Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.1
Konten dari Pengguna
Demokratisasi dan KUHP Responsif
30 November 2019 10:34 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Petrus Richard Sianturi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Petrus Richard Sianturi, Kandidat Magister Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Pidana, FH UGM.
ADVERTISEMENT
Setelah sekian kali ribut, kabarnya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi prioritas untuk segera disahkan oleh DPR baru. RKUHP menjadi salah satu RUU dari sekian RUU yang di-carry over dari DPR 2014-2019 dan sebenarnya masih memiliki banyak catatan. Untuk ini, kita tidak boleh lengah.
Sebelumnya, Presiden dan DPR memutuskan untuk menunda pembahasan RKUHP. Adanya kesadaran agar masyarakat harus didengarkan dalam pembahasan RKUHP adalah sesuatu yang perlu diapresiasi. Pertanyaannya, sampai di mana masyarakat itu sekarang dilibatkan dan didengarkan? Sebab, seperti yang ditekankan Mahfud MD, upaya untuk menciptakan sebuah tatanan hukum yang responsif harus dimulai lewat proses demokratisasi kehidupan politik (2009).
Sebelum melihat apakah mungkin kita memiliki KUHP yang responsif, perlu disampaikan, bahwa RKUHP bukan revisi atas KUHP sekarang. RKUHP disusun dengan nilai-nilai keindonesiaan (Indonesian Way) atau seperti yang dikatakan Muladi, sebuah upaya dekolonialisasi dalam sistem pidana Indonesia. Semangat untuk menyusun RKUHP menggunakan nilai-nilai keindonesiaan perlu karena kita memang menginginkan hukum yang berlaku pada kita adalah hukum yang sesuai dengan tata nilai masyarakat yang berkembang di Indonesia. KUHP yang demikian adalah KUHP yang responsif.
ADVERTISEMENT
Apa yang kemudian menjadi hambatan untuk mencapai KUHP yang responsif itu? Tiga poin di bawah sudah saya singgung di artikel saya sebelumnya Mendudukan Perdebatan RKUHP: Rekodifikasi sampai Living Law. Pertama, penyusunan RKUHP menggunakan paradigma rekodifikasi yang menyatukan kembali pengaturan-pengaturan tindak pidana ke dalam suatu aturan umum, dalam hal ini KUHP. Padahal, seperti kata J.E. Sahetapy, perkembangan zaman membuat kodifikasi sudah ketinggalan zaman dalam rangka penyusunan regulasi karena kejahatan berkembang lebih cepat dari hukum, apalagi hukum pidana (2013). Secara mutatis mutandis, rekodifikasi sama sekali tidak tepat dalam penyusunan RKUHP.
Alternatifnya adalah berdasarkan asas lex specialis derogat legi generali: Pengaturan tindak pidana (apalagi yang khusus seperti korupsi, narkotika, dan terorisme) di luar KUHP melalui afzonderlijke straf wetten. KUHP hanya mengatur prinsip, asas, dan dasar pemidanaan atas tindak-tindak pidana itu sebagaimana yang mana diatur dalam buku I KUHP. Salah satu implikasi negatif dalam RKUHP dengan digunakannya rekodifikasi adalah dibuatnya bab tentang Tindak Pidana Khusus di Buku II.
ADVERTISEMENT
Kedua, terkait dengan pengaturan dalam RKUHP dengan karakternya sebagai hukum publik yang dihadapkan dengan ranah pribadi individu masyarakat. Pertanyaan paling mendasar adalah apakah legitimasi negara untuk menegakkan hukum publik ke dalam ranah-ranah pribadi dan sangat pribadi? Disebutkan oleh Barda Nawawi (2005) bahwa RKUHP mendorong asas keseimbangan monodualistik yang menyeimbangkan antara kepentingan umum/publik dengan kepentingan individu/perorangan.
Pendapat ini bisa dipertahankan selama ditempatkan dalam rangka pencapaian tujuan sistem pidana nasional. Bukan sebaliknya, ditempatkan dalam rangka pengaturan pidana yang tidak memiliki dimensi publik, karena justru akan berimplikasi pada dilanggarnya kepentingan individu. Sifat publik/umum dari hukum pidana mensyaratkan bahwa memang yang ingin dilindungi dari pemberlakukan hukum pidana adalah kepentingan umum. Penekanannya adalah bahwa kejahatan yang dilakukan menimbulkan akibat bagi orang lain (satu atau lebih). Jadi yang perlu diatur adalah kejahatan yang bersifat individual yang memiliki implikasi terhadap kepentingan umum/publik.
ADVERTISEMENT
Ketiga, soal pengaturan living law. Karakter hukum adat yang tidak tertulis bertentangan dengan karakter hukum pidana positif yang harus dirumuskan secara jelas (lex certa), ketat (lex stricta), dan tertulis (lex scripta). Lagi pula hukum adat tidak bisa serta merta dikualifikasi sebagai bagian dari norma hukum biasa. Eugen Erlich (2001) menegaskan bahwa hukum adat termasuk norma atau kebiasaan etis. Masyarakat tidak menganggapnya semata sebagai hukum tetapi menghidupinya sebagai sebuah penghargaan bersama dalam kelompok.
Dulu, Belanda juga pernah mencoba melakukan kodifikasi hukum adat, tetapi gagal, karena masyarakat adat menolak. Dalam kacamata negara hukum demokratis, suara masyarakat adat adalah juga suara rakyat yang memiliki legitimasi moral dan yuridis untuk dijamin oleh para elite, apakah pemerintah atau DPR. Di sisi lain, tuntutan mereka bahwa hukum adat jangan dicampur-baurkan dengan hukum pidana positif, meminjam istilah Kant, merupakan tuntutan etis bagi penguasa negara untuk didengarkan demi menjamin sebuah negara demokratis.
ADVERTISEMENT
Masalah-masalah itu menjadi isu sentral yang saat ini menimbulkan banyak polemik dan menuntut sikap pemerintah dan DPR. Jika KUHP yang ingin dicapai adalah regulasi pidana yang responsif, maka demokratisasi dalam kehidupan politik terkait penyusunan RKUHP tidak boleh dihilangkan.
Demokratisasi itu bukan hanya dalam tataran normatif, tetapi juga dalam implementasi lapangan, bahwa konfigurasi politik memungkinkan masyarakat ambil bagian yang nyata dan konkret dalam upaya pembentukan sebuah peraturan yang akan berlaku bersama, misalnya melalui diskusi publik yang komprehensif, pelibatan kampus yang lebih mendalam termasuk kontrol pers yang terbuka.
Kita bisa membedakan bahwa zaman orde baru, konfigurasi politik tidak memungkinkan masyarakat ambil bagian, bahkan dengan sengaja “dilempar keluar” dalam seluruh proses penyusunan kebijakan-kebijakan. Dalam pembahasan dan penyusunan RKUHP, tidak mungkin bangsa ini dapat membangun KUHP yang responsif jika konfigurasi politik tidak memungkinkan demokratisasi untuk berlangsung.
ADVERTISEMENT
Munculnya demonstrasi besar di akhir September lalu adalah pertanda jelas bahwa demokratisasi dalam kehidupan politik masyarakat tidak diperhatikan bahkan dimatikan. Pelibatan masyarakat bahkan kritik yang disampaikan tidak menjadi bagian dalam diskursus pembahasan penyusunan RKUHP. Tidak mungkin sekali, kita akan mendapatkan KUHP yang responsif terhadap situasi masyarkat, jika pemerintah dan DPR tidak membuka ruang demokratisasi.
Penolakan luar biasa yang terlihat dalam beberapa jilid demonstrasi, bahkan mengorbankan nyawa, dari berbagai lapisan masyarakat bukan omong kosong yang bisa diabaikan. Baik istana dan Senayan tidak boleh lagi sibuk dalam kepentingannya, sehingga mengabaikan pelibatan masyarakat dalam penyusunan RKUHP.
Demokratisasi yang dijamin dan dijalankan dengan konsisten sangat perlu untuk mencapai cita-cita pembaharuan pidana nasional yaitu KUHP yang responsif.
ADVERTISEMENT