Bung Hatta dan Museum Batik Pekalongan

Ribut Achwandi
Penyiar Radio di FM 91,2 Radio Kota Batik, Pekalongan.
Konten dari Pengguna
6 Juni 2023 11:46 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ribut Achwandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Museum Batik, Pekalongan Foto: Museumbatik.info
zoom-in-whitePerbesar
Museum Batik, Pekalongan Foto: Museumbatik.info
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Matahari Senin (5/6) perlahan meninggalkan pagi. Setahap demi setahap, ia menaiki tangga langit menuju siang. Di halaman gedung tua bekas Kantor Keuangan era Pemerintahan Kolonial Belanda yang membawahi tujuh pabrik gula di Karesidenan Pekalongan itu tampak sejumlah orang berkemeja batik mondar-mandir. Sebagian dari mereka ada yang berdiri di pintu masuk gedung itu. Seperti sedang menunggu sesuatu yang akan datang di hari itu.
ADVERTISEMENT
Rupanya benar, ada tamu istimewa yang akan datang berkunjung. Tamu dari Jakarta. Katanya, tamu ini rombongan dari keluarga pembesar bangsa Indonesia di era Orde Lama.
Tak lama kemudian sebuah Toyota Alpard hitam berpelat B berhenti tepat di depan pintu masuk. Pengemudi dan sejumlah orang dalam rombongan itu pun tampak sigap, membukakan pintu bagi dua perempuan yang duduk di kursi tengah mobil. Begitu pula para penyambut tamu dari Museum Batik Pekalongan. Mereka berdiri menyongsong kedatangan tamu istimewa.
Pelan dua orang perempuan ini menuruni mobil. Sebentar kemudian mereka berhenti dan menyapa ramah para penyambut tamu. Saling bertanya kabar dan sedikit bumbu basa-basi. Tak ingin membuat tamu terlalu lama berada di bawah terik matahari, sang tuan rumah yang waktu itu dikomandoi langsung oleh pimpinan kantor Museum Batik segera menuntun tetamu ini menuju ruang tamu yang telah disediakan.
ADVERTISEMENT
Ruangan penyambutan itu adem. Selain karena disemprot freon dari mesin pendingin udara, juga oleh desain ruang bangunan yang longgar dengan jendela yang lebar. Membuat sirkulasi udara berjalan cukup baik.
Agaknya, desain bangunan-bangunan perkantoran Pemerintahan Kolonial Belanda begitu terperinci. Memperhitungkan betul bagaimana sirkulasi udara menjadi lancar. Menimbang pula suhu udara dalam ruangan. Sekalipun tanpa AC, ruangan itu masih cukup adem.
Itu pula yang menjadi perhatian tetamu dari Jakarta. Khususnya, dua orang perempuan yang ternyata adalah putri dari Proklamator yang sekaligus Wakil Presiden pertama Republik Indonesia, Mohammad Hatta. Mereka begitu detail memperhatikan tiap-tiap bagian ruangan. Bahkan, sempat pula menyaksikan bagian sudut atas dinding ruangan yang permukaannya hampir terkelupas oleh sebab berdekatan dengan mesin penyemprot freon itu.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, kedua perempuan yang kemudian diketahui namanya Ibu Mutia Hatta dan Ibu Halida Hatta ini tak terlalu memasalahkan apa yang mereka lihat. Sebab, tujuan kedatangan mereka kali ini tak lain adalah untuk menyerahkan dua lembar kain batik koleksi keluarga. Kain-kain batik itu merupakan salah satu dari karya asli seorang maestro batik, Iwan Tirta.
Di sela-sela obrolan mereka, Pak Ahmad Asror mengenalkan diri. Bahwa, selain menjabat sebagai Kepala UPTD Museum Batik Pekalongan, ia juga berasal dari Blitar. Orang Jawa Timur.
Mendengar kata Blitar, Bu Halida dan Bu Mutia lantas terkenang pada sepenggal pengalaman hidup sang ayah yang setia menjadi sahabat Bung Karno. Mereka sama-sama orang yang idealis dalam memperjuangkan Indonesia merdeka. Sekalipun di antara keduanya memiliki perbedaan pandangan di beberapa bagian. Akan tetapi, persahabatan di antara keduanya demikian tulus, hingga akhir hayat.
ADVERTISEMENT
Bu Mutia juga mengenang bagaimana ayah mereka menjalani masa-masa tua. Bung Hatta, di mata Bu Mutia, adalah sosok sederhana yang demikian jujur. Ia tidak meminta apa-apa dari negara, sekalipun sebenarnya ia memiliki hak.
“Berbeda dengan yang belakangan ya. Seorang mantan pejabat, lebih-lebih Presiden dan Wakil Presiden memiliki perlakuan khusus ketika mereka memasuki masa purna tugas. Ayah kami tidak. Bahkan, pensiunannya tidak lebih besar dari gaji sopirnya,” ujar Bu Mutia yang juga disambung Bu Halida.
Obrolan mengalir begitu saja sampai tak terasa hampir satu jam berjalan. Sejumlah pemburu berita yang sejak awal menunggu meminta waktu agar Bu Mutia dan Bu Halida berkenan menyampaikan keterangan mengenai tujuan kedatangan mereka. Dengan senyum ramah, Bu Mutia, Bu Halida, dan Pak Ahmad Asror pun meladeni keinginan mereka. Namun, jelang wawancara, salah seorang penggiat sejarah Kota Pekalongan, Bung Dirhamzah sempat menyela.
ADVERTISEMENT
Ia mendekati Bu Mutia sambil mengisahkan pengalaman masa lampau Museum Batik yang diresmikan pada peringatan Hari Koperasi Nasional tahun 2006. Seketika, Bu Mutia merasa senang mendengar tuturan itu. “Wah, kalau begitu Museum Batik ada unsur Bung Hatta-nya ya?” ujar Bu Mutia.
Bu Mutia Hatta (tengah) bersama Bu Halida Hatta menyerahkan batik koleksi keluarga yang merupakan karya maestro batik, Iwan Tirta, kepada Museum Batik Pekalongan, (Senin, 5/6/2023) (dok.pribadi).
“Suatu kehormatan bagi kami, keluarga Bung Hatta, kalau begitu,” lanjut Bu Mutia dengan wajah semringah.
Kontan, ucapan Bu Mutia disambut senyum gembira oleh yang hadir siang itu. Terasa ada kesan mendalam bagi Museum Batik Pekalongan pula.
Lalu, Bung Dirham, yang sehari-hari bekerja di Radio Kota Batik sebagai Direktur Operasional mengimbuh, “Dulu Pekalongan itu punya koperasi yang besar lho, Bu. GKBI namanya. Itu dulu, GKBI itu yang menyokong dana untuk pergerakan Indonesia di masa revolusi.”
ADVERTISEMENT
Mendengar nama GKBI, Bu Mutia langsung menanggapi, “Oh iya, ayah kami dulu juga berkawan baik dengan salah satu pendirinya. Pak Djunaid. Benar kan Pak Djunaid namanya?”
“Oh iya, Bu. Pak Djunaid. Itu memang tokoh sejarah bagi Kota Pekalongan, Bu. Nah, Walikota yang sekarang ini juga salah seorang dari putra Pak Djunaid, Bu,” ujar Bung Dirham.
Bu Mutia tampak terkejut mendengar keterangan Bung Dirham. “Wah, iya to? Lha kok beliau nggak diundang? Sayang banget ya nggak sempat ketemu. Tapi, ini jadi pas banget. Karena wali kotanya putra Pak Djunaid, semangat koperasinya harus dibangkitkan lagi. Museum Batik juga mesti didukung oleh wali kotanya. Apalagi ada spirit Bung Hatta di sini,” balas Bu Mutia.
ADVERTISEMENT
Bung Dirham kembali mengimbuh, “Iya, Bu. Dulu GKBI juga ikut mendirikan Planetarium di Jakarta. Itu salah satu monumen berharga yang juga patut dipertahankan, Bu. Itu bukti perjuangan para pembatik Pekalongan waktu itu.”
“Iya, benar. Memang luar biasa semangat berkoperasinya orang-orang Pekalongan kala itu. Tapi ya itu tadi, sekarang konsep koperasinya banyak yang sudah melenceng jauh. Sudah tidak sesuai dengan apa yang digagas oleh Bung Hatta. Saya kira, itu perlu diluruskan lagi,” tukas Bu Mutia, seolah memberi wejangan tentang perlunya mengembalikan koperasi ke jalur yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Koperasi yang bukan lagi bernapaskan kapitalisme.
Sayang, obrolan yang keren ini kemudian terjeda. Para awak media sudah tak sabar untuk mengabadikan momen bersejarah, penyerahan kain batik koleksi keluarga Bung Hatta ke Museum Batik. Bu Mutia dan Bu Halida pun segera bergeser dan mulai memberikan keterangan kepada para juru warta itu. Ia jelaskan asal-muasal kain batik koleksi keluarga yang diserahkan ke Museum Batik itu. Ia juga ungkapkan, bagaimana kemudian kain batik itu ada di tangan keluarga Bung Hatta.
ADVERTISEMENT
Sambil menyampaikan keterangan itu, ekspresi wajah Menteri Pemberdayaan Perempuan era SBY ini memancarkan sebuah harapan, agar semangat koperasi dalam menjalankan prinsip ekonomi kerakyatan kembali dibangkitkan. Khususnya, sebagaimana yang digagas Muhammad Hatta. Sebab, seperti dikenang Bu Mutia, ketika para pembatik mengalami kesulitan mendapatkan bahan baku, terutama kain, Bung Hatta dan Pak Djunaid ikut berjuang bersama. Mereka membuat terobosan besar dengan mendorong produksi kain lokal.