Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Retorika Politik Sebagai TOL Politik Tahun 2024
7 Februari 2024 6:50 WIB
Tulisan dari Andrianto Umbu Ndjandji tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam Hidup berbangsa dan bernegara kita harus memahami bahwa kewajiban kita menjadi salah satu unsur penting dalam pembangunan bangsa, bukan saja berbicara dan mengeluarkan luapan idealis dalam membangun bangsa negara dan tanah air tetapi tidak dibuktikan secara penuh kontribusi kita bagi negara. Hal yang sangat menarik saat kita berbicara terkait retorika, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata retorika merupakan keterampilan berbahasa secara efektif, atau studi tentang pemakaian bahasa secara efektif dalam karang-mengarang, dan atau seni berpidato yang muluk-muluk dan bombastis. Didalam kehidupan sehari-hari kita dapat menjumpai retorika pada tiap kalangan mulai dari komunitas masyarakat sampai pada organisasi swasta maupun publik, banyak individu yang berseni dalam retorika untuk mendapatkan simpatik orang lain yang mengenal atau tidak mengenail pribadi orang tersebut.
ADVERTISEMENT
Retorika, sebagai seni menggunakan kata-kata untuk mempengaruhi pendengar atau pembaca, sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari tanpa disadari. Ketika dalam tahun politik, para politikus mengambil peluang besar untuk beretorika kepada kalangan masyarakat supaya terlena dan terpelana dari manisnya kata menjanjikan dan membuai tersebut. Pada kenyataannya bahwa masyarakat saat ini sudah mengalami kemajuan dalam berpikir dan tindakan, terbukti jika hal pembicaraan yang disampaikan secara tidak konkrit maka sama saja dengan istilah “usaha menjaring angin” bagi politikus yang ingin menduduki jabatan tertentu, masyarakat saat ini juga dapat melihat elektabilitas politikus untuk bisa teruji saat menduduki suatu jabatan penting, ironisnya pemahaman dan pengetahuan ini tidak sepenuhnya teraplikasikan, oleh masyarakat yang tidak memliki prinsip yang kuat.
ADVERTISEMENT
Hebatnya para politikus mengambil posisi sebagai “pihak luar” dengan mengabaikan identitas mereka sebagai orang politik dan menjadi bagian dari publik, inilah strategi mereka sehingga retorika politik yang lahir dalam menyakinkan dan menjaminkan komitmen masyarakat untuk mereka pegang sehingga menjadi fondasi yang kuat. Keberpihakan bersama publik, memiliki aspirasi dan harapan sama dengan publik. Politikus seperti itu ingin mengatakan bahwa dirinya bukan bagian dari politikus yang berkontribusi terhadap kekusutan politik. Persoalan identifikasi itu ternyata terletak di jantung semua retorika persuasif untuk membujuk seseorang agar dapat berbicara dalam bahasanya dengan ucapan, gerak tubuh, nada suara, gambar, sikap, ide, dan identifikasikan cara Anda seperti cara dia.
Mencermati pada debat pemilu capres-cawapres 2024 salah satu paslon capres yakni Anis Baswedan dinilai bahwa dalam debatnya mengungkapkan pendapat terkait kenerja pemerintah yang tidak begitu optimal sehinga dalam retorika pendapatnya, Anis Baswedan menyalahkan dan menilai kinerja dari Menteri yang menjabat bahwa hasilnya tidak memuaskan publik, ungkapan ini pun menjadi boomerang bagi Anis Baswedan, pasalnya Anis pernah menjadi mantan Menteri pendidikan yang masuk dalam siklus kabinet presiden Jokowi Widodo, dan penyerangan menggunakan retorika ini menjadi analisa publik bahwa Anis Baswedan memberikan senjatanya melalui keberpihakan pada publik yang merasakan kinerja pemerintah yang buruk padahal dia sendiri bagian dari politikus dan pemeritah yang menjabat. Kira-kira dia menegaskan bahwa pandangan saya tentang suatu persoalan didasarkan pada hasil survei dan pandangannya.
ADVERTISEMENT
Retorika menjadi hal yang lumrah dalam ring arena politik, karena banyak politikus mengidentikkan diri sebagai bagian dari masyarakat. Ada partai politik yang mengambil posisi sebagai “partai skala kecil” yang secara tidak langsung mengindikasi partai rakyat kecil. Adapun sejumlah partai yang menonjolkan identitas sebagai partai agama terutama partai Islam. Ada juga partai yang menunjukkan identitasnya sebagai partai nasionalis. Memang identitas itu dikaitkan dengan ideologi partai meskipun dalam praktiknya tidak terlalu menonjol karena umumnya justru memperlihatkan praktik transaksional dan pragmatisme.
Berdasarkan pada debat Capres-cawapres 2024 tampak dalam aduh pendapat dari 3 kandidat paslon, menunjukan elektabitas maupun komitmen visi misi yang berorientasi pada masyarakat sehingga terekam jelas bahwa hal retorika menjadi senjata ampuh untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat untuk dapat memilih kandidat paslon yang terbaik. Menganalisa dalam debat ke 5, salah satu paslon no 2 pada gagasan capres yakni Prabowo boleh dikatakan berbobot dan substantif, karena dalam argumentasinya tidak menonjolkan arogansi dan minim data, melainkan Prabowo tampil prima dengan gaya yang solutif pada setiap argumentasinya dapat dibuktikan secara konkrit, terlihat saat berbicara soal ketenagakerjaan, beliau mengatakan bahwa dia bersama tim kerja (aktivis imigran) yang ada di Malaysia berhasil memulangkan TKW Asal Indonesia yang akan mendapatkan hukuman gantung dimalaysia, tindakan serta retorika yang beliau sampaikan menggugah kacamata publik, bahwa aspek solutif yang diberikan dapat dirasakan oleh masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kalau cuma beretorika, patologi birokrasi takkan lenyap. Karena itu, pemegang mandat politik yang kerap beretorika semestinya punya basis komitmen moral yang kuat dalam mengurus kemaslahatan publik. Bahkan, seorang Gorgias (483-375 SM) yang membuat sekolah retorika pun mengemukakan pentingnya moral bagi orator politik. Kata Aristoteles (384 SM-322 SM), publik dapat terpengaruh retorika politik bukan cuma oleh gaya dan isi argumentasi, melainkan juga karakter yang diproyeksikan oleh pembicara (etos). Dan, etos itu ada tiga kategori: phronesis (melibatkan kebijaksanaan dan keterampilan praktis), arete (moralitas dan kebajikan), serta eunoia (niat baik terhadap publik). Kira-kira begitulah retorika
Sebagai suatu bunga bahasa, retorika melibatkan pemilihan kata yang cermat, penyusunan kalimat yang tepat, dan penggunaan gaya bahasa yang menarik. Seorang pembicara atau penulis yang mahir dalam retorika dapat membangun suasana, mengekspresikan emosi, dan menyampaikan pesan dengan kekuatan yang mampu mempengaruhi atau merubah pandangan orang lain. Retorika bukan hanya soal teknis bahasa, tetapi juga tentang kejelian dalam menarik perhatian audiens, menggerakkan perasaan mereka, dan mendorong refleksi dalam diri. (News Detik.Com 30/12/2023
Retorika dan Politik
ADVERTISEMENT
Secara prespektif politik, retorika memiliki peran yang penting. Pemimpin politik memanfaatkan retorika untuk menghidupkan pencitraan pribadi maupun organisasi partai, mengartikulasikan visi dan program mereka, dan membentuk opini publik. Sebuah pidato politik yang menarik mampu memikat dan menginspirasi rakyat, menggerakkan massa, bahkan mengubah jalannya Sejarah politik. Retorika politik juga kerap digunakan untuk mengekspresikan keyakinan idialisme, mengkritik lawan politik, atau merayu pemilih guna mendapatkan simpati dan dukungan mereka.
Sebuah contoh yang masih segar dalam ingatan kita adalah frasa “etika politik” yang populer pada pemilihan presiden pada 2024. Frasa ini mengandung makna sebuah elemen penting dalam retorika. Dengan mevisualisasi rival politik sebagai paham "etika" sebuah frasa yang mengartikan kesopanan etika seseorang dalam berbicara. Penggunaan tersebut bermaksud menyindir pemain politik yang kerap menggunakan pengalaman politik dan rekam jejak bagi lawan politik yang lain, terlihat pada debat ke 4 cawapres paslon no urut 2 yakni Gibran, membombardir mental dari paslon No 3 yakni Mahfud MD dengan kalimat “saya lagi mencari jawaban atas pertanyaan yang diberikan” hal ini di tanggapi tidak etis dibeberapa kalangan pasalnya orang yang menjadi lawan pendapat dinilai memiliki usia yang tidak sepadan, hal ini berbanding terbalik dari konseptual dari retorika itu sendiri, bahwa yang dilakukan oleh Gibran mengambarkan retorika jadi itu merupakan hal yang wajar dalam debat politik.
ADVERTISEMENT
Sejarah Indonesia juga mencatat beberapa founding fathers yang mahir dalam seni retorika. Dikisahkan, dalam percakapan dengan Ahmad Subardjo perihal terbentuknya Kabinet Parlementer pimpinan Sutan Sjahrir, Soekarno pernah mengungkapkan, "Seperti rotan, saya hanya melengkung, tidak patah." Metafora rotan digunakan untuk menyatakan ketahanan dan keteguhan Soekarno dalam menghadapi tekanan atau tantangan. Metafora ini dipilih untuk menciptakan gambaran yang kuat dan mudah diingat oleh si pendengar.
Kemampuan retorika seorang pemimpin bukan hanya mencerminkan keahliannya dalam berbicara, tetapi juga menunjukkan kesabaran dalam mengelola masyarakat yang majemuk. Pemimpin yang mahir dalam retorika dapat menjembatani perbedaan pendapat dengan kata-kata bijak, memfasilitasi dialog terbuka, dan membangun pemahaman bersama. Dengan menekankan retorika, pemimpin akan menciptakan lingkungan yang mendukung nilai-nilai demokrasi, seperti partisipasi warga dan penghormatan terhadap keragaman. Retorika dapat mengurangi potensi konflik.
ADVERTISEMENT
Retorika di Tahun Politik
Dalam suasana tahun politik, pemahaman retorika memiliki peran yang semakin krusial dibandingkan sebelumnya. Maraknya media sosial dan aliran informasi yang cepat membuat kemampuan menganalisis dan memahami penggunaan kata-kata menjadi modal yang berharga. Pemilih yang cerdas dapat menyaring informasi dari pemimpin politik dan menggali makna yang tersembunyi di dalamnya. Pemahaman retorika memainkan peran penting dalam meningkatkan nalar kritis masyarakat dan memungkinkan mereka membuat keputusan politik yang lebih tepat.
Oleh karenanya, pendidikan retorika di sekolah yang dikemas dalam matakuliah dan mata Pelajaran serta sosialisasi kepada masyarakat menjadi sangat penting agar generasi muda dapat mengembangkan keterampilan analisisnya. Masyarakat yang terdidik akan mampu mengenali manipulasi kata-kata dan mengidentifikasi kelemahan logika. Dalam konteks demokrasi, pemahaman retorika membekali masyarakat dalam menentukan calon pemimpin di suatu pemilihan umum. Obrolan politik bukan lagi topik yang eksklusif bagi komunitas tertentu, melainkan menjadi ranah yang dapat diakses dan dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Terkait kesadaran politik dalam masyarakat ini, pemikir Prancis, Alexis de Tocqueville (1805 -1859), mengisahkan kehidupan masyarakat Amerika pada abad kesembilan belas berdasarkan penelitiannya. Di Amerika, menurutnya, politik menjadi fokus utama pendidikan. Bahkan, juri sudah diperkenalkan dalam permainan anak-anak di sekolah, dan kehidupan parlemen menjadi topik pembicaraan yang mendalam ketika pesta-pesta berlangsung. Tocqueville menyimpulkan bahwa kemajuan Amerika sulit dikejar karena masyarakatnya cenderung membawa isu-isu publik ke dalam percakapan pribadi.
Ketika kesadaran politik semakin meluas di kalangan masyarakat, pemahaman mereka terhadap peran retorika dalam arena politik pun ikut meningkat. Kesadaran politik ini menyiapkan mereka untuk lebih cermat menganalisis dan menafsirkan pesan-pesan politik yang disampaikan oleh para pemimpin. Pada akhirnya, merayakan berbagai retorika dapat membawa dampak positif dalam pengembangan wacana publik. Keanekaragaman retorika menghadirkan 'ruang' diskusi yang lebih mendalam, memperluas sudut pandang, dan merangsang pemikiran kritis di kalangan masyarakat.
ADVERTISEMENT