Revenge Porn: Gilas yang Seharusnya Dilindungi Sampai Tiada

Richard Goenawan
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
3 Agustus 2021 10:14 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Richard Goenawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Revenge. Sumber: Canva
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Revenge. Sumber: Canva

Jejak digital bersifat abadi sehingga apa yang para pengguna harus lebih berhati-hati dalam menggunakannya. Seiring dengan perkembangan dunia daring, penggunaan teknologi semakin masif pada khalayak masyarakat. Namun, apakah hal tersebut selalu berdampak positif?

ADVERTISEMENT
Dalam kenyataannya, berkembangnya penggunaan teknologi dalam masyarakat, membuat banyak celah dan potensi adanya pelanggaran atau tindakan-tindakan yang bertabrakan dengan norma. Teknologi dan internet bersifat bebas, seolah tidak ada batasan, rasanya semua hal dapat dilakukan dengan bantuan benda mati dan jaringan. Namun, bila tidak waspada, benda mati dan jaringan tidak berwujud tersebut dapat mematikan. Setidaknya begitulah yang dirasakan Gisella Anastasia dan Michael Nobu saat video pribadi mereka tersebar di media sosial.
ADVERTISEMENT
Dengan viral-nya kasus ini, terkuak bahwa rekaman tersebut dibuat pada tahun 2017 silam. Gawai yang digunakan saat merekam persenggaman tersebut ternyata hilang, ketika rekamannya belum dihapus. Kemudian pada tahun 2020, video tersebut diunggah di berbagai media sosial oleh jari-jari yang tidak bertanggung jawab. Selang beberapa saat, Gisella dan Michael Nobu dicekal Pasal 4 Ayat (1) jo. Pasal 29 atau Pasal 8 Undang-Undang Nomor 44 tentang pornografi (“UU Pornografi”) subsider Pasal 27 Ayat 1 Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE") dengan alasan bahwa keduanya adalah pembuat video tersebut. Atas dasar tersebut, Gisel dan Nobu dapat dijatuhi hukuman pidana maksimal 12 tahun penjara. Namun, apakah pasal tersebut sudah tepat untuk dikenakan terhadap pasangan ini?
ADVERTISEMENT
Dalam melakukan kejahatan, yang dalam ini adalah pembuatan video pornografi, harus dilihat dari unsur pidana actus reus yaitu perbuatan yang dilakukan pelaku, dan mens rea yaitu kehendak atau batin dari pelaku. Gisella dan Nobu tidak melakukan penyebaran maupun pendistribusian video, mereka pula tidak ada niat dari batin untuk melakukan demikian. Bahkan apa yang dialami keduanya adalah revenge porn. Revenge porn adalah konten seksual milik pribadi yang disebarkan ke internet tanpa persetujuan. Jadi, kasus yang menerpa Gisella dan Nobu sebenarnya merupakan salah satu dari bentuk kekerasan seksual, serta invasi dan pembobolan data pribadi yang dilakukan oleh orang-orang yang berlindung dibalik topeng anonimitas. Korban revenge porn masih belum dilindungi, bahkan hukum seakan-akan hanya mengikuti keinginan masyarakat banyak-dengan momentum maraknya kasus Gisella. Penegakan hukum terhadap korban kekerasan seksual di dunia maya masih darurat.
ADVERTISEMENT
UU Pornografi yang disangkakan seharusnya digunakan untuk melindungi Gisel dalam kasus ini. Sayangnya, dalam kasus Gisella dan Nobu, instrumen hukum yang seharusnya menjerat para pelaku penyebaran video tersebut, malah berbalik menggilas keduanya. Seakan-akan ada tebang pilih dalam proses penegakkan hukum terhadap Gisella yang berstatus publik figur. Semua orang berbondong-bondong memberikan cacian pada Gisella dan menginginkannya untuk diproses secara hukum. Status Gisella sebagai publik figur dan perhatian yang didapatnya berhasil menjadikannya kambing hitam di dalam kasus ini.
Hal yang makin menyoroti kesubjektifan penegakan hukum dalam kasus ini adalah pelaku penyebaran yang hanya dikenakan Pasal 27 Ayat 1 UU ITE . Padahal, bentuk pertanggungjawaban terhadap penyebaran video bermuatan asusila diatur dengan lebih mendetail di dalam UU Pornografi. Penggunaan UU ITE ini juga seakan hanya menempatkan pelaku sebagai “penyebar” konten bermuatan asusila di internet, mengesampingkan fakta bahwa mereka juga telah melakukan kekerasan seksual terhadap Gisella dan Nobu.
ADVERTISEMENT
Dapat dikatakan bila keabsurdan dan kesewenang-wenangan interpretasi instrumen hukum ini dapat menjadi bumerang di masa depan bagi penanganan revenge porn. Pada dasarnya, pengaturan hukum tentang revenge porn di Indonesia memang masih abu-abu, belum ada aturan spesifik yang dapat melindungi korban revenge porn. Untuk saat ini, setidak-tidaknya pelaku revenge porn dapat dicekal dengan UU ITE dan UU Pornografi. Namun, hadirnya kasus Gisella dan Nobu dapat menjadi preseden buruk bagi para korban lain dari kasus revenge porn. Mereka akan terbentur UU ITE dan UU Pornografi yang dalam sekejap dapat mengubah status mereka sebagai pihak yang disalahkan.