Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Melampaui Hukum (Pidana) dan Keadilan
4 Juli 2020 13:27 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Petrus Richard Sianturi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada seminar hukum 25-27 September 1978, Hakim Agung Purwoto S. Gandasubrata, sebagai pemrasaran dalam materinya menyampaikan bahwa berkenaan dengan penyelenggaraan peradilan (pemeriksaan, penuntutan, persidangan dan eksekusi) harus dilaksanakan dengan baik dan sesuai. Tujuannya tidak lain; tegaknya hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
ADVERTISEMENT
Penyampaiannya didasarkan pada kenyataan penyelenggaraan peradilan kala itu, 33 tahun setelah Indonesia merdeka, yang buruk, yang disebabkan karena tindakan penegak hukum yang tidak atau kurang sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang seharusnya mereka ikuti sehubungan dengan pelaksanaan tugas dan juga karena kesalah-pahaman atau kurang pengertian dari para pencari keadilan.
Solusinya, pertama, penegak hukum harus menjalankan tugasnya dengan sesuai ketentuan hukum yang sudah mengatur untuk itu. Kedua, bukan hanya penegak hukum tetapi setiap tindakan hukum oleh masyarakat juga harus berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum dan aturan perundang-undangan yang sah. Purwoto menjelaskan lebih lanjut bahwa sebaiknya dilaksanakan dengan lurus, sewajarnya, “tidak neko-neko” (zonder bij bedoelingen) dan sebagaimana mestinya.
Idealisme cita-cita hukum seperti yang dikemukakan Purwoto itu bukan hal yang baru dalam wacana (ilmu) hukum. Hukum ada karena ada masyarakat (ubi societas ibi ius) yang kemudian berkembang bersama-sama dengan masyarakat. Dalam keberadaanya di tengah-tengah masyarakat itu, tujuannya tidak lain: untuk menciptakan ketertiban dalam tatanan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya, bagaimana hukum bisa menciptakan ketertiban itu? Dan kalau memang hukum berhasil menciptakan ketertiban itu, apa ukuran untuk membuktikannya?
Hukum “zaman dulu”
Adalah mudah dimengerti kekacauan substansial dan prosedural sistem hukum kita saat ini sangat dipengaruhi dari akarnya. Sistem hukum yang kita anut saat ini hanyalah sebuah produk turunan langsung dari sistem hukum kolonial Belanda dengan sistem hukum kontinentalnya. Sistem hukum Belanda sendiri juga merupakan produk turunan dari Perancis. Yang saya tekankan “sistem hukum” di sini menyasar langsung pada sistem hukum publik: pidana.
Satu masalah mendasar: sistem hukum kolonial yang bercorak kontinental atas dasar logika oksidental (Eropa Barat) itu diterapkan di Indonesia! Yang lebih parahnya lagi ketika pemerintah Indonesia, meskipun Belanda sudah hengkang dari Indonesia, tidak bisa membuat sistem hukum nasional sendiri yang bercorak oriental secara khusus mengacu pada nilai-nilai ke-Indonesia-an, budaya dan sistem kemasyarakatan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Cita-cita dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Pidana (RKUHP) sekarang masih banyak celah perdebatan. Alih-alih membawa kebaharuan, pasal-pasal kontroversial seperti pidana untuk santet, aborsi, penghinaan presiden, zina sampai korupsi malah menimbulkan tanda tanya yang lebih banyak. Kalau begitu, masalahnya bukan cita-cita yang mau dibawa, tetapi apa betul cita-cita itu bisa dicapai dengan hukum yang begitu?
Masalah semakin rumit, di Indonesia sering kali tuntutan untuk menegakkan hukum itu sebatas menjalankan perintah undang-undang. Penegak hukum dalam hal ini hakim hanya sebatas menjadi “mulut undang-undang”. Banyak kasus (pidana) yang diputus sekaku sebagaimana hukum mengatur (minimal-maksimal hukuman). Prinsip legalitas selalu dijadikan kambing hitam untuk penegak hukum dan (ahli hukum) yang tidak berani keluar memberikan terobosan-terobosan hukum. Istilah “hakim itu mulut undang-undang”, seperti kita tahu, masih populer.
ADVERTISEMENT
Belum lagi masalah-masalah intitusional: korupsi, kolusi, dan nepotisme di lembaga penegakan hukum, proses legislasi yang dipenuhi kepentingan politik jangka pendek (baru-baru ini, dengan pongah, RUU Penghapusan Kekerasan Sekusual dikeluarkan dari prolegnas?), termasuk penegakan hukum yang sering melanggar hak asasi manusia. Untuk menggambarkannya dengan sederahana, meminjam istilah Sulistyowati Irianto (2003), inilah “kemandekan hukum” kita. Omong-omong tentang keadilan? Apa kita masih waras?
Hukum (pidana) yang berkeadilan
Sekian persoalan yang memandekkan hukum itu bukan rahasia. Bahwa praktiknya terjadi sekian denial, adalah hal yang perlu diakui dan segera diselesaikan. Kondisi-kondisi seperti ini, di mana hukum lebih sering jadi masalah itu sendiri dan bukan malah menyelesaikan masalah di masyarakat, jelas, tidak membawa setiap penegakan hukum pada keadilan substansial, dimana yang disasar adalah rasa keadilan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kalau mengikuti Purwoto, bahwa masih ada harapan kepada mereka, misalnya hakim-hakim, yang masih bisa diandalkan. Hakim-hakim ini adalah mereka yang tidak mau menambah kemandekan hukum, mereka tidak mau menjadi budak dari ketentuan tertulis, meski tetap menghormatinya sebagai tatanan dalam sistem hukum. Mereka yang masih menghidupi irah-irah paling awal di setiap putusan pengadilan yang mereka buat sendiri: Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa! Silahkan juga anda mempertimbangkan harapan yang sama kepada penegak hukum yang lain.
Bagaimanapun, hakim-hakim yang berani keluar dari paradigma positivis hukum ini menjadi sangat penting keberadaannya untuk pencapaian tujuan hukum yang sejati; ketertiban dalam masyarakat. Tapi dalam diskursus berikutnya, apakah sudah pasti hakim yang bukan “mulut undang-undang” itu dapat menciptakan keadilan hukum yang dibarengi dengan keadilan substansial (keadilan masyarakat)?
ADVERTISEMENT
Hukum yang efektif dan memiliki daya guna serta kemanfaatan di dalam kehidupan masyarakat selalu diukur dari seberapa adil hukum itu menurut masyarakat. Maka, hukum dan keadilan menjadi dua hal yang tidak mungkin dipisahkan baik dalam hal hakikatnya (hukum selalu bermuatan keadilan) maupun dalam hal pencapaiannya. Asep Warlan Yusuf (2003) lebih optimis dengan merumuskan bahwa hukum pada dasarnya selalu bersendikan keadilan. Tidak tepat mengatakan “menegakan hukum dan keadilan” melainkan “menegakkan hukum yang berkeadilan”. Istilah ini saya ikuti untuk memahami bahwa istilah “hukum yang berkeadilan” telah melampaui konsep hukum dan keadilan”, yang selama ini seolah-olah mendikotomikan keduanya.
Yang mau ditekankan bahwa hukum (dan/yang) keadilan harus berjalan beriringan. Dalam praktiknya, kita bisa menyebut bahwa koruptor tidak boleh bebas berkeliaraan, penghargaan pada kebebasan sipil harus konsisten, hak asasi manusia harus dijaga tanpa kompromi, penegak hukum harus setia pada sumpah dan tidak “main mata”, pendidikan hukum diperkuat, tidak boleh lagi orang takut berpendapat, tanah masyarakat (adat) diambil tanpa konsen mereka, dan seterusnya. Diskursus hukum pidana yang berkeadilan seperti itu mengandaikan hukum pidana itu harus melampaui kekakuannya selama ini.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, tidak ada hal yang lebih urgen lagi untuk dilakukan demi terwujudnya hukum yang berkeadilan selain dari pada pembenahan sistem hukum dari mulai hulu sampai hilir. Di hulu, pendidikan tinggi hukum memiliki peran yang sangat besar untuk menghasilkan sarjana-sarjana hukum yang punya moral dan pemahaman yang memadai tentang hukum (pidana) yang berkeadilan.
Sarjana-sarjana hukum yang memilih menjadi jurist als teoschouwer (akademisi hukum) harus menyumbang buah pemikiran tentang hukum dalam usaha penemuan dan pembangunan hukum (pidana) nasional serta pencapaian hukum (pidana) yang berkeadilan.
Di hilir, berkenaan dengan peranan para penegak hukum di mana pada merekalah masyarakat menggantungkan harapan akan keadilan. Sarjana-sarjana hukum yang akan menjadi praktizijns juristen (hakim, jaksa dan pengacara) harus mampu menjalankan tugasnya demi keadilan di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Lagi, hukum tanpa keadilan hanya akan membuat permasalahan hukum menciptakan permasalahan hukum yang lain dan begitu seterusnya tidak ada penyelesaian. Masyarakat sangat mengharapkan bahwa hukum memberikan mereka rasa keadilan, tidak lebih. Benarlah yang dikatakan Karen Lebacqz (1989), bahwa tidak ada yang lebih mendesak dewasa ini kecuali tegaknya keadilan dan tidak ada lagi kejahatan yang kerap terjadi kecuali ketidak-adilan.
Reformasi sistem hukum kita tidak lain harus mengarah pada penciptaan hukum (pidana) yang berkeadilan, yang menjamin bahwa hukum selalu bermuatan keadilan, dan keadilan selalu menjadi tujuan akhir dari setiap hukum (pidana) kita.
Petrus Richard Sianturi, Pendiri LegalTalk Indonesia (Instagram: @legaltalk.id).