitas Soedirman bahwa pada tahun 2023, UKT Program Studi Peternakan golongan 5 atau golongan tertinggi sebesar Rp 2.500.000 per semester. Tetapi pada tahun 2024 dengan tingkat golongan sama mengalami kenaikan menjadi Rp 12.500.000 per semester.
Hal senada disampaikan oleh ketua BEM Universitas Riau bahwa terjadi kenaikan UKT sebesar 5 kali lipat untuk mahasiswa baru dan terdapat penambahan golongan pembayaran UKT yang semula hanya 6 golongan kini menjadi 12 golongan di universitas tersebut.
Adanya kenaikan UKT sejauh ini diyakini karena implementasi Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Kenaikan UKT tentu memberatkan calon mahasiswa baru yang ingin meningkatkan kualitas dirinya di jenjang perguruan tinggi sehingga masalah ini tidak hanya berdampak bagi masyarakat kelas bawah tetapi juga kelas menengah.
ADVERTISEMENT
Merespons hal ini, PLT Sekretaris Dirjen Pendidikan Kemdikbud, Tjitjik Sri, mengatakan perguruan tinggi masuk dalam kategori pendidikan tersier yang tidak masuk dalam golongan wajib belajar 12 tahun.
Dalam hal ini saya tidak mempermasalahkan adanya kenaikan UKT karena hal tersebut wajar mengingat adanya inflasi serta penambahan kebutuhan terkait peningkatan kualitas. Namun, yang saya permasalahkan di sini adalah kenaikan UKT yang dinilai ekstrem dan anggapan kuliah di PTN merupakan kebutuhan tersier.
Beban UKT dan Isu Kelas Menengah
Berbicara permasalahan tersebut, saya sebetulnya tidak terlalu mempermasalahkan terhadap masyarakat kelas bawah mengingat adanya komitmen pemerintah dalam memberikan bantuan terhadap masyarakat kelas bawah untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi. Salah satunya terlihat dari jumlah anggaran dan penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah yang terus meningkat, misalnya saja di tahun 2023 sebesar Rp11,9 triliun untuk sekitar 913 ribu mahasiswa dan tahun 2024 meningkat menjadi Rp13,9 triliun untuk sekitar 985 ribu mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Kenaikan UKT yang dinilai ekstrem dan anggapan kuliah di PTN merupakan kebutuhan tersier justru menimbulkan kekhawatiran saya terhadap kelas menengah . Saya jadi teringat artikel Chatib Basri dengan judul “Kelas Menengah dan Chilean Paradox” yang pada intinya beliau menjelaskan terjadinya fenomena gejolak sosial di Negara Chili diakibatkan oleh dominasi kebijakan Pemerintah Chili terhadap masyarakat kelas bawah dibandingkan dengan kelas menengah atau beliau menyebutnya sebagai “professional complainer”.
Kemudian muncul pertanyaan, mengapa harus kelas menengah yang dikhawatirkan? Jika berbicara tentang kenaikan UKT secara ekstrem maka kelas menengah yang memikul beban lebih berat dibandingkan dengan kelas lainnya.
Jika berbicara terhadap kelas atas tentu mereka yang berada di kelas ini memiliki kesediaan bayar atau willingness to pay yang tinggi sehingga tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut. Kemudian, untuk masyarakat kelas bawah, mereka memiliki bantalan sosial dari pemerintah berupa KIP Kuliah sehingga atas permasalahan ini mereka sebenarnya tidaklah begitu terdampak.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana dengan kelas menengah? Mereka yang berada di posisi terhimpit, yang tidak bisa dikatakan kelas atas, tetapi tidak juga bisa dikatakan kelas bawah. Sedangkan KIP Kuliah menerapkan syarat maksimal penghasilan orang tua sehingga hal ini membuat masyarakat kelas menengah tidak eligible untuk mendapatkan KIP Kuliah.
Banyaknya kelas menengah yang terusik akibat kebutuhan kelas menengah terhadap pendidikan di perguruan tinggi tidak terpenuhi, bukan tidak mungkin dalam jangka panjang akan mengakibatkan permasalahan baru yaitu gejolak sosial.
Kuliah di PTN Sebagai Kebutuhan “Tersier” dan Isu Kelas Menengah
Selain itu, saya memiliki pandangan bahwa anggapan kuliah di PTN merupakan kebutuhan tersier mungkin ini dikatakan benar dalam jangka pendek, tetapi tidak dengan jangka panjang. Saya kira dalam jangka panjang kuliah di PTN akan bergeser menjadi kebutuhan sekunder bahkan primer mengingat semakin besarnya tuntutan terhadap Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia guna mencapai label "Negara Maju".
Menurut Bappenas (2019), dalam kurun waktu 10–20 tahun ke depan, penduduk Indonesia akan didominasi oleh kelas menengah. Jika anggapan tersier dalam jangka panjang terus melekat di kelas menengah, lantas apa akibatnya? Saya akan mulai dengan mendefinisikan arti kata tersier.
ADVERTISEMENT
Menurut KBBI, tersier berarti ketiga. Kemudian Arfida (2003) mendefinisikan kebutuhan tersier sebagai pelengkap kehidupan manusia yang pemenuhannya dapat dihindarkan. Lebih lanjut Shaid (2023) mendefinisikan tersier sebagai kebutuhan yang bersifat prestige, artinya orang-orang yang dapat memenuhi kebutuhan ini akan terangkat derajat dan martabatnya.
Dari beberapa definisi tersebut setidaknya kita dapat menarik kesimpulan bahwa kuliah di PTN bukan menjadi sebuah kebutuhan utama ataupun kedua melainkan kebutuhan yang sifatnya prestige.
Selanjutnya, saya akan mencoba mengkorelasikan anggapan “tersier” tersebut dengan kesejahteraan kelas menengah. Saya kira sudah menjadi hal yang umum bahwa dewasa ini untuk mencari pekerjaan sangatlah sulit karena ketatnya persaingan di pasar tenaga kerja.
Hal ini tak heran karena banyak perusahaan selain mensyaratkan keterampilan, mereka juga kerap menambahkan kualifikasi minimum pekerja adalah lulusan dari perguruan tinggi, baik itu sarjana maupun diploma. Ditambah lagi di era 4.0 dunia kerja sudah tidak bisa terlepas dari teknologi sehingga menuntut keterampilan tinggi untuk mengoperasikannya, sedangkan keterampilan tinggi tersebut setidaknya didapatkan ketika seseorang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.
ADVERTISEMENT
Akibat dari hal ini, banyak kelas menengah tidak bisa masuk di pasar tenaga kerja dan berpotensi menjadi pengangguran. Padahal, bekerja merupakan salah satu cara manusia untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Kesejahteraan yang meningkat tentu akan memberikan dampak baik bagi perekonomian suatu negara.
Kemudian, saya coba membayangkan ketika kuliah di PTN dalam jangka panjang tetap dianggap sebagai kebutuhan tersier bagi kelas menengah, bukankah hal ini justru akan membuat minimnya kelas menengah masuk dalam pasar tenaga kerja? Sedangkan dalam jangka panjang kelas menengah merupakan kelompok yang mendominasi penduduk di Indonesia.
Lalu bagaimana mereka dapat meningkatkan kesejahteraannya jika mereka tidak bisa masuk ke dalam pasar tenaga kerja? Membuka usaha atau sebagai entrepreneur mungkin bisa menjadi opsi, tetapi apakah semua kelas menengah tersebut memiliki kemewahan untuk melakukannya? Saya kira tidak.
ADVERTISEMENT
Kelas Menengah dan Ketercapaian Indonesia Emas 2045
Menurunnya kesejahteraan kelas menengah di jangka panjang membuat ability to pay dari kelas tersebut juga ikut menurun akibat sebagian besar dari mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan sehingga hal ini tentu berdampak kepada perekonomian negara.
Rasio konsumsi rumah tangga terhadap PDB mencapai 53%. Menurut Badan Kebijakan Fiskal (2022), Indonesia paling tidak membutuhkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6–7% untuk mencapai negara maju. Namun, adanya penurunan ability to pay tentu akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia dan menjadi penghambat ketercapaian Indonesia Emas 2045, yaitu bertransformasi menjadi negara maju. Oleh karena itu, dibutuhkan jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Student Loan
ADVERTISEMENT
Kemudian, untuk mengatasi gagal bayar atas pinjaman tersebut, pemerintah dapat mencoba melakukan skema yang sama seperti halnya yang dilakukan oleh Inggris. Di sana, mahasiswa membayarkan pinjaman tersebut ketika mereka sudah mendapatkan minimal pendapatan yang sudah ditetapkan.
Jika berada di bawah batas minimum mahasiswa dapat menunda atas pembayaran tersebut maksimal 40 tahun. Namun, jika melewati batasan waktu tersebut negara hadir untuk melakukan pemutihan berapa pun atas jumlah pinjaman tersebut.
Kebijakan ini mungkin saja diimplementasikan, tetapi tetap harus memperhatikan kemampuan dari APBN. Sebab menurut Bakri (2024), penerapan skema student loan di pemerintahan Inggris terlihat seperti malaikat, tetapi tidak sehat bagi keuangan negara karena sewaktu-waktu bisa saja terjadi peningkatan signifikan pada pengeluaran negara.
ADVERTISEMENT
Mengkaji Ulang Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024
Pemerintah dapat mengkaji ulang ulang terkait substansi regulasi Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 dengan mengedepankan keadilan serta paradigma bahwa melanjutkan jenjang pendidikan ke perguruan tinggi bukanlah kebutuhan “tersier” melainkan “sekunder” bahkan “primer”. Kemudian, melakukan evaluasi terhadap implementasi terkait regulasi tersebut di setiap perguruan tinggi agar tidak terjadi multitafsir dalam pelaksanaannya.