Konten dari Pengguna

Melihat dari Hak Asasi Manusia dan Hukum Positif Pada Pidana Mati Bagi Koruptor

Rheza Naufal Ramaputra
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia
12 Desember 2022 22:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rheza Naufal Ramaputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber : Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
sumber : Dokumen Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saat ini, korupsi merupakan permasalahan bangsa yang sudah mengakar kuat di negara ini. Korupsi ini mengakibatkan sebuah kerugian materiil bagi masyarakat dan negara yang berdampak pada pembengkakan utang negara, Pembangunan tidak merata, angka pengangguran yang meningkat, penurunan kualitas Pendidikan yang tidak ditunjang fasilitas yang baik, dan demokrasi yang dibelokkan. Akibat inilah yang membuat Indonesia tidak dapat menjadi negara yang maju. Dalam hal ini Indonesia sebenarnya melarang keras terhadap Tindakan pidana korupsi, karena sebagai masalah bagi masyarakat yang mengganggu stabilitas suatu negara. Salah satu contoh: mantan menteri kelautan perikanan Edhy Prabowo yang semula 9 tahun penjara, disunat menjadi 5 tahun penjara.
ADVERTISEMENT
Dilihat dari kasus di atas, penegakan hukum terutama pemberantasan tindak pidana korupsi tidak sesuai dengan harapan masyarakat, penyebabnya terdiri dari beberapa faktor seperti : penegak hukum melihat dari unsur subjektivitas untuk menegakkan sebuah aturan atau hukum itu sendiri yang sudah dibuat undang-undangnya sejak tahun 1999. Namun, terkadang penegak hukum juga merasa bahwa tindak pidana mati bagi para koruptor tidak dianggap efektif. Hal ini yang membuat bahwa tindak pidana mati bagi para koruptor belum terealisasikan hingga sekarang. Dengan dalih-dalih keefektifan untuk pidana mati bagi para koruptor. Masyarakat juga menganggap bahwa selama ini penegak hukum tidak berpihak terhadap kepada masyarakat. Dianggap bahwa hukum sendiri tidak berpihak kepada masyarakat sipil, melainkan pada masyarakat kalangan menengah keatas atau kalangan berada. Semakin kesini kemungkinan potongan masa tahanan (remisi) pada koruptor yang membuat mereka semakin meringankan untuk menjalani masa tahanan. Dengan penegakan hukum yang sekarang ini akan membuat opini masyarakat semakin menjadi liar. Nantinya beranggapan bahwa hukum hanya tegak kebawah dan tumpul keatas.
ADVERTISEMENT
Penerapan hukuman mati bagi koruptor sudah diatur pada Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 Ayat (2) yang menjelaskan bahwa tindak pidana mati bagi para koruptor dapat dilakukan dalam keadaan tertentu dapat dijatuhi hukuman mati. Hukuman ini diharapkan untuk membuat para pelaku tersebut mendapatkan shock therapy diharapkan agar dapat mempengaruhi psikologis koruptor dan dapat dijadikan contoh untuk mempengaruhi pihak lain agar tidak ada yang melakukan lagi tindakan korupsi bagi masyarakat khususnya di Indonesia.
Dilema ini seharusnya dapat dilakukan secara bijaksana kepada pemerintah Indonesia dan rakyatnya. Sebagai negara yang berdaulatnya seharusnya menggalakkan sikap, karena korupsi di Indonesia sendiri sudah termasuk pelanggaran yang berat. Penerapan pidana mati bagi para koruptor ini sekiranya dapat memenuhi aspek legalitas, artinya bahwa pidana mati ini sebenarnya sudah diatur juga dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang sudah disetujui oleh wakil rakyat selaku pengemban kekuasaan tertinggi di pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Namun jika dilihat dari aspek internasional sendiri, negara Amerika dan negara-negara eropa sudah menghapuskan seluruh tindak pidana mati digantikan dengan hukuman yang lebih efisien. Penghapusan pidana mati ini sudah disahkan oleh ICCPR ( International Covenant Civil and Political right) sejak tahun 1965. di Indonesia sendiri masih memberlakukan hukuman pidana mati. Ketentuan pidana mati ini juga masih diatur pada Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menjelaskan bahwa “Pidana mati salah satu pidana pokok ”. perbedaan pendapat ini sudah biasa tinggal bagaimana kita menyikapinya karena hukum itu harus ditegakkan lex Dura Sed Tamen Scripta, hukum itu bersifat keras.
Lembaga-lembaga hukum yang berdiri secara ideal seharusnya mampu memberantas korupsi dari Sabang sampai Merauke. Meskipun, secara legalitas Indonesia sendiri memiliki hukumnya dan diatur sejak tahun 1999, praktiknya memang belum terlihat sejak sekarang. Indonesia sendiri masih memiliki pekerjaan rumah yang banyak khususnya pada pemerintah sekarang/ Kabinet Indonesia maju. Seharusnya Indonesia sendiri juga bercermin kepada cina yang pejabat-pejabat negaranya selalu disiapkan sebuah peti mati. Jika mereka korupsi tinggal tunggu tanggal mainnya. Menurut pendapat Perdana Menteri cina yaitu Ju Rongli mengatakan “ siapkan ribuan peri mati untuk para koruptor, tetapi siapkan satu peti mati untuk saya. Jika saya korupsi, saya siap untuk dihukum mati”. Perkataan perdana Menteri tersebut hendaknya sebagai pemicu pemimpin Indonesia untuk berani melakukan pemberantasan dari pidana korupsi tersebut. Dengan cara ini korupsi di Indonesia juga dapat ditekan dan diberantas, serta di minimalisirkan.
ADVERTISEMENT
Namun jika berbicara tentang hukuman mati bagi para koruptor tidak etis juga tanpa melihat dari segi Hak Asasi Manusia (HAM). Dipandang segi eksistensinya bahwa banyak negara lebih memilih mencabut hukuman ini karena dianggap tidak berjalan sebagaimana mestinya dan tidak efisien dari penegakan keadilan tersebut. Kemudian dapat kita lihat konsekuensi yang harus dibayar negara terhadap hukuman pidana mati ini yang terus berjalan. Seperti Hak Asasi Manusia yang sudah melekat sejak lahir harus dikesampingkan hanya karena mengatasnamakan suatu keadilan yang sendirinya tidak dapat dipertanggungjawabkan di seluruh penjuru dunia.
Oleh sebab itu penulis menganggap bahwa tindak pidana mati bagi para koruptor sudah tidak relevan lagi bagi keadaan di dunia ini. Hukum yang dinamis membuat pidana mati tidak relevan lagi, walau begitu terdapat tindak pidana hukuman seumur hidup yang masih dapat dianggap relevan, oleh perkembangan zaman di dunia ini khususnya di indonesia. Namun tindak pidana seumur hidup juga mempunyai permasalahan juga. Negara harus juga tetap membiayai hidup para pelaku tersebut dalam penjara, beban anggaran dana terhadap Lembaga Pemasyarakatan juga otomatis naik yang dapat membuat berkurangnya peningkatan dana pada Indonesia. Singkatnya semua pembahasan terhadap sanksi bagi para koruptor pasti ada keunggulan dan kelemahannya. Tinggal kita sebagai masyarakat yang bijak melihat dari sudut pandang mana dan dari segi keperluannya.
ADVERTISEMENT