Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Postingan Terjemahan Akun Fandom Kpop Harusnya Dibayar?
3 Juni 2024 14:48 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Ria Theresia Situmorang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Akun fandom penerjemah di media sosial termasuk bagian dari free digital labour.
ADVERTISEMENT
Pernah melihat konten teks terjemahan idola Korea yang diartikan dari bahasa Korea menjadi bahasa Inggris atau bahasa Indonesia dalam akun fandom? Mengapa mereka mau secara sukarela melakukannya padahal kegiatan ini bisa saja dibayar?
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh pada konteks ini adalah akun fandom Kpop di media sosial X yang menerjemahkan setiap konten unggahan member boyband asal Korea Selatan Seventeen dalam akun Weverse-nya secara real-time. Bukan hanya Seventeen, ada banyak konten idola atau bahkan artis populer Korea Selatan lainnya yang diterjemahkan konteksnya oleh akun fandom lain.
Dalam konteks digital labour, akun fandom K-pop penerjemah mencerminkan keterlibatan aktif komunitas penggemar dalam mendukung dan menyebarkan konten terkait idola-idola mereka. Dalam lingkungan media sosial yang memungkinkan pertukaran pemahaman yang cepat, akun-akun ini memfasilitasi akses global terhadap informasi konten K-pop.
Kedua, fenomena ini membuka diskusi penting tentang sifat dan nilai dari free digital labour dalam konteks industri hiburan. Meskipun penerjemahan dilakukan secara sukarela oleh penggemar, pertanyaan tentang eksploitasi dan penghargaan atas kontribusi mereka muncul. Hal ini menyoroti kompleksitas hubungan antara kecintaan terhadap budaya populer, ekspektasi konsumen, dan nilai ekonomi digital.
ADVERTISEMENT
Selain itu, penting untuk mempertimbangkan dampak praktik penerjemahan gratis terhadap industri bisnis penerjemahan secara keseluruhan. Bagaimana praktik ini mempengaruhi permintaan akan layanan penerjemahan profesional? Apakah ini menciptakan model bisnis baru atau merusak pasar yang ada?
Menurut Gray (2017), dalam era digital yang semakin berkembang pesat, fenomena fan culture atau budaya penggemar telah menjadi bagian integral dari lanskap media sosial seperti Facebook, Instagram, X dan Tiktok. Salah satu aspek penting dari budaya penggemar adalah praktik penerjemahan konten yang memungkinkan penggemar dari berbagai belahan dunia untuk mengakses dan menikmati konten dalam berbagai bahasa.
Dalam buku Media/Society karya David Croteau dijelaskan bahwa penggemar adalah penafsir aktif media yang mengakumulasi pengetahuan mereka sebagai sumber daya interpretatif. Berpartisipasi dalam kegiatan interpretatif ini merupakan sumber kesenangan bagi penggemar media dan sering kali menjadi bagian utama dari apa yang membuat fandom menjadi menyenangkan.
ADVERTISEMENT
Peneliti Christian Fuchs (2017) dan Trebor Scholz (2013) menjelaskan para penggemar sering melakukan hal-hal ini karena mereka ingin atau hanya karena kegiatan ini menyenangkan, tetapi aktivitas ini masih dapat dilihat sebagai pekerjaan. Dalam istilah media digital, kegiatan tersebut adalah kesenangan dan pekerjaan pada saat yang sama - suatu bentuk kerja bermain, atau playbour.
Terkhususnya untuk kaum muda, kesenangannya terhadap budaya populer global, membuat mereka selain menjadi konsumen, juga bertindak sebagai menjadi produsen, 'co-creators', 'co-producers', dan 'prosumers'. Green & Jenkins (2011) menyebutkan, kegiatan tersebut lebih dari mengonsumsi dan memproduksi teks budaya, penggemar yang bergabung dengan fandom online umumnya terlibat dalam proses produksi dan sirkulasi konten media serta mengembangkan apa yang disebut sebagai penyebaran media (media spreadability).
ADVERTISEMENT
Kenyamanan, kesenangan, permainan, dan hiburan telah dimasukkan ke dalam kepentingan pemilik modal, dan kekuatan kapitalis di era digital saat ini telah menciptakan bentuk-bentuk eksploitasi baru yang seringkali tidak disadari oleh konsumen. Berbeda dengan Mazhab Frankfurt, yang mengidentifikasi keunggulan kapitalisme pada kemampuannya mengkonstruksi cara berpikir konsumen, sehingga mereka tidak mampu membedakan antara kebutuhan dan keinginan, industri hiburan global atau kekuatan ekonomi menawarkan kebebasan kepada konsumen, dan bahkan memberi mereka kesempatan untuk menjadi konsumen dengan kebebasan untuk memproduksi dan mengedarkan teks-teks budaya.
Sugiharti dalam risetnya pada tahun 2020 menyebutkan kenyataan bahwa ruang dan medan kapitalisme telah meluas melampaui batas-batas bagi konsumen untuk secara bebas mengekspresikan sikap kritis mereka mendasari kegiatan tersebut. Sikap kritis para penggemar berada dalam kekuatan hegemoni tersembunyi kapitalis.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, fandom berubah menjadi ‘keluarga’ karena mereka saling memberikan dukungan dan kesetiaan ketika orang-orang melewati kesulitan yang ekstrim dalam hidup mereka. Anggota fandom memupuk rasa ‘ke-kita-an’ yaitu para anggota memiliki hubungan yang kuat satu sama lain. Lebih jauh lagi, para penggemar mengupayakan kelangsungan hidup komunitas dengan menyambut dan mengintegrasikan anggota baru. Dengan melakukan hal tersebut, mereka menunjukkan tanggung jawab moral atau rasa tanggung jawab atau kewajiban kepada komunitas secara keseluruhan kepada anggotanya secara individu.
Kemunculan akun fandom penerjemah konten artis Korea di media sosial ini sebenarnya adalah karakteristik yang menonjol dari Web 2.0. Selama pengguna menghabiskan waktu mereka untuk aktivitas online, komoditas produsen sebenarnya sedang menunggu keuntungan dari perusahaan-perusahaan raksasa media sosial seperti X. Fuchs dalam risetnya tentang digital labour menyebutkan bahwa dalam kasus penggunaan internet, proses komodifikasi partisipasi pengguna atau konsumen lebih mudah dicapai atau berkembang dibandingkan dengan media massa tradisional lainnya.
ADVERTISEMENT
Cara konsumen internasional termasuk di dalamnya penggemar asal Indonesia dalam memaknai interpretasi mereka terhadap konten K-pop sering kali difasilitasi melalui sejumlah besar teks yang dibuat secara online. Secara khusus, di banyak pasar internasional di mana K-pop kurang dapat diakses karena tidak adanya perantara budaya formal, sirkulasi parateks transnasional, peredaran parateks K-pop diperkuat oleh akun fandom di media sosial. Meskipun konten buatan penggemar di media sosial mungkin tidak selalu diproduksi dengan tujuan menerjemahkan untuk audiens yang dituju, mereka tetap memiliki efek penerjemahan dan berada dalam pelaksanaan praktik penerjemahan. Hal ini menunjukkan bahwa para penggemar K-pop sendiri, memainkan peran yang produktif dalam menerjemahkan produk budaya yang memiliki banyak sisi ini untuk konsumen internasional yang potensial.
ADVERTISEMENT
Cruz dalam risetnya pada tahun 2021 menyebutkan praktik penerjemahan yang dibuat oleh penggemar membantu konsumen internasional dalam memecahkan kode semiotik dan menyesuaikan diri dengan konten yang diunggah idolanya dan ikut terlibat dalam mengonsumsi konten K-pop. Sederhananya, praktik penerjemahan dari akun media sosial fandom menawarkan sebuah panduan praktis yang penting mengonsumsi produk budaya peripheral.
Salah satu fenomena yang cukup menarik adalah akun fandom penerjemah ini umumnya adalah akun anonim yang tidak diketahui identitas asli pemiliknya. Forbes dalam tulisannya The Unpaid Labor Of K-Pop Fan Translation Twitter juga menjelaskan bahwa fan translator yang diwawancarainya menganggap bahwa free labour ini adalah usaha mengisi kekosongan dalam kesenjangan antara industri hiburan Korea Selatan dan penonton internasional, dan mereka melakukan pekerjaan mereka dengan cukup serius. Pada hari tertentu, mereka mengunggah hingga lebih dari 50 tweet di media sosial X yang berhubungan dengan berita hiburan. Salah satu dari fan translator ini mengatakan bahwa pada hari yang sibuk, dia akan menghabiskan waktu sekitar 5 jam untuk mengecek berita dan mencari berita terbaru pada waktu-waktu tertentu di mana berita-berita biasanya muncul dari Korea Selatan. Kritik atas berbagai terjemahan atau tindakan yang telah mereka lakukan sepanjang pengalaman mereka adalah banyaknya orang yang mengklaim bahwa mereka memiliki bias jika mereka tidak menerjemahkan suatu berita atau menerjemahkan sesuatu dengan cara yang tidak sesuai dengan persepsi penggemar.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, penting untuk memahami analisis masalah tentang akun fandom penerjemah K-pop sebagai free digital labour di media sosial dengan pendekatan rasa memiliki bersama berdasarkan ikatan interpersonal yang kuat yang mirip seperti ikatan seperti keluarga untuk mendapatkan pemahaman pesan yang sama dalam bentuk terjemahan. Pada dasarnya, akun-akun fandom penerjemah K-pop di media sosial memainkan peran penting dalam mendukung komunitas penggemar global dan menyediakan akses terhadap konten K-pop yang tidak tersedia dalam bahasa asli penggemar. Namun, di balik kontribusinya, masalah muncul terkait dengan ketidaksadaran penggemar di balik akun fandom penerjemah K-pop tersebut kompensasi atas kemampuan yang mereka miliki.
Pertama, perlu mempertimbangkan bahwa praktik penerjemahan di akun media sosial sebagai free digital labour menimbulkan pertanyaan etis. Meskipun banyak dari akun-akun ini melakukan penerjemahan atas dasar sukarela dan kecintaan terhadap K-pop, mereka tetap melakukan pekerjaan yang membutuhkan waktu dan keterampilan. Namun, dalam banyak kasus, mereka tidak mendapatkan pengakuan atau kompensasi atas kontribusi mereka apalagi jika masuk dalam komunitas fandom hal ini hanya dilihat sebagai konsep ‘playbour’ yang berdasarkan kesenangan belaka.
ADVERTISEMENT