Meriam Bambu : Permainan Tradisional di Bulan Ramadhan yang Hampir Punah

Rian Herdiansyah
Saya seorang mahasiswa yang sedang menjalani pendidikan di Universitas Padjadjaran. Saya punya moto hidup untuk terus berbuat baik sebisa mungkin terhadap semua orang
Konten dari Pengguna
2 Juni 2022 19:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rian Herdiansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi anak-anak tradisional. Sumber foto : Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi anak-anak tradisional. Sumber foto : Pixabay
ADVERTISEMENT
Kurang rasanya jika bulan Ramadhan tidak ada suara petasan dan suara yang menggelegar dari meriam bambu. Waktu itu ketika umur saya masih dibawah sepuluh tahun. Anak-anak di kampung berlarian ke lapang selepas buka dirumahnya masing-masing mereka sangat antusias sekali menyambut datangnya bulan Ramadhan, anak-anak mulai bermain petasan, kembang api, dan ada juga yang bermain kejar-kejaran. Namun, ada yang menyita perhatian saya pada saat itu, suara yang nyaris seperti meriam asli dengan kerasnya menembakan pelurunya ke pihak lawan dan langsung di balas dengan suara tembakan yang keras juga, ya itu adalah meriam bambu. dengan bermodal karbit dan sebatang bambu perang pun bisa dimulai, saling berbalas suara terkeras dari meriam bambu menjadi kesenangan tersendiri pada saat itu.
ADVERTISEMENT
Permainan meriam bambu ini cukup populer bagi anak-anak generasi 90-an. Bambu yang dipakai sebagai meriam ini dibuat sendiri oleh anak-anak pada saat itu. Bambu yang sudah tua bisa menjadi pilihan untuk dijadikan sebuah meriam, sekitar satu meter atau lebih bambu dipotong lalu kemudian bambu dilubangi dalamnya menggunakan linggis. Di bagian ujung pangkal, bambu diberi lubang yang diisi minyak tanah atau karbit. Lewat lubang inilah, kitab isa menyalakan ledakan api dengan suara yang keras dan menggelegar.
Sejarah meriam bambu tidak lepas dari zaman penjajahan. Menurut Pengasuh Pondok Pesantren Rakyat Kota Batu, Malang Jawa Timur, Ulul Azmi, meriam bambu ini muncul saat Portugis datang ke Nusantara sekitar abad ke-16. Pada masa itu Portugis datang dengan kapal yang dilengkapi dengan merian, orang pribumi pun terkesan melihatnya, namun belum adanya pengetahuan untuk membuat meriam, akhirnya warga pribumi pun melakukan modifikasi dengan membuatnya dari bahan bambu. Dan mereka mampu membuat meriam bambu dengan suara yang cukup menggelegar meski tidak bisa memicu kerusakaan seperti meriam asli.
ADVERTISEMENT
Meriam bambu bisa identik dengan bulan Ramadhan tidak terlepas dari akulturasi budaya dari warga tionghoa yang sering menyalakan petasan saat perayaan hari besar. Bulan Ramadhan pun merupakan bulan yang special dan dinantikan bagi umat muslim, maka meriam bambu yang berisik layaknya petasan pun sering dinyalakan pada bulan puasa.
Saling beradu kerasnya suara meriam bambu pun sudah menjadi tradisi sendiri bagi anak-anak di wilayah pedesaan, meski tidak dilengkapi dengan peluru namun suara yang dihasilkan bisa menggema hingga terdengar oleh anak-anak dari kampung sebelah. Yang paling keras suaranya, dialah yang memenangkan peperangan meriam bambu ini. Sayangnya, permainan ini sudah jarang ditemui lagi di beberapa wilayah, dengan perkembangan zaman dan adanya permainan yang lebih canggih menjadi penyebab utama permainan ini punah bahkan tak dikenali keberadaannya.
ADVERTISEMENT