Konten dari Pengguna

Lamda, Chatbot Google yang Hidup

Rianraya Arunglangi
Mahasiswa Teknik Robotika dan Kecerdasan Buatan Universitas Airlangga
22 Juni 2022 13:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rianraya Arunglangi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Lamda 2 pada Google Keynote 2022 oleh CEO Google, Sundar Pichai. Foto: TechMende
zoom-in-whitePerbesar
Lamda 2 pada Google Keynote 2022 oleh CEO Google, Sundar Pichai. Foto: TechMende
ADVERTISEMENT
Beberapa hari yang lalu, dunia teknologi dihebohkan dengan berita seorang insinyur Google, Blake Lemoine, yang mengklaim bahwa chatbot berbasis artificial intelligence (AI) ciptaannya, telah berubah menjadi makhluk hidup yang memiliki perasaan. Menanggapi ini, pihak Google pun segera bertindak dengan memberikan penjelasan kepada publik dan sanksi kepada sang insinyur berupa cuti administratif dengan alasan sang insinyur telah melanggar kebijakan konfidensial Google. Namun, rasa penasaran pun bergejolak, apakah Google sedang merahasiakan sesuatu? Bagaimana jika sang insinyur berkata yang sebenarnya?
ADVERTISEMENT

Stigma Kecerdasan Buatan di Masyarakat

Untuk waktu yang lama, industri film Hollywood telah membuat masyarakat awam memiliki pandangan yang menakutkan terhadap kecerdasan buatan. Jalan cerita yang ada tidak jarang dapat melahirkan rasa khawatir serta penasaran dari para penonton, hingga akhirnya timbul pertanyaan seperti, apakah mungkin robot yang memiliki kecerdasan buatan dapat menguasai bumi?, bagaimana jika suatu saat manusia dimusnahkan oleh robot?, apa mungkin suatu saat robot dapat menjadi sahabat atau bahkan pasangan hidup manusia?, dan masih banyak lagi. Inilah yang kemudian melahirkan stigma kecerdasan buatan di masyarakat.
Sebaliknya, saat berita ini terbit, tidak banyak reaksi yang diberikan oleh warganet Indonesia. Sebagian kecil hanya menanggapi dengan santai melalui media sosial seperti Twitter. Namun, muncul pertanyaan, bagaimana jika Lamda benar memiliki perasaan seperti yang disaksikan oleh sang insinyur?
ADVERTISEMENT

Lamda, Chatbot Cerdas Buatan Google

Google adalah salah satu industri pengolah data terbesar di dunia. Untuk mesin pencariannya saja, kurang lebih ada 200 PB (Petabyte) atau setara dengan 200 juta GB (Gigabute) data yang diproses setiap harinya. Dengan jumlah data yang begitu besar, sebuah chatbot dengan kecerdasan yang menyamai intelektual manusia bukanlah hal yang mustahil bagi Google. Inilah yang sebenarnya terjadi pada Lamda.
Lamda pertama kali dikenalkan pada publik di event tahunan Google (Google I/O) pada tahun 2021. Chatbot yang dikembangkan oleh 60 insinyur Google ini dibuat menggunakan sebuah arsitektur neural network yang diciptakan oleh Google pada 2017, yaitu Transformer.
Setahun setelah perkenalannya dengan publik, Lamda kemudian diberitakan telah memiliki kesadaran layaknya manusia. Namun, nampaknya telah terjadi miskonsepsi pada definisi kecerdasan buatan. Anggaplah sebuah teknologi berbasis AI dikembangkan dan suatu saat teknologi itu mencapai keadaan di mana kecerdasannya sudah setara atau menyamai kecerdasan manusia rata-rata, lantas dapatkah teknologi tersebut dikatakan memiliki kesadaran atau bahkan perasaan? Ataukah perasaan manusianya yang telah tertipu dengan kecanggihan teknologi kecerdasan buatan?
ADVERTISEMENT

Kecerdasan Buatan Berbeda Dengan Kesadaran Buatan

Sebuah teknologi atau robot yang memiliki kecerdasan buatan yang sempurna, belum tentu memiliki kesadaran buatan. Ini adalah dua hal yang berbeda. Manusia mungkin telah menciptakan sebuah teknologi yang dapat 'belajar' dengan sendiri mengenai tugas atau masalah apa yang harus ia selesaikan, namun sampai artikel ini ditulis manusia masih belum menemukan sebuah sistem atau bahkan konsep yang dapat menghidupkan sebuah teknologi dengan kesadaran atau perasaan buatan, seperti yang ada pada film fiksi.
Ini dapat disamakan dengan robot anjing cerdas. Ketika robot anjing itu dinyalakan, ia akan bergerak dan bertingkah menyerupai anjing asli. Misalnya saat dielus, ia akan memberikan respons dengan suara yang lembut dan gestur seolah-olah ia menyukainya. Namun, apakah robot anjing itu dapat disamakan dengan anjing sungguhan? Tentu tidak. Ketika kita memulai percakapan dengan chatbot dan chatbot itu menjadi lawan bicara yang baik, apakah ia dapat disamakan dengan orang asli? Tentu tidak.
ADVERTISEMENT
Lamda dapat diberikan gelar sebagai chatbot dengan kecerdasan buatan terbaik yang pernah ada, melihat jawaban yang diberikan oleh teknologi ini sudah tidak dapat lagi dibedakan dengan manusia asli. Tetapi bukan berarti ia memiliki perasaan atau kesadaran. Kecerdasannyalah yang telah “menghipnotis” Blake Lemoine, sang insinyur, untuk dengan yakin menyatakan bahwa chatbot ini memiliki perasaan.

Lamda dan Turing Test

Walaupun Lamda tidak memiliki kesadaran, namun penemuan chatbot ini merupakan sebuah kemajuan yang signifikan di dunia kecerdasan buatan. Jika diuji dengan menggunakan turing test maka dapat dipastikan Lamda akan lulus. Turing test sendiri adalah sebuah metode yang digunakan untuk menentukan apakah sebuah komputer atau algoritma mampu berpikir layaknya manusia atau tidak. Intinya, jika sebuah algoritma dapat memberikan respons yang tidak dapat dibedakan dengan respons manusia pada umumnya, maka algoritma tersebut dikatakan cerdas. Sehingga Lamda dapat dikatakan sebagai chatbot yang tercerdas saat ini.
ADVERTISEMENT

Awal Dari Kecerdasan Super (Artificial Superintelligence)

Di sisi yang lain, teknologi Lamda dapat membantu pengembangan kecerdasan super buatan (artificial superintelligence / ASI). Kecerdasan super buatan adalah kecerdasan buatan hipotetis yang memiliki kecerdasan yang melebihi manusia. Walau kedengaran mengerikan, jenis kecerdasan buatan ini akan memiliki banyak manfaat bagi umat manusia. Nantinya manusia dan teknologi dapat saling berkolaborasi untuk menyelesaikan masalah yang rumit sehingga akselerasi perkembangan teknologi akan dapat bertambah. Teknologi yang membutuhkan waktu 100 tahun untuk ditemukan oleh manusia mungkin dapat ditemukan hanya dalam 50 tahun, hasil kerja sama manusia dan kecerdasan super buatan ini.
Tidak dapat disangkal bahwa teknologi kecerdasan super buatan ini juga dapat disalah-gunakan oleh sebagian pihak. Namun, jika melihat teknologi ini dengan menggunakan pola pikir yang skeptis, maka sampai saat ini manusia akan tetap tinggal di dalam gua yang aman dan tidak pernah mengambil risiko untuk keluar dan mengeksplorasi dunia. Karena itu, merupakan sebuah pikiran dangkal jika kita selalu menolak kemajuan karena ketakutan akan sisi negatif sebuah teknologi.
ADVERTISEMENT