Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Komedi yang Tidak Lucu Lagi, Pak Pejabat!
13 April 2020 18:28 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Petrus Richard Sianturi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sewaktu membaca berita bahwa Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, memutuskan akan melepas sekitar 30.000 warga binaan di lembaga-lembaga pemasyarakatan, saya tidak kaget. Sifat COVID-19, yang menular sangat mudah dan cepat dari orang ke orang, termasuk tingkat fatalitas jika penanganannya terlambat menjadi alasan-alasan masuk akal untuk mengambil kebijakan ini, apalagi mengingat persoalan over-capacity lapas di Indonesia ini.
ADVERTISEMENT
Demi alasan kemanusiaan bagi para narapidana itu, sejauh syarat-syarat ketat tetap diterapkan, kebijakan ini dapat diterima. Tetapi, ketika Menteri Yasonna mengatakan bahwa dirinya juga akan mengusulkan untuk merevisi PP 99/2012 agar 300 koruptor juga ikut dilepaskan, saya langsung bertanya dalam hati, “ada apa lagi ini?”
Masyarakat tahu bahwa lapas koruptor tidak seperti lapas narapidana dengan tindak pidana umum kebanyakan. Di lapas suka miskin misalnya, tempat beberapa koruptor yang sempat diusulkan untuk lepas, setiap koruptor memiliki kamarnya masing-masing dengan beberapa fasilitasnya. Mereka tidak tinggal berdesakan dalam ruang sempit yang memungkinkan penularan virus. Bahwa ada beberapa lapas koruptor yang juga padat, kok jadi alasannya untuk melepas? Jadi apa dasarnya?
Di tengah situasi yang semakin tidak mudah, wacana Menteri Yasonna untuk melepas koruptor, bukan hanya mengejutkan, tetapi menambah kekhawatiran yang tidak perlu di masyarakat. Padahal dengan melihat penambahan kasus sebagaimana disampaikan pemerintah saja, masyarakat sudah semakin panik dan khawatir. Apalagi, seperti banyak ilmuwan memprediksi bahwa angka yang terjangkit COVID-19 sebenarnya jauh lebih besar daripada yang disampaikan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Wacana pembebasan koruptor hanya satu saja kegaduhan yang justru dilakukan pejabat di tengah kondisi sulit seperti ini. Di saat-saat awal, Menteri Kesehatan dengan tegas menolak prediksi bahwa Indonesia telah terpapar COVID-19. Padahal, kalau dipertimbangkan dengan matang, segala upaya preventif dapat dilakukan lebih awal. Ketika diketahui ada dua orang di Depok terkonfirmasi positif, upaya cepat dan transparan juga tidak segera dilakukan.
Satu bulan ke belakang, berbagai kebijakan sudah diambil. Yang paling terakhir adalah dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan, Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dan Keputusan Presiden (Keppres) Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
Semangat dari ketiga peraturan ini perlu diapresiasi, tetapi secara substansi, peraturan-peraturan itu sendiri masih meninggalkan banyak pertanyaan.
ADVERTISEMENT
Pertama, bahwa perppu tentang kebijakan keuangan negara yang mengalokasikan 405,1 Triliun memang diperlukan untuk membantu masyarakat. Sayangnya dana sebesar itu tidak perkuat dengan keputusan untuk lebih memilih karantina wilayah sebagaimana telah diatur dalam UU Kekarantinaan Kesehatan. Dalam UU a quo dijelaskan bahwa dalam hal karantina wilayah, kebutuhan dasar masyarakat dipenuhi oleh pemerintah. Logika ini akan menyakinkan bahwa alokasi dana benar-benar akan digunakan demi kebutuhan masyarakat selama penanganan wabah ini.
Lagipula, keputusan untuk memilih melakukan pembatasan sosial berskala besar jelas bukan jawaban. Berdasarkan pada berbagai penelitian ilmiah, penghentian transmisi COVID-19 yang paling efektif adalah dengan menutup jalur keluar-masuk suatu daerah, khususnya yang telah berstatus zona merah, seperti Jakarta dan Jawa Barat. Kondisi ini dalam UU Kekarantinaan Kesehatan disebut karantina wilayah.
ADVERTISEMENT
Sejak awal, desakan untuk melakukan karantina wilayah bahkan sudah diusulkan beberapa kepala daerah, namun pemerintah pusat memilih untuk terus menjalankan imbauan “jaga jarak”. Inilah salah satu kesalahan fatal: bahwa desakan untuk melakukan social distancing hanya sekadar imbauan. Tiga minggu imbauan social distancing diberikan, selama itu pula masih sangat banyak masyarakat mengabaikannya dan tentu penularan sangat potensial terjadi.
Kedua, PP Pembatasan Sosial Berskala Besar sebenarnya tidak bisa menjawab situasi mendesak saat ini, bahwa diperlukan kecepatan, ketepatan dan transparansi dalam menangani COVID-19. Negara-negara yang berhasil menekan penularan COVID-19, seperti Singapura dan Jerman misalnya mengedepankan tiga hal ini: kecepatan dalam hal tes dan deteksi, ketepatan dalam hal penentuan wilayah-wilayah paling terdampak dan transparansi dalam hal data korban dan proses pembuatan kebijakan.
ADVERTISEMENT
Saya berulangkali mengusulkan Presiden untuk menerbitkan perppu terkait upaya-upaya penanganan COVID-19 di mana salah satunya mengatur bahwa social distancing atau pembatasan sosial dijadikan kewajiban hukum. Karena itu, PP pembatasan sosial kemudian menjadi lebih terarah dan setiap peraturan teknis di bawahnya memiliki dasar hukum yang kuat. Sebagai negara hukum, tertib pengaturan yang demikian menjadi sangat penting apalagi di situasi kritis seperti ini.
Ketiga, terkait dengan Keppres Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat sebenarnya sudah tepat. Tetapi yang membingungkan ketika pemerintah mengeluarkan wacana perlunya darurat sipil dalam kondisi tertentu. Dikeluarkannya wacana darurat sipil manakala masyarakat tidak mematuhi imbauan pembatasan sosial berskala besar adalah juga komedi yang tidak lucu. Bagaimana mungkin, penegakan hukum dalam kondisi wabah dikaitkan dengan isu keamanan daripada isu bencana kesehatan? Sangat sulit menemukan dan membangun logikanya.
ADVERTISEMENT
Sudah cukup bahwa ketika dalam situasi yang tidak mudah ini, justru pejabat mencoba mengungkapkan komedi-komedi yang sebenarnya sama sekali tidak lucu, dan justru membuat masyarakat semakin khawatir. Masyarakat membutuhkan pemerintah yang bekerja jauh lebih cepat, tepat dan transparan. Jika demikian, tanpa pemerintah menghabiskan energi berlebihan, saya yakin masyarakat akan ikut bekerja sama menangani COVID-19 ini.
Petrus Richard Sianturi, Kandidat Magister Ilmu Hukum Pidana, FH UGM.
----------------------------------------------------
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!
Live Update
Pada 5 November 2024, jutaan warga Amerika Serikat memberikan suara mereka untuk memilih presiden selanjutnya. Tahun ini, capres dari partai Demokrat, Kamala Harris bersaing dengan capres partai Republik Donald Trump untuk memenangkan Gedung Putih.
Updated 5 November 2024, 21:56 WIB
Aktifkan Notifikasi Breaking News Ini