Politik Identitas, Masihkah Relevan?

Konten dari Pengguna
20 November 2018 17:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ricardo Perkasa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Politik Identitas, Masihkah Relevan?
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Ku Klux Klan (dok: Martin/Flickr)
Beberapa tahun terakhir kita menyaksikan maraknya penggunaan politik identitas dalam proses politik di beberapa Negara, khususnya pada saat pemilu. Politik identitas adalah sikap atau keputusan politik yang didasarkan pada kepentingan atau pandangan dari sebuah kelompok sosial di mana seseorang mengasosiasikan dirinya pada kelompok tersebut.
ADVERTISEMENT
Identitas yang digunakan dapat bervariasi mulai dari ras, ideologi, etnis, hingga agama. Kemenangan Trump di Amerika Serikat, keputusan Inggris meninggalkan Uni Eropa, dan contoh terkini kemenangan Presiden Jair Bolsonaro, seorang ultra-kanan di Brazil adalah beberapa contoh pemilihan yang kental menggunakan isu-isu identitas.
Meski beberapa partai di Eropa yang menggunakan isu identitas gagal memenangi pemilu, namun jumlah dukungan yang didapatkan parta-partai tersebut meningkat pesat.
Politik Identitas, Masihkah Relevan? (1)
zoom-in-whitePerbesar
Jair Bolsonaro, Presiden terpilih Brazil (dok: Gustavo Lima/Wikimedia Commons)
Penggunaan politik identitas juga marak terjadi di Indonesia baik pada saat pemilihan presiden maupun pada saat pemilihan kepala daerah. Contoh yang paling jelas adalah pada saat menjelang pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta tahun 2017.
Narasi umum yang sering digunakan adalah adanya ancaman dari kelompok sosial lain dan para elite politik mencoba meyakinkan publik bahwa mereka memerlukan elite tersebut untuk menghadapi ancaman yang ada. Publik yang percaya dengan politik identitas pun meyakini bahwa elite politik yang memiliki kesamaan identitas lebih dapat dipercaya dan mampu mewujudkan kesejahteraan.
ADVERTISEMENT
Namun, apakah benar klaim-klaim tersebut dapat didukung oleh bukti-bukti yang ada? Pada kenyataannya seringkali ancaman-ancaman tersebut tidak pernah ada dan hanya diciptakan untuk menarik dukungan dari publik. Selain itu korelasi antara mewujudkan kesejahteraan dengan kesamaan identitas pemimpin yang dimiliki sangat lemah.
Ilustrasi Politik (Foto: Game of Thrones Facebook)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Politik (Foto: Game of Thrones Facebook)
Dalam penggunaan politik identitas, memanipulasi rasa takut merupakan alat yang efektif untuk menarik dukungan dari publik. Tentu saja yang dimanipulasi biasanya adalah kelompok sosial mayoritas karena mereka merupakan sumber dukungan terbesar. Untuk menciptakan rasa takut atau kekhawatiran di masyarakat, maka perlu adanya sebuah ancaman yang diciptakan.
Ancaman-ancaman yang diciptakan tersebut disesuaikan dengan isu identitas yang kuat di masing-masing negara. Di Amerika Serikat, Inggris, dan beberapa negara Eropa isu identitas yang digunakan lebih kepada ras sehingga ancaman yang diciptakan berasal dari pendatang atau imigran.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, identitas yang kini menguat adalah agama, maka ancaman yang diciptakan biasanya terkait dari agama lain atau pihak asing yang juga diasosiasikan mewakili agama tertentu. Pada kenyataannya ancaman-ancaman tersebut banyak yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Sebagai contoh, jumlah imigran di Amerika Serikat berdasarkan data dari Pew Research Centre hanya berjumlah 13,5 persen dari jumlah penduduk dan para imigran seringkali disalahkan atas meningkatnya kejahatan di Amerika Serikat. Namun, menurut Suzanne Schneidder dari The Brooklyn Institute for Social Science mengatakan bahwa penembakan massal merupakan masalah yang lebih serius di Amerika Serikat dan 63 persen pelakunya merupakan orang kulit putih, 17 persen kulit hitam, 20 persen lainnya dari berbagai etnis.
ADVERTISEMENT
Kita melihat masalah sesungguhnya adalah kebijakan kepemilikan senjata api dan bukan meningkatnya junlah imigran. Bahkan seringkali imigran turut membantu perekonomian sebuah negara. Di Indonesia agama merupakan identitas yang utama sehingga isu-isu ancaman yang dibangun juga harus berkaitan dengan agama.
Isu yang digunakan biasanya mencoba mencitrakan lawan politik telah bermufakat jahat dengan kelompok sosial lain atau bahkan merupakan bagian dari kelompok sosial lain tersebut. Namun jika dilihat, persentase agama mayoritas di Indonesia adalah 87 persen sehingga jika memang benar ada kelompok lain yang ingin mengancam mayoritas sesungguhnya itu adalah tindakan bunuh diri.
ADVERTISEMENT
Politisi di negara maju dan negara berkembang tentu sama-sama menggunakan politik identitas untuk mencapai kekuasaan. Namun, jika di negara maju isu identitas digunakan hanya semata untuk meningkatkan popularitas, di negara berkembang isu identitas justru seringkali digunakan untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari masalah-masalah penting yang lebih fundamental dan berdampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat. Seperti penyediaan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau, penyediaan infrastruktur dan fasilitas umum yang baik, penegakkan supremasi hukum yang imparsial, serta tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel.
Di negara berkembang isu identitas digunakan untuk meraih ataupun mempertahankan kekuasaan. Rakyat dibuat percaya bahwa mereka berada di bawah ancaman yang konstan dari pihak luar sehingga mereka masih memerlukan pemimpin tersebut untuk menghadapi ancaman.
ADVERTISEMENT
Karena biasanya di negara-negara yang dipimpin secara otoriter hidup dalam kesusahan, para elit senang melimpahkan kesalahan tersebut kepada pihak luar. Disini masyarakat harus lebih kritis karena apa yang diucapkan oleh elit sering tidak konsisten karena gaya hidup para elit politik biasanya jauh lebih baik dari rakyatnya atau bahkan bermewah-mewahan.
Masyarakat yang percaya politik identitas juga meyakini bahwa pemimpin dengan identitas yang sama merupakan syarat mutlak mewujudkan kesejahteraan dan meyakini bahwa pemimpin tersebut tidak akan mengkhianati kelompok sosialnya sendiri. Sayangnya argumen ini sangat lemah dan tidak bisa dibuktikan secara akademis.
Jika kita ingin berbicara mengenai kesejahteraan, tentu kita harus menggunakan indikator-indikator kesejahteraan dan salah satu indikator yang dapat digunakan adalah Indeks Pembangunan Manusia yang dikeluarkan oleh UNDP. Dari indeks tersebut kita bisa melihat bahwa kesejahteraan lebih memiliki korelasi yang kuat dengan tingkat korupsi dan tingkat demokrasi.
ADVERTISEMENT
Jika kita bandingkan Indeks Pemabngunan Manusia dengan Indeks Persepsi Korupsi dan Indeks Demokrasi, terlihat jelas korelasi yang kuat bahwa negara-negara yang sejahtera cenderung memiliki tingkat korupsi yang sangat rendah dan kondisi demokrasi yang baik. Sedangkan negara-negara dengan pembangunan manusia menengah kebawah ternyata “dikhianati” oleh elit politiknya sendiri dengan tingginya angka korupsi meski para elit ini tentu sebagian besar berasal dari kelompok sosial yang sama dengan mayoritas.
Contoh paling jelas mungkin adalah kasus Sudan Selatan yang ingin merdeka karena selama ini merasa dieksploitasi oleh rezim Omar Al-Bashir. Namun, setelah merdeka dan dipimpin oleh elit dengan identitas yang sama, kondisi Sudan Selatan tidak menjadi lebih baik dan saat ini adalah salah satu negara dengan tingkat korupsi terparah di dunia.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya beberapa negara telah beberapa kali dipimpin oleh minoritas atau keturunan imigran baik di tingkat nasional maupun lokal seperti Barrack Obama yang keturunan Afrika dan Nicolas Sarkozy, mantan Presiden Prancis keturunan Hungaria dan Yahudi Yunani, namun hal tersebut tidak menjadikan presiden-presiden tersebut sebagai antek afrika atau antek Hungaria. DI Inggris kita juga memiliki contoh bagaimana Sadiq Khan yang beragama Islam dapat terpilih menjadi Wali Kota London.
Politik Identitas, Masihkah Relevan? (3)
zoom-in-whitePerbesar
Nicolas Sarkozy, mantan Presiden Perancis keturunan Hungaria dan Yunani (dok: Wikimedia Commons)
Politik Identitas, Masihkah Relevan? (4)
zoom-in-whitePerbesar
Sadiq Khan, Wali Kota London keturunan Pakistan (dok: Katy Blackwood/Wikimedia Commons)
Contoh-contoh tersebut menunjukkan politik identitas tidak lagi relevan dan tidak dapat dibuktikan secara akademis sebagai penentu kesejahteraan. Dari indeks persepsi korupsi misalnya, masyarakat dapat melihat bahwa sebagian besar “pengkhianat” dan penipu rakyat justru berasal dari orang-orang yang memiliki identitas yang sama.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu mengandalkan semata-mata kesamaan identitas untuk mengharapkan kesejahteraan bisa menyesatkan dan memudahkan kita untuk dimanipulasi. Masyarakat harus melihat kemampuan seorang elit politik untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas jalannya pemerintahan sebagai prioritas dan pertimbangan utama dalam menetukan sikap politik.
Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan sebuah kutipan dari Al Quran Surat Ar-Rad/13:11 yaitu “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.
Tidak seperti sistem otoriter, demokrasi memberikan kita peluang untuk merubah keadaan seperti kutipan ayat tersebut karena rakyat memiliki hak memilih untuk menentukan pemerintahan. Namun, berubah atau tidak kembali lagi tergantung cara kita melihat hal-hal yang menjadi prioritas bagi kehidupan kita apakah hanya semata identitas yang sama atau jalannya pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel dalam rangka mewujudkan kesejahteraan.
ADVERTISEMENT