Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Yang Terhormat, Mahasiswa Baru
2 September 2022 10:46 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ribut Achwandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Siang itu, secara kebetulan saya mampir di kantin belakang kampus. Seperti biasa, bangku-bangku kantin tampak penuh oleh mahasiswa, hingga memaksa saya duduk di pojokan. Tak masalah, toh saya biasa duduk di pojokan.
ADVERTISEMENT
Setelah memesan secangkir kopi panas, bungkus merah dengan garis tepi hitam itu saya keluarkan dari saku bersama sebatang korek api gas murahan. Saya tekan silinder kecil bergerigi yang menggesek batu korek hingga memercik api. Sebuah tumpuan kecil yang ditopang pegas saya tekan agak lama sampai gas yang menyembur lewat pipa kecil menyalakan api.
Begitu api menyala, ujung lidahnya saya dekatkan pada ujung rokok filter kesukaan saya, hingga benar-benar tampak bara pada ujung tembakau yang dililit kertas itu memerah. Lalu, korek itu saya tarik dan menjauhkannya dari ujung rokok produk Kota Kretek itu.
Lamat-lamat saya mendengar obrolan sekelompok mahasiswa yang duduk bergerombol. Begitu lincah mereka memainkan lidahnya dalam menguntai kata-kata. Bahasa yang mereka gunakan pun bukan bahasa keseharian mereka di rumah. Mereka tampak begitu asyik menikmati obrolan mereka, sampai-sampai saya menyangka mereka adalah pemain sinetron.
ADVERTISEMENT
Bagaimana tidak, mereka begitu fasih berbahasa Indonesia ala anak metropolitan. Padahal, kalau mau jujur, mereka tak biasa menggunakan bahasa itu. Di kampung, mereka terbiasa menggunakan bahasa Jawa dengan ragam dialek daerah asal mereka.
Selintas, saya dengar obrolan mereka menyoal kesan-kesan yang menyenangkan saat masa orientasi kampus. Mereka berbagi pengalaman-pengalaman konyol mereka. Mulai dari saat mereka mendapatkan hukuman hingga menggosip personel panitia yang tak lain adalah kakak tingkat mereka.
Obrolan mereka lantas mengalir begitu saja. Mereka saling menanyakan asal daerah mereka, asal sekolah mereka, sampai saling menanyakan teman-teman sekolah yang mereka kenal satu sama lain. Mereka begitu tampak gembira. Maklum, mereka baru saja menyandang sebagai mahasiswa baru.
Mungkin, mereka belum begitu mengerti bahwa kegembiraan mereka sebentar lagi akan terhapus. Terlebih, setelah masa perkuliahan mereka lalui. Biasanya, ketika mereka memasuki masa perkuliahan, tak jarang mereka terkaget-kaget campur keheranan. Lantas muncul pernyataan, “Kok bedanya dengan saat sekolah dulu?” atau “Oh, rupanya begini rasanya kuliah”.
ADVERTISEMENT
Memang, kuliah itu beda dengan sekolah. Di sekolah, guru masih memungkinkan untuk mendikte mereka sampai sedetil-detilnya. Tetapi, di bangku kuliah, seorang dosen bisa saja memilih cuwek pada mahasiswanya. Tak peduli, apakah mahasiswa memahami apa yang diajarkan atau tidak.
Mahasiswa juga kudu rajin membaca banyak buku. Mencari informasi sendiri dan berusaha keras membuat simpulan-simpulan sendiri. Dan, satu lagi, mereka kudu siap menerima tugas-tugas dari dosen yang boleh jadi semakin hari semakin menumpuk.
Selain itu, mereka juga mesti menyiapkan saku mereka berisi penuh uang. Bukan untuk jajan, melainkan untuk fotocopy modul, buku, power point, atau mencetak tugas-tugas makalah yang harus dikumpulkan.
Beruntung kalau tidak ada penugasan yang mengharuskan mereka berkunjung ke suatu tempat. Kalau sampai ada tugas yang demikian, uang saku pun mesti dipersiapkan. Belum lagi ketika mereka juga harus terlibat ke dalam beberapa kegiatan di kampus. Tentu, suntikan suplemen dana diperlukan.
ADVERTISEMENT
Apakah itu pemborosan? Tentu tidak bisa dikatakan begitu. Itu adalah konsekuensi yang mesti mereka tempuh. Seperti yang dialami dosen-dosen mereka saat berkuliah. Mereka juga banyak mengeluarkan uang dari saku mereka hingga pipih sepipih-pipihnya.
Kadang ada tugas yang tak terduga. Yaitu, mengikuti seminar di hotel. Sudah pasti, uang lagi. Belum lagi ketika mereka harus membeli buku-buku yang disarankan dosen. Uang lagi! Atau, kuliah daring yang menguras kuota. Uang lagi!
Mungkin, itu telah mentradisi di dunia perkampusan. Bahwa uang menjadi senjata ampuh untuk segala keperluan mereka berkuliah. Maka, tak bisa dimungkiri jika biaya yang ditanggung mereka pun relatif menjadi lebih tinggi. Sayangnya, biaya-biaya tak terduga ini kerap terlupakan dan nyaris tak masuk hitungan.
ADVERTISEMENT
Andai, setiap mahasiswa diberi buku laporan keuangan pribadi, saya tidak bisa membayangkan berapa juta uang yang mereka habiskan untuk membeli waktu yang tanpa kepastian. Mereka mencatat setiap pengeluaran. Kemudian, menghitungnya dari satu semester ke semester berikutnya, sampai topi sarjana bertengger di atas kepala mereka dan seulas senyuman lega menghias wajah mereka saat berfoto bersama orang tua mereka.
Jelas, ini bukan pemborosan. Sekali lagi, ini adalah konsekuensi. Tetapi, saya sangat berharap tradisi semacam ini bisa diubah. Jika tidak, mustahil bagi masyarakat kelas menengah ke bawah akan bisa mendapatkan “pendidikan” sampai ke level langitan. Bukankah pendidikan adalah hak bagi seluruh warga negara (tanpa keterangan tambahan “yang mampu”)?
Menutup catatan ini, saya teringat pesan seorang kawan yang sekarang sukses menjadi seorang dosen. Katanya, mahasiswa mesti berkontribusi bagi masyarakat dan bangsa. Mahasiswa harus menjadi kader bangsa yang menjunjung tinggi intelektualitas, humanitas, dan transendensi. Rasanya kok makin berat saja beban yang diemban mahasiswa. Seperti kata pepatah, sudah ketimpa tangga jatuhnya di selokan pula. Oh tidak!
ADVERTISEMENT