Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Berita Seremonial Itu Membosankan
8 September 2022 9:28 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ribut Achwandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya pernah ditanya oleh seorang kawan yang kebetulan bekerja sebagai wartawan. Dia baru saja memasuki dunia kerja beberapa bulan. Ia juga sengaja ingin menemui saya dan mengajak diskusi seputar yang jadi pekerjaannya sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita, selama ia menjalani pekerjaan barunya itu ada sesuatu yang ia rasa ganjil. Terutama, saat ia harus menuliskan berita tentang peristiwa-peristiwa formal macam peresmian gedung, kunjungan pejabat, pertemuan warga dengan pejabat, dan yang sejenisnya. Ia merasa bosan dengan gaya penulisan berita yang menurutnya begitu-begitu saja. Diawali dengan penyebutan nama acara dan nama pejabat yang membuka acara tersebut. Dilanjutkan dengan isi materi pidato atau sambutan pejabat dalam acara yang dihadirinya.
Padahal, menurutnya, isi pidato pejabat daerah itu terkesan begitu-begitu saja, monoton. Paling-paling sekadar ucapan terima kasih, apresiasi, dan dukungannya terhadap acara yang dihadirinya. Selebihnya, tak ada.
“Selalu begitu sambutannya. Bikin malas menuliskannya menjadi berita,” tandasnya. “Sebab, nyaris tak ada kebaruan. Tak ada wacana baru yang segar dilontarkan dari pernyataan pejabat-pejabat itu. Bahkan, ada kebiasaan yang hampir sama dilakukan para pejabat daerah itu. Yaitu, menyampaikan ulang kalimat kunci visi misinya saat mereka berkampanye dulu,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Mendengar itu saya masih tersenyum saja. Belum memberikan tanggapan apapun atas keluhan kawan saya itu.
Ia kembali melanjutkan, “Yang fatal, ada juga nih pejabat daerah yang nggak mengenal desa atau kelurahan yang dikunjunginya. Ia tak sampai menyentuh permasalahan desa atau kelurahan itu. Entah itu kisah-kisah tentang desa atau kelurahan itu atau mengenalkan tokoh sesepuh desa atau kelurahan itu dalam sambutannya. Kan aneh!”
Senyum saya makin lebar mendengar keluhan itu. Hampir-hampir saya tertawa. Tetapi, masih bisa saya tahan.
“Jadi, kesannya tuh podium acara hanya jadi ajang tebar pesona. Tetapi, tak menyentuh kehendak masyarakat. Podium hanya diisi dengan pidato-pidato kosong yang nyaris tak punya makna. Malah, yang lucunya lagi, di hadapan warga, pejabat daerah ini repot-repot menyampaikan hal-hal yang sifatnya sangat teknis, bukan kebijakan. Terus, apa urgensinya?” lanjut kawan saya makin bersemangat.
ADVERTISEMENT
Tak sanggup lagi menahan, dari mulut saya terletuplah tawa kecil. Lalu, saya tanyakan padanya, “Terus mau kamu apa?”
Sambil garuk-garuk kepala, kawan saya lantas membalas, “Ya, setidaknya mereka nggak begitulah. Itu sangat membosankan. Apalagi bagi saya yang mau menuliskan peristiwa itu jadi berita. Lha kalau begini terus, lama-lama beritanya monoton juga. Nggak ada yang seru untuk ditulis dan dibaca.”
“Kan ada kesempatan buat wawancara setelah pejabat itu turun dari podium?” seloroh saya.
“Iya sih, tapi saya pinginnya saat di atas podium itu. Bagi saya, itu lebih menarik ketimbang saat diwawancara. Jawabannya sudah pasti beda, meski perbedaannya tak terlalu besar. Pernyataannya relatif masih sama,” timpalnya.
Tak salah juga sebenarnya keluhan kawan saya itu. Tetapi, mungkin saja ia belum menemukan cara lain untuk menuliskan berita dengan sudut pandang yang berbeda. Saya maklum, ia masih baru menjalani pekerjaannya.
ADVERTISEMENT
“Sayangnya, kamu nggak punya wewenang untuk mengatur beliau-beliau,” celatuk saya kemudian.
Ia mengangguk. Tetapi, segera menyorongkan pertanyaan, “Terus apa dong solusinya?”
“Ketika saya di posisimu, saya akan menulis berita peristiwa itu dengan sudut pandang lain. Saya akan fokuskan ke hal lainnya. Tidak ke acara seremonialnya. Di acara-acara macam itu pastilah ada banyak peristiwa kecil yang boleh jadi luput dari perhatian. Di situlah saya akan berburu informasi dan mengumpulkan data sebanyak mungkin. Siapa tahu, itu yang lebih menarik untuk dituliskan jadi berita daripada seremoninya. Begitu mendapatkan peristiwa kecil yang benar-benar menarik, saya akan meletakkan acara seremonial itu hanya sebagai bagian kecil dari keseluruhan peristiwa seremonial itu,” jelas saya.
“Tapi berita tentang pejabat dan kegiatannya itu kan penting?” sergahnya.
ADVERTISEMENT
“Tidak selalu dan tidak selamanya,” jawab saya singkat. “Makanya, saat menghadiri acara begituan kita perlu memanfaatkan secara maksimal ketajaman panca indera kita, supaya lebih peka dan bisa mendapatkan bidikan peristiwa yang bisa bikin orang melongo saat kita menuliskannya sebagai berita. So, kita pun bisa enjoy dengan apa yang kita tulis.”
Dia lantas menganggukkan kepala. Semoga saja anggukan yang betulan, bukan sekadar anggukan yang seremonial.