Konten dari Pengguna

Dagelan Hukum Pemberantasan Korupsi

Petrus Richard Sianturi
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Katolik Darma Cendika, CEO Korner, Lawyer.
24 Januari 2020 18:06 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Petrus Richard Sianturi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi koruptor. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi koruptor. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Pertunjukan memalukan seperti yang terjadi baru-baru ini, di mana penyelidik KPK gagal (atau digagalkan?) melaksanakan penegakan hukum di kantor pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) terkait kasus dugaan korupsi yang melibatkan bekas komisioner KPK Wahyu Setaiwan, adalah contoh kekhawatiran yang akhirnya menjadi kenyataan pasca-Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) revisi disahkan. Dalam tulisan ini, tidak perlu dibahas panjang lebar lagi soal rusaknya UU Nomor 19/2019 karena diskursus publik telah memperlihatkan betapa lemahnya UU KPK hasil revisi itu.
ADVERTISEMENT
Untuk penulis, perlu disampaikan kembali data yang menunjukkan, seperti istilah Franz Magnis-Suseno, korupsi-mengorupsi di Indonesia dan seberapa besar dampak destruktifnya bagi kehidupan bersama. Etty Indriati (2014) menegaskan korupsi berdampak pada banyak sektor (dimensi): kerusakan lingkungan, ekonomi tidak tumbuh, legitimasi pemerintah lemah, kualitas hidup tergerus, lapangan kerja sektor formal menurun sampai pembangunan di bawah standar. Ditegaskan pula bahwa akibat buruk korupsi akan memperlebar kesenjangan ekonomi, ketidakadilan dan ketidakmerataan pendapatan hingga buruknya fasilitas dan infrastruktur kepentingan umum.
Data berikut akan memperlihatkan bahwa intrik politik untuk membela UU KPK revisi adalah contoh, maaf, kenaifan dan kedangkalan dalam melihat realitas pemberantasan korupsi. Berdasarkan laporan Transparency International Indonesia, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia hanya mengalami peningkatan satu poin, yaitu dari 37 di tahun 2016-2017 menjadi 38 di tahun 2018. Dengan skor 38 tersebut, saat ini Indonesia berada di peringkat 89 dari 111 negara. Sama sekali bukan kabar baik.
ADVERTISEMENT
Data itu diperkuat laporan tahunan KPK tahun 2018 yang menyebutkan bahwa telah ditetapkan 121 tersangka dari jumlah 30 operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh KPK. Dari pengembangan kasus OTT itu ditetapkan 107 tersangka yang menjerat 90 anggota DPRD dari tiga provinsi. Selain itu, jika diperinci berdasarkan data perbandingan tahun 2016, 2017 dan 2018, kasus yang ditangani KPK juga semakin bertambah setiap tahunnya.
Tahun 2016, KPK melakukan penyelidikan sebagai 96 kasus, penyidikan 99 kasus dan penuntutan sebanyak 76 kasus. Tahun 2016, kasus yang sudah diputus dan berkekuatan hukum tetap sebanyak 71 kasus. Di tahun 2017, KPK menyelidik 123 kasus, menyidik 121 kasus, melakukan penuntutan sebanyak 103 kasus dan 84 kasus di antaranya telah berkekuatan hukum tetap. Sedangkan di tahun 2018, kasus penyelidikan bertambah menjadi 164 kasus, 199 kasus dilakukan penyidikan dan 151 kasus yang dilakukan penuntutan. Sebanyak 104 kasus di tahun 2018 sudah diputus dan berkekuatan hukum tetap.
ADVERTISEMENT
Dalam Laporan Tren Penindakan Kasus Korupsi tahun 2018 oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), disebutkan bahwa sebanyak 454 kasus korupsi telah ditangani oleh penegak hukum. Dari dari 454 kasus itu telah ditetapkan sebanyak 1087 tersangka dari berbagai macam modus. ICW juga membagi korupsi berdasarkan sektor, daerah, lembaga, pelaku dan penegak hukum yang menindak dimana sepanjang 2018, jumlah kerugian negara yang berhasil ditemukan sebesar Rp 5,6 triliun, nilai suap sebanyak Rp 134,7 miliar, pungutan liar sebanyak Rp 6,7 miliar dan pencucian uang sebanyak Rp 91 miliar.
Selain itu, berdasarkan data KPK tahun 2019, sepanjang 2004 sampai bulan September 2018, tercatat 229 anggota legislatif baik pusat maupun daerah terjerat kasus korupsi, mengikuti pihak swasta sebanyak 214 orang, pejabat negara eselon I/II/III sebanyak 192 orang, walikota/bupati dan wakil sebanyak 91 orang. Selain itu juga ada kepala lembaga atau kementerian, gubernur, hakim dan profesi lainnya, masing-masing sebanyak 26 orang, 20 orang, 19 orang dan 90 orang. Tertangkap tangannya bupati Sidoarjo di awal tahun ini, menambah jumlah pejabat daerah yang terjerat kasus korupsi.
ADVERTISEMENT
Data yang disampaikan sekurang-kurangnya menunjukkan dua hal: Pertama, bahwa meskipun penindakan atas berbagai macam modus korupsi, ternyata perilaku koruptif oleh penyelenggara negara (baca: kekuasaan) masih menjadi ancaman. Hal ini terjadi karena korupsi telah dianggap “perilaku biasa” bagi sebagian orang yang membuat perilaku koruptif menjadi semacam hal lumrah untuk dilakukan. Ini bukan budaya, melainkan semacam bentuk kebiasaan yang dimungkinkan karena sistem dan tata aturan memang memberikan celah.
Kedua, terkait dengan poin pertama, kondisi itu masih terjadi karena regulasi yang menjadi dasar hukum bagi KPK, baik UU Tipikor dan UU KPK, masih memiliki celah. Tanpa bermaksud membela UU KPK lama, data di atas memperlihatkan UU KPK sebelum revisi cukup efektif dalam menangani modus korupsi, meskipun masih terdapat celah-celah. Untuk itu, revisi UU KPK yang menyebabkan, salah satunya, upaya pemberantasan korupsi yang cepat dan efektif menjadi gagal adalah bentuk dagelan hukum dalam setiap upaya pemberantasan kejahatan korupsi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Salah satu masalah utama yang dilahirkan oleh UU KPK revisi adalah proses panjang yang tidak perlu dalam melakukan penindakan bagi KPK, contohnya izin dewan pengawas untuk penyadapan, penggeledahan dan penyitaan. Selain itu, UU KPK potensial untuk melahirkan berbagai macam peraturan turunan yang tidak perlu, yang akan menambah rumit proses penegakan hukum atas berbagai macam kasus korupsi. Padahal doktrin Cornelius Tacitus mengingatkan bahwa corruptissima respublica, plurimae leges: semakin korup suatu negara, semakin banyak peraturan.
Fenomena korupsi, sebagai sebuah tindak pidana yang perlu pendekatan hukum luar biasa yang terjadi sampai saat ini dengan segala kompleksitasnya, seperti modus pelaku yang semakin berkembang, jumlah kasus korupsi yang terus bertambah, pengaturan yang masih belum memadai dan akibat destruktif dari tindak pidana korupsi yang merugikan banyak dimensi kehidupan masyarakat (publik), mengharuskan Indonesia mengambil langkah-langkah serius dalam upaya penanganan kondisi ini.
ADVERTISEMENT
Tindak pidana korupsi telah nyata merugikan negara dan berdampak pada kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Penanganan atas kasus korupsi masih harus menjadi perhatian yang sangat besar, mulai dari pembentukan politik hukum anti korupsi yang konsisten, penguatan lembaga anti korupsi (KPK), hingga pembangunan kesadaran masyarakat dalam rangka pencegahan dan pemberantasan korupsi.
UU KPK revisi adalah naskah skenario bagi para pemain yang berperan dalam dagelan hukum pemberantasan korupsi yang kita saksikan saat ini. Sayangnya, dagelan hukum itu adalah pertunjukan yang sama sekali tidak lucu dan tidak layak ditonton lagi.
Penyelamatan pemberantasan korupsi saat ini berada di tangan Presiden melalui kewenangannya untuk menanggapi UU KPK revisi, misalnya melalui penerbitan Perppu. Jika tidak, bangsa ini akan menyaksikan bahwa Presiden adalah juga pelakon dalam dagelan hukum yang tidak lucu itu.
ADVERTISEMENT
Petrus Richard Sianturi, Kandidat Magister Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Pidana, FH UGM.