Ilusi Fiskal : Realokasi Subsidi BBM untuk Program Makan Siang Gratis

Rheza Auliya Rahman
Economic Enthusiast, Mahasiswa PKN STAN
Konten dari Pengguna
11 Maret 2024 10:37 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rheza Auliya Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
                Sumber : canva.com/p/oduaimages/
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : canva.com/p/oduaimages/
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jakarta - 2 minggu sudah pesta demokrasi telah dilaksanakan. Hasil hitung cepat berbagai lembaga survei menunjukan pasangan Prabowo-Gibran unggul jauh dibandingkan pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud, bahkan hingga awal Maret ini hasil real count dengan suara yang sudah masuk sebesar 78% Prabowo-Gibran konsisten berada di angka 58,8% sehingga pasangan ini berpeluang besar terpilih menjadi presiden dan wakil presiden.
ADVERTISEMENT
Prabowo-Gibran dalam dokumen kampanyenya memiliki program unggulan, yaituMakan Siang Gratis. Program ini menuai banyak pertanyaan terkait sumber pendanaanya karena diperkirakan mencapai 460T dalam setahun.
Baru-baru ini wakil TKN Prabowo-Gibran, Eddy Soeparno, menyampaikan sumber dana yang akan diambil salah satunya adalah realokasi subsidi BBM yang tidak tepat sasaran, lantas apakah ini merupakan keputusan yang tepat?
Menurut Eddy Soeparno terdapat potensi anggaran yang dapat dimanfaatkan dari Subsidi BBM yang tidak tepat sasaran, hitungan kasarnya dapat mengurangi 80% dari total anggaran subsidi senilai 350T yang kemudian dapat dialihkan ke program makan siang gratis.
Proses pengalokasian anggaran yang tidak tepat sasar memang sudah menjadi sebuah keharusan, namun diperlukan langkah yang hati-hati karena Subsidi BBM merupakan belanja negara yang sangat sensitif bagi keberlangsungan ekonomi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Ditambah lagi realokasi tersebut dilakukan untuk membiayai program yang sebenarnya belum terbukti apakah bernilai produktif atau justru bernasib sama seperti halnya food estate sehingga pemerintah kedepannya dapat memperhatikan adanya potensi risiko Ilusi fiskal atau biaya yang harus ditanggung oleh negara akibat adanya realokasi anggaran subsidi BBM terhadap program “Makan Siang Gratis”
Inflasi dan Kemiskinan
Sumber : Pinterest/vecteezy.com
Realokasi subsidi BBM berpotensi akan meningkatkan harga BBM itu sendiri dan memicu adanya inflasi secara keseluruhan, seperti halnya yang terjadi di September 2022 pemerintah memutuskan untuk mengurangi subsidi BBM karena pada saat itu terlalu membebani keuangan negara akibat kenaikkan harga minyak dunia, akibatnya terjadi inflasi di komponen energi sebesar 16,48% dan memberikan andil terhadap peningkatan inflasi umum di bulan September 2022 sebesar 1,51%, serta angka kemiskinan meningkat 0,03% disaat kemiskinan pada saat itu sedang mengalami tren penurunan.
ADVERTISEMENT
Sehingga, adanya rencana realokasi ini bukan tidak mungkin akan menyebabkan adanya kenaikkan harga BBM dan memicu inflasi serta meningkatkan kemiskinan, ditambah lagi volatilitas harga minyak dunia akibat perang Rusia-Ukraina dan Hamas-Israel yang belum kunjung selesai berpotensi memperparah dampak terhadap kenaikkan harga BBM itu sendiri
Daya Beli Masyarakat Menurun
Sumber : Pinterest/freepik.com
Kenaikkan harga BBM tentu akan mempengaruhi daya beli masyarakat akibat meningkatnya biaya transportasi, logistik, dan bahan pangan. Sehingga secara simultan akan membuat daya beli masyarakat menurun karena disaat yang sama masyarakat tidak memperoleh tambahan penghasilan. Menurut Data BPS (2023), porsi konsumsi masyarakat Indonesia pada tahun 2023 mencapai 53% terhadap PDB sehingga penurunan daya beli masyarakat tentu akan membuat adanya kontraksi dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Apabila hal ini terjadi mau tidak mau pemerintah akan mendorong kembali konsumsi masyarakat salah satunya menggelontorkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan tentu akan menambah beban APBN.
ADVERTISEMENT
Kelas Menengah Terancam
Sumber : Pinterest/Freepik
Tidak hanya itu, Gejolak dari kelas menengah yang kemudian disebut oleh Chatib Basri sebagai “Professional Complainer” perlu menjadi perhatian karena sebagian besar penikmat subsidi BBM adalah kelas menengah, terganggunya kelompok kelas menengah akibat pemerintah berfokus memberikan kebijakan kepada kelas bawah dapat menimbulkan gejolak sosial, diperlukan kematangan dalam perencanaan dalam realokasi tersebut. Pengurangan subsidi BBM tersebut akan lebih baik dilakukan disaat sudah mulai membaiknya fasilitas umum, seperti bertambahnya kendaraan umum berbasis listrik serta sudah mulai terbangunnya ekosistem Electric Vehicle (EV) sehingga tekanan yang dialami oleh kelas menengah akibat realokasi BBM dapat diminimalisir.
Ketika pemerintah menetapkan kebijakan dalam hal ini realokasi BBM tidak memperhatikan kelas menengah bukan tidak mungkin “The Chilean Paradox” yang dijelaskan oleh Chatib Basri dalam artikelnya yang berjudul “Kelas Menengah dan Chilean Paradox” akan terjadi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Alih-alih melakukan realokasi anggaran Subsidi BBM, pemerintah akan lebih baik melakukan program “Makan Siang Gratis” yang bernilai 460T secara bertahap sehingga tidak membebani anggaran. Kemudian, pemerintah juga menurut Fithra Faisal, Direktur Eksekutif Next Policy, dapat meningkatkan Tax Ratio dengan melakukan ekstensifikasi perpajakan seperti memperluas basis perpajakan terutama sektor pertambangan, dalam hal ini pengenaan windfall tax. Kemudian, pemerintah juga dapat melakukan realokasi anggaran belanja yang dinilai tidak produktif dan tidak memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap perekonomian negara.
Dari hal ini kita belajar bahwa suatu kebijakan terkadang selalu dihadapkan dengan sebuah dilematis, APBN akan selalu menjadi batasan dalam implementasi suatu kebijakan, Seorang pemimpin akan dihadapkan dengan pilihan yang sulit, mengutamakan keinginan politis atau membuka mata terhadap realitas. Apapun yang diambil sejatinya merupakan suatu keputusan yang sudah melalui pemikiran yang panjang.
ADVERTISEMENT