Konten dari Pengguna

Logika Pidana Langgar 'Social Distancing'

Petrus Richard Sianturi
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Katolik Darma Cendika, CEO Korner, Lawyer.
20 April 2020 18:49 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Petrus Richard Sianturi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penumpang duduk diantara kursi yang telah ditandai larangan duduk jarak sosial (Social Distancing) di dalam bus trans kutaraja, Banda Aceh, Aceh.  Foto: ANTARA FOTO/irwansyah Putra
zoom-in-whitePerbesar
Penumpang duduk diantara kursi yang telah ditandai larangan duduk jarak sosial (Social Distancing) di dalam bus trans kutaraja, Banda Aceh, Aceh. Foto: ANTARA FOTO/irwansyah Putra
ADVERTISEMENT
Tulisan Nefa Claudia Meliala di Kompas, 16 April 2020 menimbulkan tanda tanya. Satu-satunya alasan yang diutarakan Nefa dalam menolak usulan bahwa social distancing perlu diatur sebagai sebuah kewajiban hukum dengan hukuman pidana hanya karena dapat membuat penuh lagi penjara. Kalau pelanggar social distancing dipenjara, maka COVID-19 rentan sekali menyebar. Astaga!
ADVERTISEMENT
Untuk menanggapi kekhawatiran Nefa ada dua jawaban. Pertama, ancaman pidana bukan hanya pidana penjara tetapi juga pidana denda. Jadi pengaturan pidana bagi yang melanggar social distancing dapat diatur sebagai pidana ringan dengan ancaman denda yang dialternatifkan.
Kedua, justru karena sifatnya sebagai “ancaman”, pidana memang tidak diharapkan terlaksana, sehingga yang sebenarnya dimaksudkan dengan adanya pengaturan pidana bagi pelanggar social distancing adalah agar setiap warga masyarakat dapat lebih memperhatikan pentingnya social distancing untuk tidak dilanggar.
Persoalan terkait hal ini harus ditempatkan lebih proporsional. Logika dalam konteks penegakan hukum pidana di situasi “normal” dengan “darurat” harus dibedakan. Saat ini, masyarakat Indonesia, sebagaimana juga warga dunia, ada dalam kondisi darurat kesehatan menghadapi satu virus baru, COVID-19, yang sifatnya sangat mudah menular. Kedaruratan itu juga bisa diukur dari semakin banyaknya masyarakat yang terinfeksi, termasuk yang akhirnya meninggal dunia. Artinya, kita membutuhkan keseriusan yang lebih.
ADVERTISEMENT
Bahwa idealnya adalah imbauan social distancing segera ditaati masyarakat dengan kesadaran penuh. Tidak perlu ada desakan apalagi ancaman hukum. Sayangnya, sejak awal social distancing tidak sungguh-sungguh diperhatikan. Tiga minggu setelah disampaikan ke publik, imbauan social distancing itu tidak juga dijalankan efektif. Masyarakat masih banyak yang berkumpul, berdesakan di transportasi publik, sampai mengunjungi tempat-tempat perbelanjaan. Satu bulan pasca dikeluarkannya imbauan, korban positif sudah mencapai ribuan dengan hampir dua ratus pasien meninggal.
Memang yang perlu diakui adalah adanya sekian keterlambatan dari pemerintah di tahap-tahap awal yang yang membawa kita sampai pada kondisi di mana jumlah orang terkonfirmasi positif sudah mencapai lebih dari 5.000 dengan persentase kematian lebih dari delapan persen. Bahkan penelitian gabungan beberapa universitas memprediksi bahwa jumlah masyarakat terinfeksi sebenarnya sudah lebih dari 30 ribu orang. Kondisi sosial ekonomi juga sudah semakin memprihatinkan.
ADVERTISEMENT
Tetapi yang juga harus diakui adalah pentingnya masyarakat taat untuk konsisten menjalankan social distancing demi memutus rantai penularan. Berdasarkan saran para ahli epidemiologi dan WHO, terlaksananya social distancing sangat menentukan kesuksesan penanganan wabah ini. Dapat disimpulkan bahwa jika tidak ada kedisiplinan masyarakat untuk menjalankan social distancing, penularan virus tetap akan terjadi. Oleh karena itu, kesadaran dan kedisiplinan masyarakat menjadi kunci utama upaya penurunan angka korban COVID-19 ini.
Di sisi yang lain, jika kali ini pemerintah mau memperhatikan betul riset keilmuan termasuk pengalaman penanganan COVID-19 dari berbagai negara yang mampu menekan laju kurva penularan, dapat dilihat bahwa social distancing yang dijalankan efektif dan konsisten menjadi kunci utamanya. Memang beberapa negara, seperti Singapura, Jerman, Italia, dan Amerika Serikat harus menerapkan lockdown untuk menjamin social distancing dapat bekerja efektif. Tetapi apa yang bisa dilakukan Indonesia agar, meskipun tidak menerapkan lockdown, ketaatan untuk social distancing dapat betul-betul berjalan?
ADVERTISEMENT
Mengingat pada faktanya selama ini imbauan social distancing tidak didengarkan serius, kini sudah saatnya pemerintah menetapkan social distancing sebagai kewajiban hukum. Konsekuensinya adalah jika social distancing itu dilanggar maka, yang melanggar berhadapan dengan sanksi hukum. Desakan untuk menjadikan social distancing sebagai kewajiban hukum sangat beralasan mengingat, sekali lagi, itulah fondasi paling utama mencapai kesuksesan melawan COVID-19.
Masalahnya, Indonesia belum memiliki dasar hukum yang kuat untuk menindak mereka yang melanggar social distancing ini. Jika yang dirujuk adalah UU Wabah Penyakit Menular maka tidak ditemukan ketentuan pidana selain yang diatur dalam pasal 14 ayat (1) tentang ancaman hukuman terhadap kesengajaan dan kealpaan menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah. Ini tentu bukan soal social distancing. Begitu juga UU Kekarantinaan Kesehatan tidak mengatur secara spesifik terkait social distancing, karena pasal 92 hanya mengatur tentang ketidakpatuhan atau tindakan menghalangi penyelenggaraan kekekarantinaan kesehatan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, penggunaan pasal 212, 216 dan 218 KUHP tentang larangan berkerumun yang digunakan polisi dalam menjalankan Maklumat Kapolri No. Mak/2/III/2020 bukan hal yang tepat, jika mendudukannya dalam kondisi bencana kesehatan dan kedaruratan kesehatan nasional sebagaimana sudah ditetapkan oleh pemerintah. Konteksnya bukan terkait penerapan social distancing akibat suatu kondisi darurat kesehatan seperti yang sekarang kita alami.
Ketidakteraturan peraturan yang ada sekarang tentang penegakan social distancing menimbulkan implikasi-implikasi yang tidak perlu, seperti munculnya wacana darurat sipil yang sama sekali tidak masuk akal, termasuk ketidak-jelasan ancaman hukuman mana yang dapat diterapkan oleh penegak hukum ketika melihat social distancing dilanggar.
Itulah mengapa argumentasi agar Presiden segera menerbitkan peraturan pengganti undang-undang (perppu) tentang teknis penanganan COVID-19 yang di dalamnya diatur social distancing sebagai kewajiban hukum, menjadi relevan. Perppu ini tidak untuk memperpanjang birokrasi, tetapi untuk membuat social distancing sebagai kewajiban hukum menjadi semakin jelas di mana substansi pengaturan dan prosedur penegakan hukumnya tidak malah melanggar hak-hak masyarakat.
ADVERTISEMENT
Membuat social distancing sebagai sebuah “budaya dan kebiasaan” baru dengan membuatnya sebagai kewajiban hukum di masyarakat Indonesia, sama sekali bukan untuk menakut-nakuti seperti dikatakan Nefa dalam tulisannya. Logika pidana bagi pelanggar social distancing adalah untuk memastikan bahwa semua masyarakat akan mematuhi untuk menjalankan upaya paling fundamental dalam menyelesaikan penyebaran COVID-19 yang semakin mengkhawatirkan ini.
-
Petrus Richard Sianturi, Kandidat Magister Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Pidana, FH UGM, Yogyakarta.
-------------------
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!