Lucu Memang Hukum 'Wong Gendeng'

Petrus Richard Sianturi
Menulis seputar hukum, literasi dan perlindungan lingkungan hidup.
Konten dari Pengguna
10 November 2019 22:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Petrus Richard Sianturi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi mahasiswa Hukum. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mahasiswa Hukum. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Petrus Richard Sianturi, Kandidat Magister Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Pidana, FH UGM, Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Hukum itu apa? Untuk apa hukum itu? Kalau seorang jalan-jalan, lalu tasnya dirampok, lalu yang merampok itu tertangkap orang banyak dan digebukin, untuk apalagi diganjar pasal 362 KUHP, masuk penjara, dan diadili di pengadilan? Nyatanya dia sudah kena getahnya?
Kalau di kelas, lebih rumit sedikit. Ada hukum pidana, hukum perdata, hukum ini-itu, padahal orang kebanyakan hanya paham kalau hukum itu untuk memberikan orang hukuman! Kok susah-susah amat? Jadi, kalau ada orang menusuk dada orang lain, dan membuat orang yang ditusuk meninggal, intinya orang yang menusuk itu harus masuk penjara, kalau perlu di pengadilan, hakim jatuhi dia hukuman mati. Titik! Mudah kan?
Hukum itu cukup dimengerti: siapa berbuat apa, kalau merugikan harus kena hukuman! Bolehlah, kalau tindakannya tidak bahaya-bahaya sekali, kita musyawarah. Yang jelas, hukum itu untuk menghukum. Baca aturan tertulisnya, selesai.
ADVERTISEMENT
Pernah ingat kasus di tahun 2017? Ada nenek renta bernama Siti Rokayah, umurnya saja sudah 82 tahun, tiba-tiba digugat anak kandung sekaligus menantunya, bukannya itu proses hukum biasa saja? Nenek itu punya utang, anaknya ini pilih menggugat ibunya ke pengadilan. Gugatannya Rp 1,8 miliar. Wow!
Anak dan menantu itu punya hak, dan menurut mereka, ibunya itu punya kewajiban. Tepatlah, memang hukum itu adalah soal hak dan kewajiban. Kata hukum perdata soal utang-piutang, siapa melanggar perjanjian, dia kena ganjaran, siapapun orangnya, entah tua atau muda, tidak peduli. Kewajiban tetap kewajiban. Jadi apa anak kandung dan menantu itu kejam? Tapi apa tidak kejam juga kalau bertindak begitu?
Dulu juga ada kasus nenek Aryani yang dituduh mencuri tujuh batang kayu di lahan milik Perhutani. Nenek itu dilaporkan karena dianggap telah mencuri. Memang betul, di kitab hukum pegangannya orang-orang hukum itu, siapa mencuri ya harus diadili dan dihukum. Polisi menerima laporan, diberikan ke jaksa dan nenek Aryani diadili di depan para hakim. Apa ada yang salah? Kalau secara aturan prosedural, semua baik-baik saja. Tapi apa benar tidak ada yang salah?
ADVERTISEMENT
Oh iya, tapi proses-proses hukum pembalakan liar yang memotong (mungkin) sampai ribuan pohon itu kok tidak seheboh proses hukum nenek Aryani? Satunya kasus penjahat yang dengan segala rencana dan akomodasi lengkapnya memang untuk berbuat jahat, yang satu dituduh seperti penjahat kelas kakap meskipun hanya seorang nenek renta yang bahkan jalan saja harus ditopang dua orang! Tapi menarik juga melihat pertimbangan hakim dalam putusan dua kasus begitu.
Kasus yang mirip-mirip, di Banyumas, sekitar delapan tahun lalu, Nenek Minah dihukum kurungan karena sudah memetik tiga buah kakao milik sebuah perusahaan. Kepada mandor yang menemukan nenek Minah saat kejadian, nenek Minah mengakui perbuatannya, bahkan mengembalikan kakao yang baru dipetik dan berjanji tidak mengulangi. Tapi apa boleh buat, mungkin ada yang pintar sekali soal hukum, dan melihat perbuatan nenek Minah sebagai pelanggaran hukum, dan karenanya tetap harus diproses hukum.
ADVERTISEMENT
Lebih lama lagi, tahun 2011, Indonesia jadi heboh karena laporan seorang anggota brimob terhadap seorang siswa SMK yang telah mengambil sandal jepit. Ancamannya lima tahun! Gerakan 1.000 sandal muncul, bahkan negara-negara lain juga banyak memberitakan kasus ini.
Foto Ilustrasi Hukum Koruptor Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Di gedung KPK Jakarta, kita sering lihat orang-orang yang memakai rompi oranye suka tersenyum setelah diperiksa sekaligus dijadikan tersangka dan ditahan. Beda betul sama cerita-cerita sebelumnya, padahal sama-sama dituduh sudah mencuri. Apa karena curian mereka jumlahnya besar bukan main? Bukan cuma batang kayu, buah kakao atau sandal jepit? Pengalaman teman-temannya yang sudah ditangkap duluan, hukuman juga lebih banyak yang ringan. Masak, masuk kamera dan jadi terkenal, tidak senyum-senyum?
Di novel termasyhur karangan Victor Hugo, Les Miserables, diceritakan kalau Jean Valjean yang sedang lapar sekali dan tidak punya apa-apa untuk ditukarkan jadi makanan, akhirnya mencuri sebongkah roti. Setelah tertangkap dan diproses hukum berdasarkan hukum Prancis yang ketat, Jean dihukum kerja paksa di kapal selama 19 tahun. Apa bedanya kasus Jean dengan kasus nenek Rokayah, nenek Aryani, nenek Minah, siswa SMK, termasuk orang-orang korup? Kira-kira sama intinya: siapa salah, memenuhi apa yang tertulis di kitab hukum, harus dihukum.
ADVERTISEMENT
Sampai sini, kita bisa lihat hukum itu asalkan semua prosedur dan kata-kata di kitab hukum terpenuhi, tentulah adil. Bukan begitu? Asalkan ada tindakannya, ketahuan, dilaporkan, diadili, selesai! Kok, repot-repot amat?
Tapi tunggu, apa iya hukum sesederhana itu? Kalau begitu, buat apa fakultas hukum? Belajar susah payah empat tahun, malahan banyak yang sampai tujuh tahun! Itu kalau hanya strata satu, belum lagi mereka yang sampai jadi master dan doktor. Kalau hukum dipandang begitu gampangnya, apa tidak sia-sia harus susah-susah belajar untuk dapat gelar Sarjana Hukum (SH)?
Setiap hari kuliah, baca artikel, makalah, buku-buku hukum yang berat-berat, apalagi kalau bahasa asing. Belajar teori ini, teori itu. Ada yang pakai aliran sosiologis dan banyak juga yang positivis. Ada yang ikut pemikiran H. L. A. Hart, ada juga yang ikut Ronald Dworkin. Pokoknya, di fakultas hukum banyak yang otaknya encer soal teori-teori begitu. Waktu jadi waktu jadi jaksa? Prinsip profesionalitasnya yang penting ada kasus dari kepolisian, semua prosedur terpenuhi, buat dakwaan, buat tuntutan, yang penting menang. Kalau jadi hakim? Asal tindakannya memenuhi, ya sudah. Masuk barang, tuh!
Ilustrasi palu hakim Foto: Pixabay
Di kelas, suka sekali berdebat apalagi waktu bahas teori hubungan hukum dan keadilan. Segala macam teori disambung-sambungkan. Waktu jadi pengacara! "Hmmm.." begitu kata anak milenial. Putar-putar aturan sedikit, cari celah agar klien kelihatan benar dari lawan, meski sebetulnya salah. Yang penting kelihatan pintar dan pasti menang kasus. Keadilan nanti dulu.
ADVERTISEMENT
Tapi memang belajar ilmu hukum itu, sama juga dengan ilmu-ilmu lain, tidak mudah. Kalau nyata-nyatanya untuk jadi SH itu tidak mudah; harus belajar banyak, paham ilmu lain (dulu saya juga belajar Pancasila, fenomenologi agama, antropologi budaya, sosiologi, ekonomi makro) berarti memahami hukum juga tidak semudah seperti mengupas kulit pisang! Proses menjadi SH yang ribet dan lama itu mengandaikan hukum tidak cuma dibaca sebagai prosedur. Maaf kata, kalau untuk paham menjalankan pasal 362 KUHP, anak baru lulus SMP pun bisa. Wong tinggal baca, kok!
Kasus penolakan warga Kendeng atas pembangunan pabrik semen di wilayah mereka absurd sekali kalau diselesaikan cuma dengan penerbitan izin baru. Seakan-akan soal kelengkapan izin-lah persoalan utamanya. Ditambah lagi omongan seorang menteri, kalau yang menolak itu hanya sebagian kecil saja. Walau lebih banyak yang menerima pembangunan pabrik, apa menteri tidak lihat, kalau yang protes itupun rakyat, warga negara dan manusia yang harus dijamin dan diakomodir haknya, meski sedikit jumlahnya? Bukannya hukum itu soal hak dan kewajiban. Kalau hak yang protes ini dilanggar, lalu hukum bisa apa?
ADVERTISEMENT
Hukum ya tidak berarti apa-apa, kalau dijalankan orang-orang tidak waras, wong gendeng! Siapa mereka? Saya tidak tahu. Bukan cuma karena mereka betul-betul tidak paham apa sebenarnya hukum itu, tapi juga tidak bisa mendengar hati nurani saat hukum mereka terapkan dan laksanakan.
Dunia hukum kita masih terlilit lingkaran setan: pertama, substansi hukum yang tumpang tindih, politis-negatif, tidak lengkap, tidak bisa menyesuaikan perkembangan, masih berbau warisan kolonial; kedua, struktur hukum yang tidak jelas; dan ketiga, yang mengerikan, budaya hukum yang banyak tidak dipedulikan dan lambat berubah.
Lingkaran setan ini diperparah dengan orang-orang yang (sebenarnya tidak) paham hukum ditambah tidak bertanggung jawab, menyalahgunakan hukum demi kepentingan perut sendiri dan menggadaikan keadilan yang mungkin mereka tahu betul, hanya untuk kalkulasi untung-rugi.
ADVERTISEMENT
Setidak-tidaknya, yang masih sadar untuk menegakkan hukum yang bukan cuma soal prosedur, perlu mempertimbangkan nasehat seorang Arief Sidharta, pemikir hukum sejati itu, bahwa hanya mereka yang memiliki kemampuan berpikir yang tajam dan kesusilaan yang halus, yang dapat betul-betul menjadi seorang pengemban ilmu hukum.
Bahaya betul kalau begini terus, hukum dikuasai wong gendeng: sebab sampai kapanpun akhirnya rakyat yang kelihatan gendeng. Lihatlah posisi hukum dalam kasus penolakan warga Kendeng yang dulu itu, kok, seakan-akan warga Kendeng yang gendeng? Lucu memang hukum wong gendeng!