Kerusakan Alam, Kebebalan Manusia, dan Pesan 'Laudato Si'

Petrus Richard Sianturi
Menulis seputar hukum, literasi dan perlindungan lingkungan hidup.
Konten dari Pengguna
10 Maret 2020 13:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Petrus Richard Sianturi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kendaraan melintasi genangan air sementara ruas lainnya tidak dapat dilintasi akibat banjir di ruas tol Jakarta-Cikampek di Jatibening, Bekasi, Selasa (25/2). Foto: ANTARA FOTO/Saptono
zoom-in-whitePerbesar
Kendaraan melintasi genangan air sementara ruas lainnya tidak dapat dilintasi akibat banjir di ruas tol Jakarta-Cikampek di Jatibening, Bekasi, Selasa (25/2). Foto: ANTARA FOTO/Saptono
ADVERTISEMENT
Peristiwa banjir besar yang terjadi empat kali hanya dalam tiga bulan di wilayah Jakarta dan sekitarnya, ternyata hanya membuat kita ribut soal perdebatan tidak perlu akibat preferensi pilihan politik yang berbeda di masa lalu.
ADVERTISEMENT
Sangat sedikit orang mendiskusikan bahwa banjir hanyalah dampak kecil yang muncul akibat ulah manusia sendiri dalam merusak lingkungannya. Jika banjir melumpuhkan aktivitas, kita lebih sibuk berdebat daripada introspeksi diri atas kebebalan manusia yang suka merusak dan eksploitasi terhadap lingkungan selama ini.
Kesepakatan bulat para pemimpin kepala negara dalam pertemuan tentang perubahan iklim di Paris tahun 2015 lalu berkenaan dengan pentingnya pengaturan dan kerja sama global untuk menurunkan produksi emisi CO2 demi rata-rata suhu bumi tidak naik lebih dari 2 derajat Celcius, setidaknya bisa menunjukkan dua hal.
Pertama, seluruh (kepala) negara menyadari bahwa perubahan iklim yang terjadi akan berdampak sangat buruk bagi masa depan bumi. Hal ini dikarenakan mereka sadar, bahwa kerusakan alam yang terjadi itu akibat aktivitas manusia yang serakah dan kepentingan ekonomi yang jarang memikirkan dampak lingkungan.
ADVERTISEMENT
Kedua, oleh karena itu, harus ada tindakan dan usaha konkret bersama untuk menjaga keberlangsungan bumi yang sudah dirusak oleh manusia itu sendiri.
Untuk menyebut beberapa kerusakan lingkungan alam kita, dalam konteks Indonesia saja, terdapat beberapa kerusakan yang dapat disebutkan: Laju deforestasi mencapai 1,8 juta hektare per tahun yang mengakibatkan 21% dari 133 juta hektare hutan Indonesia hilang. Selain itu, 30% dari 2,5 juta hektare terumbu karang di Indonesia mengalami kerusakan. Kerusakan terumbu karang meningkatkan risiko bencana terhadap daerah pesisir, mengancam keanekaragaman hayati laut, dan menurunkan produksi perikanan laut.
Ada lagi soal tingginya pencemaran udara, pencemaran air, pencemaran tanah dan pencemaran laut. Tahun 2010, Sungai Citarum pernah dinobatkan sebagai 'Sungai Paling Tercemar di Dunia' oleh situs huffingtonpost.com.
ADVERTISEMENT
World Bank juga pernah menempatkan Jakarta sebagai kota dengan polutan tertinggi ketiga setelah Beijing, New Delhi, dan Mexico City. Menurut IUCN Redlist, sebanyak 76 spesies hewan Indonesia dan 127 tumbuhan berada dalam status keterancaman tertinggi (critically endangered), 205 jenis hewan dan 88 jenis tumbuhan masuk kategori Endangered, serta 557 spesies hewan dan 256 tumbuhan berstatus Vulnerable.
Dalam konteks global, memakai sedikit contoh itu, permasalahan rusaknya lingkungan alam itu berkenaan dengan peningkatan CO2 di atmosfer dan pengelolaan tanah. (Bayu Risanto, 2016).
Potret kerusakan alam Foto: Pixabay
Pada faktanya memang alam sedang mengalami kerusakan yang cukup parah dan kita harus mengakui itu. Paus Fransiskus dalam ensikliknya Laudato Si’ (LS) No.61, menyatakan “... we need only take a frank look at the facts to see that our common home is falling into serious disrepair” (cukuplah melihat realitas dengan jujur untuk menemukan bahwa rumah kita bersama mengalami kerusakan parah).
ADVERTISEMENT
Ensiklik Paus ini menjadi sangat relevan karena lahir di situasi kerusakan lingkungan alam yang sudah sangat mengerikan. Dalam fakta itu, pesan utamanya adalah tentang perawatan rumah kita bersama. Pesan-pesan turunannya, menurut saya, bersifat moral dan etis yang seharusnya mengganggu hati nurani kita untuk sadar menjaga alam, meskipun bukan perintah atau hukum.
Gagalnya kita menjaga komitmen untuk menjaga lingkungan alam ini adalah karena sikap kita sendiri. Dalam LS, Paus Fransiskus menunjuk kepada mental manusia yang serakah dan pola kerja manusia yang destruktif (Benhard Kieser, 2016).
Beberapa contoh di antaranya adalah kebiasaan atau budaya ‘membuang’ yang menjadikan bumi dan alam ini seakan-akan sebagai tempat pembuangan saja dengan ratusan juta ton limbah tiap tahunnya. Selain itu, tindakan mengubah ekosistem yang menciptakan kepunahan spesies tanaman dan hewan.
ADVERTISEMENT
Kebiasaan-kebiasaan merusak ini perlu diubah sebab kita perlu menjaga masa sekarang dan masa mendatang. Penekanannya adalah berkenaan dengan tanggung-jawab.
Paus menyatakan, “umat manusia dipanggil untuk mengakui perlunya perubahan dalam gaya hidup, produksi dan konsumsi (LS No. 23, humanity is called to recognize ....), dan untuk mengembangkan kebijakan yang efektif untuk mengatasi masalah ini (LS No. 26).”
Sikap dan tindakan, kebiasaan dan budaya, pola pikir dan egoisme kita dalam memandang alam sebagai tempat eksploitasi kebutuhan kita semata harus diubah, sebab “... memandang alam sebagai objek laba dan keuntungan saja, memiliki konsekuensi serius bagi masyarakat” (LS No. 82).
Kita perlu selalu mengingat bahwa ‘alam dan manusia’ ataupun ‘manusia dan alam’ adalah keterhubungan yang tidak dipisahkan di samping keduanya saling bergantung dan membutuhkan (LS No. 70, that everything is interconnected).
ADVERTISEMENT
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, usaha pemaknaan kembali hubungan antara eksistensi kita sebagai manusia yang hidup dan berkembang di alam yang sesungguhnya sudah kita rusak sendiri (baik secara sadar atau tidak) harus dengan langkah yang berani.
Keputusan-keputusan dalam kehidupan sehari-hari harus diambil secara berani untuk memutuskan tidak melakukan apa saja yang akan merusak lingkungan. Bagaimanapun, hal itu menyangkut kebiasaan-kebiasaan yang paling sederhana di dalam gaya hidup sehari-hari. Setiap manusia, sekali lagi memiliki moral responsibility untuk tidak meninggalkan jejak kerusakan alam untuk masa depan dan generasi mendatang.
Dalam lingkup pengambilan keputusan, penting adanya dialog untuk menyusun sebuah kerangka prinsip-prinsip dan perilaku yang etis dan menyarankan beberapa bidang yang perlu didiskusikan untuk diambil keputusan.
ADVERTISEMENT
Pengambilan kebijakan, misalnya perkara naturalisasi atau normalisasi sungai di Jakarta menuntut dialog antar semua pihak agar kebijakan itu dapat berjalan efektif. Pelibatan masyarakat dalam dialog ini juga tidak boleh dilupakan.
Dialog-dialog itu dapat dibangun lewat beragam pendekatan: dialog tentang lingkungan di masyarakat; dialog untuk kebijakan baru nasional dan lokal; dan untuk transparansi dalam pengambilan keputusan; dialog antara politik dan ekonomi demi pemenuhan manusia; serta antara agama dan ilmu pengetahuan. (Pedoman Studi Untuk Ensiklik Laudato Si’, 2015).
Dalam wawancara dengan Majalah Nature Conservancy edisi tahun 2012, Mark Tercek, seorang pebisnis yang fokus dan peduli pada masalah konservasi lingkungan, menyatakan, “There are so many reasons why each of us loves nature. And we need to shine a spotlight on all of them. We all depend on nature for our health, for our livelihoods. So, it makes sense that people should identify with protecting nature- they’re protecting their future.
ADVERTISEMENT
Intinya satu: kita sendiri harus mulai sadar bahwa ketergantungan kita pada alam adalah satu-satunya alasan paling mendasar mengapa kita harus mulai merawatnya.