Konten dari Pengguna

Fenomena Budaya Politik Popularitas dalam Pemilu 2024

Andrianto Umbu Ndjandji
Dosen Ilmu Pemerintahan Sekolah Tinggi Pembangunan masyarakat (STPM) Santa Ursula
3 Maret 2024 9:33 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andrianto Umbu Ndjandji tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Surat Suara Pemilu Pada Kontestasi Pemilu 2024. Foto: ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Surat Suara Pemilu Pada Kontestasi Pemilu 2024. Foto: ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
ADVERTISEMENT
Popularitas yang sering dikaitkan pada aktor, aktris, penyanyi hingga influencer, karena mereka memiliki daya tarik tersediri di mata orang lain, maka pada kacamata politik saat ini popularitas mengarah sebagai strategi jitu dalam budaya politik sehingga memperoleh suara baik pada paslon atau partai yang dikendarai.
ADVERTISEMENT
Berbanding terbalik pada istilah “Money Politic” yaitu strategi tradisional yang sudah populer pada budaya kalangan politikus untuk memakai modus uang untuk memperoleh suara, tidak heran dengan modus ini juga banyak tumbal politik uang seperti menjadi gila atau stres bahkan bunuh diri karena tidak terpilih.
Dalam kontestasi pilpres dan pileg tahun 2024 banyak partisipasi politikus (Kaum Petahana) yang memiliki semangat untuk kembali meraih kursi di DPR, DPRD, dan DPD baik ditingkat Pusat maupun Daerah. kemudian fenomena politik yang tidak langkah lagi dengan melihat sejumlah selebritis tanah air yang terjun berkompetisi meraih suara masyarakat pada kontes pemilu di tanggal 14 februari 2024 yang lalu.
Popularitas dalam legistatif menjadi langkah paten bagi paslon yang tidak mengandalkan uang sebagai orientasi hasil pada pemilu, hal ini sebagai budaya baru dalam politik, Fenomena ini pun sebetulnya bukanlah barang baru.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan catatan dari situs infopemilu.kpu.go.id. para artis, penyanyi hingga influencer di antaranya “Krisdayanti, Rano Karno, Nurul Arifin, Mulan Jemeela, Primus Yustisio, Eko Patrio, Desy Ratnasari, Denny Jagur, Farhan, Ahmad dhani, Anang Hermansyah, Gilang Dirga, Komeng, Uya Kuya hingga Dede Yusuf”, Liputan 6, (15/08)
Popularitas Strategi Jaminan Politik
Salah satu caleg DPD Jawa barat yang fenomenal pada kontestasi pemilu 2024 yaitu alfiansyah komeng sebagai komedian terkenal dengan sapaan hangat si komeng uhuyyyy, menjadi sorotan di pemilu 2024 kali ini, bukan karena sebagai selebritis yang mengikuti kontes pemilu saja melainkan keikutsertaan komeng dalam pemilu dengan foto nyeleneh yang terpampang pada kartu pemilih DPD yang menghebohkan masyarakat pada wilayah jawa barat.
Berdasarkan hasil perhitungan suara sementara di situs Komisi Pemilihan Umum (KPU), Data yang masuk dalam perhitungan DPD Jawa Barat telah mencapai 49,69%, Komeng meraup 1.380.427 suara (12,26%) dan terus meningkat. Angka tersebut jauh melebihi calon-calon lain pada surat suara DPD Jawa Barat. Di peringkat kedua, ada aktris Jihan Fahira dengan perolehan suara 512.161 (4,73%). Kumparan, (17/02)
Kegiatan Warga menggunakan hak suara pada pemungutan suara pemilu 2024 di TPS 02, Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (27/4). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Pengamat politik dari Badan Riset dan lnovasi Nasional (BRIN), Devi Darmawan, mengatakan bahwa dalam politik Indonesia, masih sangat ditentukan oleh sosok dan figuritas, ketimbang pengalaman dan gagasan.
ADVERTISEMENT
“Masyarakat merasa sosok Komeng bisa dianggap sebagai sosok yang fresh untuk dipercaya sebagai perwakilan dari daerah Jawa Barat ini untuk bisa masuk ke parlemen,” kata Devi.
Ia menyatakan bahwa peran dan fungsi perwakilan rakyat, baik di tingkat DPR, DPD maupun DPRD, masih dipandang sebagai posisi yang simbolis atau hanya sebagai formalitas oleh para pemilih saat ikut serta dalam pemilihan umum.
Oleh karena itu, bagi masyarakat memiliki kecenderungan untuk memilih sosok figur yang familiar atau terkenal bagi mereka seperti tetangga, kenalan atau dalam konteks ini, selebritas yang popular.
Lantas, bagaimana seharusnya masyarakat menyikapi fenomena popularitas pesohor atau figur publik saat pemilihan umum ?
Fenomena ini biarlah menjadi sejarah baru dan baik dalam kontestasi pemilu, saat ini masyarakat hanya di butakan oleh fenomena “brangkas atau money politik”, dimana masyarakat tidak memahami dan mengerti sosok figure yang mereka ingin pilih tetapi hanya “terpaksa” dalam pemilihan karena ada motivasi/modus tertentu.
ADVERTISEMENT
Komeng sendiri mengaku sengaja menggunakan foto ‘nyeleneh’ tersebut. Apalagi tidak ada larangan penggunaan foto dengan gaya seperti itu.
"Itu kan suratnya enggak bersuara, makanya saya bikin bersuara. Ya saya demen (suka) saja, anti-mainstream, enggak sama kayak orang lain," ujar Komeng kepada detikcom, Rabu (14/2).
Lebih lanjut Komeng menegaskan bahwa pose 'nyeleneh' tersebut bukan semata mendapat banyak suara dari publik, tapi ia ingin tampil beda dan menghibur.
"Tujuan ke situ sih enggak ada. Memang saya pada dasarnya, kalau konsep ngelawak saja suka. Ingin sesuatu yang baru," ucapnya.
Banyak akun sosial media yang menyoroti terkait fenomena budaya politik ini, karena tanpa berkampaye besar-besaran dan tidak menggunakan partai, legend komedian alfiansyah komeng dapat menduduki kursi DPD Jawa Barat dengan peringkat nomor 1, hal ini menunjukan bahwa popularitas bukan sekedar nilai komersial saja tetapi merupakan strategi mematikan dalam pemilu jika tepat digunakan oleh orang yang tepat.
ADVERTISEMENT
Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Silvanus Alvin, mengatakan bahwa artis saat mencalonkan diri menjadi politisi, biasanya mereka memanfaatkan citra dan popularitas yang sudah terbangun di masyarakat.
“Payung besar politisi selebritas ini adalah mereka akan menggunakan modal utama mereka, yaitu aura selebritas mereka. Kalau dia seorang komedian, tentu narasi komedinya ini, yaitu yang harus ditonjolkan,” jelas Alvin kepada BBC News Indonesia (16/02).
Ia mengatakan bahwa sosok Komeng masih cukup relevan dan dikenal banyak orang di kalangan publik, karena kariernya sebagai komedian dan beberapa kali ia mengisi iklan dan acara televisi.
Karena muka dan karakternya familiar di mata masyarakat, ia akhirnya terpilih untuk mewakili mereka. Alvin menyebut fenomena tersebut dengan istilah politainment, ketika selebritas dan figur publik mampu menarik perhatian publik saat terjun ke dunia politik.
ADVERTISEMENT