Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mahasiswa adalah Para Calon Begawan
3 September 2022 14:02 WIB
Tulisan dari Ribut Achwandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Istilah begawan mungkin nyaris terhapus dari kamus bahasa kita saat ini. Istilah ini hampir bisa dikatakan punah karena jarang sekali digunakan. Saya jarang mendengar seorang Bupati, Walikota, Gubernur, Menteri, atau Presiden sekalipun menyebut istilah begawan dalam pidato-pidatonya. Jangankan mereka, para rektor maupun para guru besar belum tentu menyebut istilah ini. Yang paling sering disebut adalah istilah ahli, intelektual, pakar, ilmuwan, praktisi, akademisi, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Entah, apa penyebabnya istilah ini kemudian melenyap dari peredaran. Mungkinkah karena istilah ini sudah dianggap tidak mampu mewakili kekinian? Ataukah karena istilah ini telah mengalami kekalahan dalam pertarungan global bahasa-bahasa dunia? Kalau iya, apakah fenomena ini bisa dikatakan sebagai kegagapan bangsa ini memahami bangsanya sendiri?
Mungkin sekali akan ada yang menanggapi pertanyaan-pertanyaan itu dengan cibiran, apa pentingnya memasalahkan istilah. Apa perlunya menyoalkan bahasa? Toh, saat sekarang kita hidup di dunia yang mengglobal. Sudah tidak ada lagi yang perlu dijadikan batasan antara Timur dan Barat.
Hidup di era global mesti mampu menyesuaikan diri dengan dunia, supaya diterima dalam pergaulan antarbangsa. Tidak terkecuali, dalam urusan bahasa. Masyarakat dunia menghendaki bahasa yang lain sebagai wakil dari kesejagatan ini.
ADVERTISEMENT
Pandangan itu tidak bisa disalahkan, memang. Akan tetapi, kita tidak boleh lupa juga, bahwa di era global ini upaya untuk membangun keunggulan bangsa-bangsa juga diperlukan. Setiap bangsa di dunia memiliki peluang yang sama untuk menunjukkan kelebihan mereka di tengah-tengah kontestasi budaya yang berlaku.
Saya kira belum terlambat. Hanya perlu upaya yang lebih serius untuk melakukan itu. Meski tidak dapat dielak pula, urusan bahasa kadang cukup sensitif manakala bahasa dikaitkan dengan keyakinan. Padahal, watak dasar bahasa—lebih-lebih kata—adalah tak terikat. Makna setiap kata tidak semerta berkaitan langsung dengan hal-hal di luar bahasa itu sendiri. Termasuk, keyakinan.
Sebagaimana pada istilah begawan, dalam KBBI, istilah ini disejajarkan artinya dengan (1) gelar pendeta atau pertapa, (2) orang yang berbahagia (mulia, suci), dan (3) orang yang dianggap sebagai peletak dasar dalam bidang tertentu. Sebagai catatan, pada makna ketiga dari istilah begawan, merupakan makna kiasan.
ADVERTISEMENT
Merujuk pada pemaknaan (1) dan (2), jelas-jelas kata begawan akan berkorelasi dengan keyakinan tertentu. Terutama, Hindu dan Buddha. Kendati demikian, terlepas dari keterikatan tersebut, kata begawan itu sendiri diambil dari bahasa Sanskerta, “bhagavan”. Artinya, yang berbahagia, beruntung, termashur, suci, keramat, pendeta, orang yang mulia (terutama raja yang mengundurkan diri dari dunia ramai memasuki kehidupan dunia rohani dan menjadi seorang wiku).
Keterangan lain sempat diberikan oleh K.R.T. Manu J Widyaseputra, filolog Sanskerta dan Jawa Kuna dari Universitas Gajah Mada. Akar kata begawan bermakna berbagi. Maka, orang yang berjuluk begawan adalah orang-orang yang mau berbagi. Lalu, apa yang dibagi? Tidak lain adalah keilmuannya. Sebab, orang yang didudukkan sebagai begawan adalah orang-orang pandai atau para pendeta. Akan tetapi, kedudukan mereka lebih tinggi dari para pendeta. Mengapa? Pendeta adalah orang-orang pandai di bidang tertentu. Sementara begawan, menguasai berbagai bidang ilmu dan mau berbagi pengetahuannya.
ADVERTISEMENT
Keterangan Prof. Manu tampak berbeda dengan keterangan (3) dalam KBBI. Hal ini menimbulkan pertanyaan pula, mengapa hal itu bisa terjadi. Untuk menemukan jawabannya, ada baiknya kita membaca kamus tebal itu. Ternyata, buku kamus itu tak mencantumkan unsur etimologi istilah begawan.
Padahal, pencantuman etimologi sebuah kata di dalam kamus akan sangat membantu pemahaman masyarakat tentang asal-usul suatu kata. Kajiannya pun akan memperkaya pemaknaan suatu kata. Sehingga, penyempitan makna sangat mungkin dapat dihindarkan.
Penyempitan makna ini pula—kalau boleh saya berprasangka—yang membuat makna kata mengerdil. Ruang gerak makna menjadi sangat terbatas. Bahasa, pada akhirnya, “dikandangkan”. Tidak menutup kemungkinan, nasib kata menjadi terjerahak. Lambat laun ia akan sirna dari pengucapannya.
Seperti yang terjadi pada bahasa Indonesia, ada ratusan ribu kata yang terdaftar di dalam KBBI. Pada terbitan tahun 2019, tercatat 110.538 kata. Tetapi, mungkinkah keseluruhan kata itu digunakan? Jika tidak, bagaimana sebenarnya nasib kata-kata yang tak terpakai itu?
ADVERTISEMENT
Mungkin, nasib kata begawan masih agak mendingan dibandingkan dengan kata-kata lainnya yang memang sama sekali tak terpakai. Sesekali kata begawan masih terdengar. Walau mungkin saja sekadar pengucapan tanpa pemaknaan yang mendalam.
Akan tetapi, perlu diingat, bagaimanapun pengucapan sebuah kata, ia akan membawa pengaruh bagi pemahaman dan cara pandang masyarakat terhadap kata yang diucapkan. Seperti halnya pada pengucapan kata begawan. Jika sekadar main-main atau basa-basi, bukan tidak mungkin itu menandakan bahwa bangsa ini sudah kehilangan kebegawanan.
Saya tidak ingin terburu-buru memberikan kepastian. Masih ada kemungkinan lain. Yaitu, mungkin saja segenap bangsa ini terdiri atas orang-orang yang rendah hati. Biasanya, ketika sikap rendah hati ini dijelmakan ke dalam kehidupan sehari-hari, perilaku yang muncul adalah enggan untuk berunjuk kehebatan. Kerendahan hati itu menjelma menjadi perilaku yang cenderung menyembunyikan kehebatan yang dimiliki.
ADVERTISEMENT
Kehebatan itu melebur ke dalam gaya hidup sederhana. Sikap itu ditunjukkan dalam rupa yang tidak kentara. Malahan, bisa jadi tidak disadari oleh pelakunya sendiri. Hal itu bisa saja terjadi oleh sebab kedekatan dan kemelekatan para calon begawan ini dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.
Mereka, para mahasiswa, tidak perlu memamerkan penguasaan ilmu pengetahuan. Akan tetapi, telah diterapkan dalam setiap hembusan napas dan tiap jengkal langkah kaki mereka. Bahasa mereka menjadi sangat sederhana, bahasa yang senapas dengan kehidupan sehari-hari. Bukan lagi bahasa-bahasa yang terdengar asing di telinga seorang tukang sapu, penarik becak, kuli bongkok, dan sebagainya. Mudah dimengerti, mudah dipahami, mudah pula untuk dijalankan.