Deklarasi Bogota: Upaya Indonesia untuk Mengeklaim Teritori Luar Angkasa

Rian Ramadhan
Science communication enthusiast, sering menulis seputar Astronomi, Sains, dan Teknologi. Tulisan dapat dilihat di: idntimes.com/rian-ramadhan2 warstek.com/author/rian-rmdhan medium.com/@kucianggadang
Konten dari Pengguna
14 September 2021 21:14 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rian Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pasca-perang dunia 2, muncul percikan konflik baru. Bukan pertempuran berdarah di medan peperangan, tapi adu pengetahuan dan teknologi untuk menjadi juara di luar bumi, alias luar angkasa. Perang dingin, khususnya perlombaan luar angkasa memanas di akhir tahun 50-an, ditandai dengan mengorbitnya objek buatan manusia pertama di luar angkasa, Sputnik 1.
Replika dari Sputnik 1 (kredit: NASA)
Sputnik 1 adalah satelit pertama yang diluncurkan oleh Uni Soviet pada tahun 1957, dan ini juga merupakan objek buatan manusia pertama yang mencapai orbit. Peluncuran ini menaikkan tensi perang dingin dan mengagetkan banyak pihak. Penerus Sputnik I yakni Sputnik 2 meluncur pada tahun yang sama dengan membawa seekor anjing bernama Laika di dalamnya. Laika kemudian tewas di luar angkasa karena membawa Laika kembali dengan selamat bukan bagian dari misi.
Laika, makhluk hidup pertama yang ke luar angkasa (sumber: NASA)
Tensi perang dingin terus meningkat, ada kekhawatiran keamanan bahwa berapa negara akan menempatkan misil nuklirnya di luar angkasa. Teknologi saat itu sudah memungkinkan untuk mengirim misil balistik ke lapisan atas atmosfer sehingga mencapai jangkauan lebih luas.
Penandatanganan Outer Space Treaty,1967 (sumber: UN Photo)
Isu keamanan luar angkasa dibawa ke forum internasional. USSR dan Amerika Serikat bersepakat dalam forum internasional untuk membentuk traktat yang mengatur hukum luar angkasa.
ADVERTISEMENT
Setelah perjalanan panjang dan beberapa resolusi PBB, dibentuk Outer Space Treaty tahun 1967, yang intinya menyatakan bahwa luar angkasa hanya bisa digunakan untuk tujuan perdamaian. Traktat ini melarang negara mana pun menempatkan senjata pemusnah massal miliknya di luar angkasa. Traktat itu ditandatangani oleh Amerika, USSR, dan United Kindom, dan sekarang sudah ditanda tangani lebih dari 100 negara termasuk Indonesia.
Selain menekankan netralitas luar angkasa, traktat ini juga melarang negara mana pun untuk mengeklaim sumber daya luar angkasa, mulai dari debu bulan, berlian asteroid, bahkan sepetak ruang kosong luar angkasa. Namun pada sejarahnya ada percobaan dari beberapa negara yang mencoba untuk mencari jalan legal mengeklaim teritori luar angkasa.

Deklarasi Bogota: legalitas untuk klaim luar angkasa

Pada tahun 1974, 7 tahun setelah outer Space Treaty disahkan, delapan negara khatulistiwa berkumpul untuk membuat aturan baru melibatkan kepemilikan sumber daya luar angkasa. Negara tesebut antara lain: Kolombia, Ekuador, Kongo, Kenya, Uganda, Zaire dan Indonesia.
Negara yang menandatangi Bogota Declaration pertama kali (kredit: Morgengave via Wikipedia)
Pertemuan tersebut yang menghasilkan Deklarasi Bogota, menyatakan bahwa orbit geostationer bumi, yang biasanya ditempati satelit telekomunikasi, merupakan teritori luar angkasa dari negara yang berada ‘di bawah’ bagian luar angkasa tersebut. Artinya tidak ada bedanya antara luar angkasa dan teritori udara suatu negara.
ADVERTISEMENT
Dalam dokumennya, orbit geostationer dianggap sebagai sumber daya alam, layaknya laut dan dataran. Di mana negara terkait memiliki kedaulatan atas sumber daya tersebut. Jika peraturan ini berlaku, maka tidak ada satelit yang boleh menempati orbit geostationer di atas wilayah negara khatulistiwa, tanpa izin khusus negara tersebut. Namun apa itu orbit geostationer?

Orbit geostationer: sarang teleskop telekomunikasi

Untuk melaksanakan fungsinya, satelit mengelilingi bumi dengan ketinggian yang beragam. Ketinggian itu menghasilkan kecepatan yang juga beragam. Ada yang cepat, ada juga yang diam relatif terhadap permukaan bumi. Ada yang rendah, ada juga yang sangat jauh. Berdasar jaraknya, orbit satelit terbagi atas: orbit rendah; orbit menengah; dan orbit geostationer.
Ilustrasi satelit yang sekarang di orbit, baik yang aktif atau yang sudah tidak berfungsi (tangkapan layar dari maps.esri.com/rc/sat2)
Obit rendah (Low Earth Orbit/LEO) memiliki ketinggian berkisar 160 s/d 1,000 km diatas permukaan bumi. Sebagian besar satelit yang pernah diluncurkan manusia menepati orbit ini (2,612 dari 3,372 total satelit aktif ini). Laboraturium luar angkasa ISS juga mengorbit di LEO dengan ketinggian 400 km dan kecepatan mengelilingi bumi 27,580 km/jam. Dengan kecepatan tersebut, ISS dapat mengelilingi bumi hingga delapan kali dalam satu hari. Dari semua orbit, LEO adalah kelompok satelit yang mengelilingi bumi dengan kecepatan tertinggi, dan kecepatan ini bertambah dengan semakin rendah satelit. Sebab, semakin dekat sebuah satelit dengan permukaan bumi, semakin kuat tarikan gravitasi, dan semakin tinggi kecepatan yang dibutuhkan sebuah satelit untuk ‘kabur’ dari jeratan gravitasi tersebut, sesuai dengan fisika gaya sentrifugal.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya ada orbit menengah (Medium Earth Orbit/MEO). Tidak terlalu umum, dan jumlah aktifnya hanya 139 buah. Kebanyakan adalah satelit navigasi seperti satelit konstelasi Galileo dan GPS. Misal untuk satelit konstelasi GPS mengorbit sekitar 20,200 km diatas permukaan bumi, dan masing-masing satelitnya dapat mengelilingi bumi dua kali dalam sehari.
Orbit Geostationer (kredit: ESA)
Sementara orbit geostationer adalah yang paling jauh, sekitar 35,786 km dari permukaan bumi khususnya garis khatulistiwa. Keunikan dari satelit yang berada di orbit ini adalah, satelit konstan terkunci menghadap satu titik ke permukaan bumi dan tidak bergerak relatif terhadap permukaan bumi. Artinya, satelit ini tidak memiliki revolusi, atau fase mengelilingi bumi layaknya satelit lain. Orbit ini memang hanya bertahan di bidang ekliptika bumi, atau garis di atas garis khatulistiwa bumi. Di sinilah negara-negara khatulistiwa yang menandatangani deklarasi bogota mengeklaim orbit geostationer adalah kedaulatan dari wilayah mereka.
ADVERTISEMENT

Dasar yang digunakan dan konsekuensinya

Sejak awal, aturan ini sudah bertolak belakang dengan Outer Space Treaty yang sudah digunakan luas. Tidak ada negara lain selain tujuh negara di atas yang menandatangani deklarasi tesebut, kecuali Somalia dan Gabon yang bergabung kemudian. Deklarasi Bogota tidak mendapat dukungan dan tidak diakui oleh negara-negara utara yang memiliki kekuatan luar angkasa (spacefairing nation). Otomatis berkekuatan lemah dan diabaikan di urusan legal internasional.
Deklarasi Bogota memang bentrok dengan pasal 2 Outer Space Trety. Di mana isi traktat tersebut melarang segala bentuk klaim objek luar angkasa. Namun dalam traktat ini digunakan frasa ‘outer space’ di mana di Deklarasi Bogota mengatakan bahwa orbit geostationer tidak termasuk dari ‘outer space’ sehingga legal untuk diklaim. Deklarasi Bogota juga menambahkan bahwa Outer Space Treaty tidak dapat dijadikan jawaban final dari aturan legal luar angkasa.
ADVERTISEMENT
Satu sisi deklarasi ini mungkin terdengar aneh, kenapa ada negara yang mencoba mengeklaim teritori luar angkasa. Namun kita harus bertanya lagi, apakah luar angkasa sekarang, adalah milik semua negara? Atau masih digunakan oleh hanya segelintir space power? Terlepas bekerja atau tidaknya deklarasi ini, harusnya memancing kita bertanya apakah luar angkasa sudah memenuhi definisi adil?
Peluncuran roket New Shepard membawa Jeff Bezos dan penumpang lain (kredit: Blue Origin)
Belum lagi space race versi abad-21 dimana miliarder Amerika berlomba-lomba mengkapitalisasi luar angkasa dengan space tourism. Apakah "space is for everyone" masih berlaku? Atau luar angkasa hanya eksklusif untuk yang punya uang dan teknologi?

Lalu bagaimana dengan Artemis Accord?

NASA memiliki misi besar beberapa tahun mendatang, yaitu mendaratkan kembali manusia ke permukaan bulan. Bukan hanya membawa bongkahan batu bawa pulang, tapi masuk ke tahap mengekstrasi sumber daya bulan dan menjadikannya bulan pos transit menuju Mars. Sumber daya tersebut adalah air beku di kutub bulan. Kandungan oksigennya akan digunakan sebagai propelan roket untuk meneruskan perjalanan. Kurang lebih, di bulan akan didirikan SPBU.
ADVERTISEMENT
Namun ada halangan besar. Outer Space Treaty melarang segala bentuk klaim benda luar angkasa dan sumber dayanya. NASA mencoba mengakali restriksi ini dengan menginisiasi perjanjian internasional baru yaitu Artemis Accord. Ada hal yang menarik dalam Outer Space Treaty. Di perjanjian tersebut, banyak hal yang terlalu general dan multitafsir untuk situasi dan kondisi yang beragam. Artemis Accord datang untuk ‘memperdetil’ demi meminimalisir konflik akibat beda perspektif tersebut. Artemis Accord dianggap menambah poin-poin yang tidak berseberangan dengan Outer Space Treaty.
Dalam Artikel II Outer Space Treaty, diperjelas tidak ada yang boleh klaim benda luar angkasa. Sementara Artemis Accord memperjelasnya kurang lebih ‘tidak diklaim, tapi sumberdayanya dapat diekstrak dan dimiliki’. Dan di Artemis Accord juga diperjelas bahwa jika ada suatu wilayah (misal) di bulan, yang sedang ada proyek ekstraksi, negara lain tidak boleh mengintervensi atau memasuki wilayah tersebut.
ADVERTISEMENT

Apa halangan di Artemis Accord?

Sejauh ini baru 9 negara turut serta menandatangani Artemis Accord, dengan 3 di antaranya adalah negara Eropa. Seperti yang kita tahu bahwa Eropa memiliki agensi luar angkasa gabungan yaitu ESA (European Space Agency) dengan anggota total 22 negara. Kekuatan yang dimiliki oleh Artemis Accord saat ini sangatlah insignifikan untuk Eropa. Ditambah Roskosmos (agensi luar angkasa milik Rusia, diluar ESA) secara terbuka mengatakan bahwa Artemis Accord ‘sangat amerika-sentris’. Padahal Rusia merupakan partner raksasa bagi luar angkasa Amerika seperti dalam proyek ISS.
Tapi, tidak menutup kemungkinan anggota Artemis Accord akan bertambah, sebab NASA masih gencar untuk mengajak negara-negara dengan sumber daya antariksa untuk bergabung. Perlu dicatat tidak ada konsekuensi nyata atas ketidakikutsertaan. Namun beberapa keuntungan didapat seperti kesempatan bergabung misi besar seperti Artemis atau kerja sama pembangunan infrastruktur luar angkasa bagi negara yang kekurangan tenaga ahli.
ADVERTISEMENT

Haruskah ada pembaruan untuk Outer Space Treaty?

Outer Space Treaty dibentuk sebagai jawaban netralitas luar angkasa dan isu keamanan internasional. Jika ditanya apakah Outer Space Treaty masih relevan sampai saat ini? Jawabannya iya. Namun seperti yang dimaksud NASA di atas, Outer Space Treaty terlalu multitafsir dan mungkin perlu ditambahkan cakupannya.
Orang-orang dibalik Outer Space Treaty saat itu mungkin belum membayangkan setengah abad kemudian akan ada rencana penambangan permanen di bulan. Dan juga, isu yang sekarang ramai diangkat oleh ilmuwan adalah konstelasi satelit. Ribuan satelit Starlink milik SpaceX mengancam penemuan sains karena mengganggu pengamatan teleskop bumi. Belum ada satupun aturan legal yang membatasi seberapa banyak suatu perusahaan atau negara maksimal mengirimkan satelitnya ke luar angkasa. Hal ini akan semakin menyebabkan ketimpangan antara negara dengan kekuatan luar angkasa, dengan negara berkembang/miskin di seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
Perlu ada sedikit pembaruan traktat yang dapat menjamin keadilan luar angkasa bagi seluruh dunia, tanpa menghambat kemajuan sains sedikitpun.