Konten dari Pengguna

Renungan Sosial: Ilusi Pilihan Perempuan

Rianti Ardana Reswari
I am a lecturer from Department of Management in Universitas Panca Bhakti at West Kalimantan. My academic interest involved in marketing literature such as social marketing, corporate social responsibility, global marketing and sustainability issue.
4 Mei 2023 20:34 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rianti Ardana Reswari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perempuan bahagia. Foto: Mumemories/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan bahagia. Foto: Mumemories/Shutterstock
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Perempuan lebih dari sekadar wajah dan tubuh yang indah, mereka punya ambisi dan pemikiran yang sanggup mengubah dunia. Gender equality is far more than just feminism. We should strive together as partners involving man and woman to encounter existing patriarchal social patterns.
Dilansir dari World Economic Forum khususnya pada Gender Gap Report di tahun 2020, isu kesetaraan gender di tempat kerja masih perlu diperjuangkan. Sebab disimpulkan bahwa kesetaraan pendidikan bisa tertutupi 12 tahun lagi, sedangkan kesetaraan politik butuh 94,5 tahun dan kesetaraan di tempat kerja butuh 257 tahun mendatang bagi perempuan.
Fenomena dalam dunia pekerjaan begitu keras bagi perempuan sebagaimana terdapat 'glass-ceiling' antar perempuan dan laki-laki. Pada saat perempuan memutuskan untuk menikah dan melahirkan kehidupan mereka dianggap berakhir. Begitu nestapa fenomena ini, sebagaimana keputusan mempunyai anak ini adalah keputusan bersama sehingga seharusnya secara adil maka kehidupan 'berakhir' bagi laki-laki maupun perempuan.
ADVERTISEMENT
Tetapi tidak pada laki-laki, mayoritas mereka mendapatkan simpati lebih sedangkan perempuan sebaliknya. Urusan merawat, menyusui dan pekerjaan domestik lainnya notabene dibebankan kepada perempuan, baik ibu rumah tangga maupun wanita karier. Padahal dalam kehidupan pernikahan perlu disepakati bahwa adanya pembagian peran sehingga mampu untuk menjalani kehidupan pernikahan yang harmonis.
Diskriminasi pada perempuan yang memutuskan melanjutkan kehidupan pernikahan terus berlanjut di bidang pekerjaan terutama pada isu “Cuti Melahirkan” dan “Laktasi” yang dianggap hal remeh bagi masyarakat, tentu ini bukan hal mudah. Pada saat mempunyai anak, tubuh dan mental perempuan mengalami perubahan drastis. Pengorbanan yang besar ini selayaknya dihargai. Bagi sebagian besar yang beruntung, masih dapat menggapai cita-cita mereka.
Akan tetapi berapa banyak perempuan yang mengorbankan mimpi dan pekerjaan mereka pada saat memilih untuk berkeluarga? Bagaimana nasib perempuan yang menjadi korban kekerasan fisik atas “keputusan bersama” ini? Identitas mereka dilucuti karena dalih mempertahankan “keluarga” sehingga tentu berat beban yang ditanggung oleh seorang perempuan. Masyarakat seakan melupakan bahwa perempuan mempunyai rasionalitas dan logika dalam mengurus keluarga selagi bekerja. That’s how pathetic the rooted patriarchy society is.
ADVERTISEMENT
Konstruksi masyarakat patriarkal yang sudah menggariskan jalan kehidupan standar perempuan merupakan hal ironis. Lekatnya stigma budaya patriarki masyarakat di Indonesia tentang pandangan perempuan sebagai objek masih perlu diubah. Dibutuhkan toleransi dan edukasi pada peran perempuan sehingga mampu memudarkan “ilusi” pada pilihan perempuan pada dunia pekerjaan.