Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Kisah Receh Pebisnis yang Malang Melintang
27 Agustus 2022 22:02 WIB
Tulisan dari Ribut Achwandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pagi yang masih sangat muda membawakan saya sekeranjang keberuntungan. Saya beruntung, karena dipertemukan dengan seorang kawan lama. Lama banget kami nggak pernah bertemu. Sampai lupa kapan, di mana, dan dalam acara apa kami bertemu untuk kali terakhir. Sudah tentu, kami saling kangen-kangenan. Bertanya kabar dan membicarakan soal-soal receh.
ADVERTISEMENT
Tapi sebentar, jangan buru-buru menyingkirkan tulisan ini dari mata Anda. Hidup yang katanya kompleks ini sebenarnya lebih didominasi oleh hal-hal receh. Gosip teman sekantor, teman sekelas, tetangga sekampung, gosip tentang mantan. Semuanya adalah hal-hal receh yang membanjiri otak kita. Bahkan, isu-isu politik pun kadang tak lepas dari hal-hal yang receh.
Jadi, jangan sekali-kali meninggalkan yang receh! Karena uang recehan itu lebih banyak dibutuhkan daripada uang dengan deret angka nol yang memanjang dalam satu lembar. Untuk bayar parkir, beli permen, beli cemilan, bahkan untuk sebuah bisnis besar sekalipun.
Seperti dikisahkan kawan saya yang seorang pebisnis baru tapi sudah sukses. Kata dia, “Segedhe-gedhenya bisnis yang kita jalankan, kalau nggak ada uang receh bisa bikin usaha jadi kalap dan bisa kolaps.”
ADVERTISEMENT
“Kok bisa?” tanya saya sambil mencoba menerka-nerka apa yang akan dikatakannya. Meskipun kemungkinan besarnya meleset. Saya menduga, ia akan mengeluarkan jurus-jurus ampuh untuk memenangkan persaingan bisnis ala Sun Tzu. Atau, minimal ia akan mengulik kiat-kiat sukses Hermawan Kartajaya, Bong Chandra, Tung Desem Waringin, Andrie Wongso, atau motivator-motivator lainnya.
Bermodal dugaan itu, saya tak segan-segan memasang kuping baik-baik. Berusaha mendengarkan kata-katanya yang saya harap dapat membangkitkan gairah untuk berbisnis. Tentu, saya berharap mendapatkan pelajaran penting. Siapa tahu, saya bisa ikut mengamalkannya.
Kopi saya seruput. Lalu, dia melanjutkan, “Gini. Bayangkan saja, kamu ini seorang pemilik toko. Kemudian, ada orang beli permen seharga lima ratus perak, tapi duitnya seratus ribu, sementara di laci nggak ada uang receh, kira-kira apa yang akan kamu lakukan?”
ADVERTISEMENT
Sampai di situ ia berhenti. Tatapannya terarah hanya pada saya. Fokus. Mengisyaratkan kalau saya harus memberi jawaban. Sayang, saya belum punya jawaban.
“Oke deh, sekarang aku beri opsi. Pertama, kamu akan meninggalkan tokomu untuk menukarkan uang ke warung sebelah atau tukang parkir. Kedua, kamu menyuruh orang itu menukarkan uangnya ke warung sebelah. Tiga, kamu meminta agar si pembeli itu membeli barang lagi sehingga genap pembeliannya jadi lima puluh ribu. Empat, kamu kembalikan uangnya dan menyuruh pembeli itu agar beli permennya di warung sebelah saja. Atau lima, kamu akan memberikan permen itu secara cuma-cuma. Mana?” tanya kawan saya itu.
Baru kali ini saya jadi mikir. Dan saya pilih opsi yang terakhir. Mengembalikan uang si pembeli itu dan memberikan permen itu gratis. Ya, siapa tahu itu bisa dicatat sebagai amal saleh. Anggap saja itu sedekah.
ADVERTISEMENT
Seketika, kawan saya ngakak! Reaksi yang begitu bikin saya bingung. Rasanya aneh kalau niat sedekah malah diketawain. Bukankah sedekah itu baik? Berpahala pula. Tanpa basa-basi, saya tanyakan saja apa maksud tawanya.
“Tidak semua orang yang datang ke tokomu itu memang beneran pingin beli sesuatu. Bisa saja kan dia itu mau nuker duit? Cuma modusnya dengan membeli permen. Ya, pura-pura cari kembalian! Jadi, jawabanmu itu sebenarnya tidak menjadi solusi apa-apa bagi pembelimu. Bisa jadi, itu akan membuatnya kehilangan rasa percaya pada tokomu. Dengan begitu, ia mungkin saja akan beralih ke warung sebelah yang ternyata bisa jadi money changer. Hilanglah kesempatanmu untuk mendapatkan seorang pelanggan setia,” jelasnya sambil tak kuasa menahan tawanya.
ADVERTISEMENT
Dalam benak saya, kala itu, saya merasa benar-benar dikerjain. Tetapi, saya pikir-pikir lagi, mungkin saja benar. Bahwa hal-hal receh semacam itu tak boleh diabaikan. Asumsi saya tentang perhitungan-perhitungan dalam bisnis kerap kali terlampau tinggi ekspektasinya. Target-target kesuksesan sebuah bisnis, kerap kali saya uraikan dengan narasi-narasi besar. Mengabaikan hal-hal receh seperti kata kawan saya itu.
Tidak terpikir, apa yang dinarasikan oleh kawan saya yang bisnisnya sukses itu sebagai sesuatu yang penting diperhatikan. Orientasi saya dalam bisnis selama ini ya hanya soal keuntungan.
“Insting dalam bisnis itu bukan hanya bagaimana menemukan cara agar meraup keuntungan besar, bro. Tetapi, inti dari sebuah insting bisnis itu adalah bagaimana menemukan cara untuk memahami apa yang diinginkan dan dibutuhkan pelanggan kita,” tuturnya berlagak seorang pebisnis besar.
ADVERTISEMENT
Sampai di sini saya memahami. Tetapi, ada sesuatu yang mengganjal dalam benak saya. Yaitu, bagaimana caranya?
“Seorang pebisnis, lebih-lebih di bidang perdagangan, itu mesti menjadi pendengar yang baik. Mendengar kisah-kisah dari siapa saja. Pelanggan maupun bukan. Sekalipun kisah mereka receh, bisa jadi di situlah ada mutiara terpendam. Lewat kisah-kisah receh mereka, kita akan tahu apa keinginan dan apa kebutuhan mereka. Nah! Habis itu, mainkan rumusnya! Kita jual lagi kisah-kisah mereka kepada mereka, agar mereka mendapatkan kembali kisah mereka dengan selamat. Artinya, mereka bisa membeli mimpi-mimpi mereka!” jelas kawan saya.
Hm, oke! Paham sekarang. Seorang pebisnis, kalau mau sukses ya mesti sering-sering ngobrol. Sering-sering ngopi. Mungkin itu ya?
“Itu sih soal teknis. Yang terpenting adalah kamu tidak memaksakan diri agar kamu yang didengar. Yang namanya pelanggan itu cenderung tidak mempan kalau kamu paksa-paksa. Perlu kamu pancing, supaya mereka mengatakan apa yang mereka inginkan dan mereka butuhkan. Lalu, usahakan kamu bisa menjawabnya. Kalau belum bisa menjawab, itu artinya kamu diberi peluang untuk menjawabnya di lain hari. Tapi, jangan kelamaan. Keburu basi!” pungkas kawan saya si pebisnis basi itu.
ADVERTISEMENT
Kalau begitu, bisnis itu bagaimana mengolah narasi. Mungkin begitu. Saya perlu menanyakan pada bos-bos. Bener nggak sih?! Ah, paling dijawab dengan senyuman sinis disusul dengan tawa ngakaknya. Ah, masa bodo! Yang penting tugas menulis kali ini selesai. Titik!