Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Apakah Pernikahan Paksa Terhadap Anak Termasuk Kekerasan Seksual?
27 Mei 2024 15:41 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Riani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernikahan merupakan suatu ikatan sakral antara seorang laki-laki dan seorang perempuan melalui suatu akad pernikahan yang bertujuan untuk membina rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah. Umumnya pernikahan ini dilakukan oleh orang yang telah memiliki kemampuan dan kesiapan serta kerelaannya dalam menjalankan pernikahan dan rumah tangga sesuai ajaran agama dan negara. Namun, dalam praktik pernikahan paksa ini dimana orang tua/ wali memaksakan pilihannya tanpa ada kerelaan dari anak yang dinikahkan tersebut ataupun bisa terjadi karena salah satu pihaknya memaksakan pernikahan.
Pernikahan paksa dengan perjodohan tentu hal yang berbeda dimana perjodohan merupakan pernikahan yang direncanakan oleh keluarga dan memungkinkan persetujuan didalamnya, sedangkan nikah paksa dimana salah satunya tidak memiliki kerelaan penuh (terpaksa) dan bebas. Sebenarnya perbedaan antara perjodohan dan pernikahan paksa hanya terletak pada persetujuan dan paksaan. Namun, persetujuan pun dapat berubah menjadi paksaan. Sehingga mungkin pernikahan paksa ini akan terlihat sama seperti perjodohan bagi sebagian masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pernikahan paksa ini pun terjadi kepada semua kalangan usia termasuk kepada anak di bawah umur, dimana banyak sekali orang tua memaksakan pernikahan anaknya karena berbagai faktor salah satunya adalah faktor ekonomi. Dalam pernikahan paksa ini banyak sekali hak yang terampas dari si anak yang menjadi korban pernikahan paksa dan juga dapat mengakibatkan kekerasan dan pelecehan terhadap anak tersebut.
Pernikahan paksa ini pun dilarang dalam UU Nomor 12 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam pasal 4 ayat (1) yang mana pemaksaan perkawinan termasuk dalam kategori kekerasan seksual.Begitupun, pernikahan paksa ini diancam pidana sesuai UU Nomor 12 Tahun 2002 Pasal 10 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa, “(1) Setiap orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (2) termasuk pemaksaan perkawinan yakni perkawinan anak, pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya, dan pemaksaan perkawinan korban dengan pelaku pemerkosaan.”
ADVERTISEMENT
Salah satu faktor pernikahan paksa terhadap anak ini karena faktor budaya dimana anak yang sudah menstruasi dianggap sudah siap menikah, ataupun bisa jadi karena anak tersebut sudah hamil sebelum nikah, begitupun banyak faktor lainnya. Dari adanya ketentuan dalam UU TPKS mengenai pemaksaan pernikahan termasuk kekerasan seksual, tentunya juga menjadi suatu bentuk perlindungan yang nyata bagi korban kawin paksa. Secara khusus perlindungan korban mendapat perhatian dan diatur dalam Bagian Keenam Pasal 42 s/d 45 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Tentunya untuk melindungi anak- anak di bawah umur yang menjadi korban pernikahan anak yang merupakan termasuk bagian pernikahan paksa, maka pemerintah pun mulai melakukan penguatan hukum dalam melindungi anak, mengembangkan program intervensi seperti kota layak anak, edukasi tentang pernikahan, perlindungan terpadu bagi anak berbasis masyarakat, dan lainnya. Perlindungan terhadap anak ini tentunya diperlukan upaya dari semua pihak tidak hanya dari pemerintah saja, orang tua pun memegang peranan penting untuk bisa mencegah terjadinya pernikahan paksa terhadap anak karena dikhawatirkan dari pernikahan paksa terhadap anak akan mempengaruhi psikis, pendidikan, dan kesehatannya juga yang paling ditakutkan terjadinya kekerasan dalam bentuk ringan ataupun berat yang menyebabkan trauma berat kepada korban yang merupakan anak di bawah umur tersebut. Begitupun Komnas HAM, dan Komnas Perlindungan Anak pun berperan penting dalam melindungi anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual akibat pernikahan paksa tersebut.
ADVERTISEMENT
Secara garis besar, perlindungan terhadap anak sebagai korban sangat diperlukan agar tidak berdampak terhadap psikis anak yang sangat berlebih. Bahkan, terkadang pernikahan paksaan ini tak jarang menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga dan yang banyak menjadi korbannya adalah perempuan ataupun anak di bawah umur yang dipaksa menikah. Kekerasan seksual pun seringkali terjadi di ranah rumah tangga dan korbannya perempuan, bisa saja salah satu faktornya karena pemaksaan pernikahan dimana salah satu pihak atau bahkan keduanya saling terpaksa dan tidak rela sehingga berpengaruh dalam menjalankan rumah tangganya tersebut.