Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Mendudukkan Perdebatan RKUHP: Rekodifikasi sampai 'Living Law'
17 Oktober 2019 14:34 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Petrus Richard Sianturi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Men moet de wordingsgeschiedenis kennen zo men de functie van het strafrecht in onze hedendaagse maatschappij volledig wil begrijpen.”
ADVERTISEMENT
Mengawali tulisan ini, saya mengutip kalimat dari Profesor van Hattum, ahli hukum pidana Belanda yang bukunya dikutip hampir oleh semua guru besar hukum pidana Indonesia sampai sekarang. Kalimat itu berarti “setiap orang perlu tahu sejarah terbentuknya hukum pidana, jika dia ingin tahu secara lengkap soal tujuan hukum pidana dalam pergaulan hidup sekarang”.
Polemik seputar Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) belum selesai. Setelah desakan yang sangat masif di berbagai daerah, dari berbagai lapisan masyarakat, Presiden akhirnya memutuskan untuk menunda pengesahan RKUHP. Baru setelah demonstrasi besar mahasiswa (23-24 September), DPR akhirnya juga sepakat untuk menunda.
Sebagian kalangan merasa bahwa penundaan ini adalah keputusan tepat, mengingat eskalasi penolakan yang semakin tinggi. Tetapi tidak sedikit kalangan yang merasa bahwa penundaan tidak menyelesaikan akar persoalan sama sekali: ada pasal-pasal yang dirasa over-kriminalisasi, terlalu ikut campur urusan pribadi, perumusan delik yang multitafsir dan kontradiktif. Jadi, untuk mereka ini, seharusnya bukan hanya ditunda, tapi ditolak atau dicabut.
ADVERTISEMENT
Perlu ditegaskan, bahwa keputusan yang diambil pemerintah dan DPR adalah penundaan. Itu berarti dalam suatu waktu tertentu, RKUHP tetap akan disahkan. Untuk mencari jalan tengah, pemerintah berkomitmen untuk memberikan peluang kepada semua lapisan masyarakat untuk memberikan kritik dan masukan atas RKUHP untuk dipertimbangkan. Di titik ini, mereka perlu diapresiasi.
Bagi mereka yang menolak dan mendesak pencabutan dari pembahasan, beberapa “pasal bermasalah” itu menjadi alasan yang logis untuk menuntut pencabutan RKUHP. Bagi penulis, usulan pencabutan ini tidak masuk akal dan justru kontradiktif bagi cita-cita pembaharuan hukum pidana nasional. Pertanyaan yang lebih penting sebenarnya, apa yang perlu dilakukan dalam masa penundaan sekarang? Apa-apa saja yang perlu dibicarakan, dikritisi dan didiskusikan ulang untuk perbaikan RKUHP agar tetap sejalan dengan semangat pembaharuan hukum pidana nasional?
ADVERTISEMENT
Sebelum membahas pasal-pasal kontroversial, adalah perlu untuk melihat KUHP yang saat ini dalam rentang kesejarahannya. Ini penting agar masyarakat, apalagi untuk mereka yang ingin menolak RKUHP secara total bisa mendudukan RKUHP secara lebih proporsional. KUHP Indonesia adalah terjemahan langsung dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie (WvSNI), yang sebenarnya juga berasal dari WvS yang saat itu berlaku di Belanda melalui kebijakan konkordansi.
Ada misinformasi yang sering beredar bahwa dikatakan WvS Belanda yang menjadi akar dari KUHP semata-mata berasal Code Penal (CP) Perancis. Fakta historis ini tidak salah, tetapi tidak lengkap. Sejak tahun 1795, Belanda sebenarnya sudah lebih dulu melakukan usaha membentuk kitab hukum kriminal (crimineel wetboek), jauh sebelum akhirnya menerapkan CP. Namun berbagai usaha yang dilakukan tidak berjalan dengan lancar. Panitia penyusunan yang kedua, tahun 1798-1806, juga gagal meyakinkan Hoog National Gerechtshof.
ADVERTISEMENT
Tahun 1807 raja membentuk panitia penyusunan baru yang setelah dua tahun bekerja dapat menyelesaikan draf Crimineel Wetboek voor het Koningrijk Holland atau Kitab Undang-Undang Hukum Kriminal untuk Kerajaan Belanda. Sayangnya kitab undang-undang itu hanya berlaku sampai 1811, padahal isinya telah membawa modernisasi dalam sistem penghukuman di Belanda. Pendudukan Perancis atas Belanda membuat CP berlaku di Belanda. Karena konteksnya adalah penjajahan, maka logis bahwa CP yang diberlakukan berkarakter kolonialisasi dan semata untuk penghukuman.
Di sini kita bisa melihat titik temu antara fakta bahwa KUHP Indonesia yang berkarakter kolonial dengan alasan logis mengapa Indonesia memang perlu segera memiliki KUHP buatannya sendiri. Pertama, tahun 1813 Belanda lepas dari penjajahan Perancis, namun CP tetap berlaku, yang kemudian diterjemahkan menjadi WvS, meskipun, seperti ditentukan dalam Souverein Besluit 11 Desember 1815, dilakukan beberapa perubahan, khususnya mengenai strafstelsel (asas-asas hukuman).
ADVERTISEMENT
Kedua, mengikuti pola kolonialisme Perancis, saat Belanda menjajah Hindia Belanda, Belanda memberlakukan WvS dengan adanya pasal-pasal yang diskriminatif. Salah satunya pasal karet yang di kemudian hari selalu menjadi perdebatan yaitu pasal penghinaan terhadap kepala negara. Ketiga, bedanya dengan Belanda pasca penjajahan Perancis, Indonesia pasca penjajahan Belanda tidak segera mengubah atau menghapus pasal-pasal yang memang dimasukkan untuk melanggengkan kolonialisasi. Di sinilah kemudian kita bisa tahu bahwa KUHP yang saat ini berlaku masih berkarakter kolonial.
Keempat, dengan fakta historis itu, dapat dijawab bahwa alasan mengapa Indonesia harus memiliki KUHP-nya sendiri, bukan semata-mata karena KUHP saat ini buatan Belanda, tetapi karena adanya warisan kolonialisme sebagai karakteristik penjajahan Belanda (dan juga Perancis). Ingat, bahwa Belanda sendiri sudah melakukan pembaharuan WvS berkali-kali, sementara Indonesia masih menggunakan apa yang tidak lagi dipakai oleh Belanda.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, kelima, adalah tidak masuk akal untuk menuntut pencabutan RKUHP secara keseluruhan, hanya karena ada beberapa pasal yang masih harus ditinjau ulang. Tuntutan pencabutan atau penolakan terhadap RKUHP secara keseluruhan sangat kontradiktif pada upaya pembaharuan sistem pidana nasional. Apa saja yang harus ditinjau ulang?
Ranah perdebatan
Di masyarakat masih terdapat salah kaprah pemahaman bahwa RKUHP ini dipandang sebagai revisi atas KUHP saat ini. Dalam ilmu perundang-undangan, revisi bermakna penambahan atau pencabutan, baik soal materil atau formil, atas ayat, pasal atau bab sebuah peraturan perundang-undangan. Ini mengandaikan bahwa prinsip, asas dan dasar pengaturan peraturan itu tetap sama.
RKUHP, seperti istilah Prof Eddy Hiariej, salah satu tim perumus, bukanlah revisi atas KUHP lama. RKUHP disusun dalam kebaharuan, berarti semangat penyusunannya direkonstruksi ulang. Itulah sering dikatakan bahwa RKUHP itu disusun sesuai dengan nilai-nilai keindonesiaan (Indonesian Way) atau seperti dikatakan Prof Muladi, sebuah upaya dekolonialisasi dalam sistem pidana Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kebaharuan yang dibawa oleh RKUHP sudah sangat tepat. Semangat untuk menyusun RKUHP menggunakan nilai-nilai keindonesian tidak bisa dibantah karena memang kita menginginkan hukum yang berlaku pada kita adalah hukum yang sesuai dengan tata nilai yang berkembang di Indonesia. Dan ini tidak bisa dilakukan hanya sekadar revisi. Lagipula revisi berpotensi melahirkan aturan-aturan tambal sulam.
Perdebatan soal RKUHP harus didudukan, sekurang-kurangnya dalam dua ranah. Pertama, ranah prosedural. Penyusunan RKUHP menggunakan paradigma rekodifikasi (bukan dekodifikasi atau revisi). Rekodifikasi berarti menyatukan kembali pengaturan-pengaturan tindak pidana ke dalam suatu KUHP. Namun perlu ditegaskan, bahwa sistem kodifikasi sendiri sudah banyak ditinggalkan.
Prof Sahetapy, berpendapat bahwa perkembangan zaman membuat kodifikasi sudah ketinggalan zaman (2013). Pendapat ini bisa dimengerti sebab faktanya, kejahatan berkembang secepat perkembangan zaman itu sendiri, sementara hukum tidak. Dikatakan het recht hink achter de feiten aan (hukum ketinggalan dari waktu), apalagi hukum pidana. Kodifikasi bukan pilihan yang tepat untuk pembaharuan hukum pidana, berarti secara mutatis mutandis, rekodifikasi sebenarnya juga pilihan yang keliru.
ADVERTISEMENT
Alternatifnya adalah seperti apa yang sudah berkembang di banyak negara (bahkan di Belanda sejak tahun 60-an) yaitu berdasarkan asas lex specialis derogat legi generali: pengaturan suatu tindak pidana (apalagi yang khusus seperti korupsi, narkotika dan terorisme) dirasa akan lebih efektif justru jika berada di luar KUHP melalui sebuah peraturan perundang-undangan sendiri. KUHP hanya mengatur prinsip, asas dan dasar pemidanaan atas tindak-tindak pidana itu sebagaimana yang mana diatur dalam buku I KUHP.
Salah satu implikasi negatif dalam RKUHP dengan digunakannya rekodifikasi adalah dibuatnya Bab tentang Tindak Pidana Khusus di Buku II. Di sini kemudian muncul perdebatan soal mengapa tindak pidana seperti korupsi, narkotika termasuk terorisme harus masuk kembali ke RKUHP. Jikapun dikatakan sebagai core crime, tetap sulit dipahami, sebab justru karena tidak semua tindak pidana perlu diatur dalam aturan yang khusus seperti korupsi, narkotika dan terorisme. Kekhususan tindak-tindak pidana itu justru terlihat dari tidak mungkinnya tindak pidana itu diatur sebagai delik biasa seperti dalam Buku II.
ADVERTISEMENT
Jadi, bukankah dengan begitu penerapan prinsip core crime dalam RKUHP hanya akan meniadakan "kekhususan" dari tindak pidana yang sebelumnya memang telah diatur sebagai tindak pidana khusus dalam sebuah afzonderlijke straf wetten?
Kalau toh prinsip penyusunan rekodifikasi mau tetap dipertahankan, perlu juga dicatat bahwa penolakan masyarakat yang masif agar korupsi jangan diatur di RKUHP perlu dipertimbangkan. Dalam Hukum Pidana: Kumpulan Kuliah, Prof Satochid Kartanegara menyebutkan, ada dua syarat sebuah usaha kodifikasi dapat dilaksanakan, yaitu pengetahuan hukum yang memadai untuk mengaturnya dan dukungan dari masyarakat. Syarat kedua ini jelas tidak terpenuhi. Untuk itu, soal paradigma penyusunan, dan ini memang yang menentukan semua, diperlukan pembahasan ulang apakah memang tepat menggunakan rekodifikasi khususnya untuk tindak pidana khusus.
ADVERTISEMENT
Kedua, ranah substansial yang terkait dengan pengaturan dalam RKUHP dengan karakternya sebagai hukum publik (van Hamel: het strafrecht zich tot publiek recht) yang dihadapkan dengan ranah pribadi individu masyarakat. Pertanyaan paling mendasar adalah apakah legitimasi negara untuk menegakkan hukum publik ke dalam ranah-ranah pribadi dan sangat pribadi? Kalimat yang lebih sederhana adalah bagaimana mungkin negara ikut campur atas apa yang terjadi di balik pintu kamar dua orang dewasa atau lebih atas kemauan dan kehendak mereka sendiri?
Disebutkan oleh Prof Barda Nawawi, juga perumus, bahwa RKUHP mendorong asas keseimbangan monodualistik yang menyeimbangkan antara kepentingan umum/publik dengan kepentingan individu/perorangan (2005: 12). Pendapat ini bisa dipertahankan selama ditempatkan dalam rangka pencapaian tujuan sistem pidana nasional. Bukan sebaliknya, ditempatkan dalam rangka pengaturan pidana yang tidak memiliki dimensi publik, karena justru akan berimplikasi pada dilanggarnya kepentingan individu.
ADVERTISEMENT
Sifat publik/umum dari hukum pidana mensyaratkan bahwa memang yang ingin dilindungi dari pemberlakukan hukum pidana adalah kepentingan umum. Hukum pidana mencegah agar tidak ada lagi lex talionis (mata ganti mata, gigi ganti gigi) di antara individu. Dalam hal dirugikan atas suatu kejahatan, negara hadir lewat alat-alatnya (Andi Hamzah, 2008: 5). Penekanannya adalah bahwa kejahatan yang dilakukan menimbulkan akibat bagi orang lain (satu atau lebih). Jadi yang perlu diatur adalah kejahatan yang bersifat individual yang memiliki implikasi terhadap kepentingan umum/publik.
Awalnya, hukum publik dan privat memang tidak dibedakan. Perkembangan zaman yang diikuti kesadaran manusia membuat kehadiran negara dalam rangka ketertiban bersama menjadi penting. Jadi, kalau sekarang negara, lewat RKUHP seolah-olah ingin masuk lagi ke dalam ranah-ranah privat, maka sebenarnya RKUHP bukannya bergerak maju tetapi berbalik arah dan mundur ke belakang. Pasal perzinahan, misalnya soal kumpul kebo, yang multitafsir dan dipaksakan, rentan pada terjadinya kekacauan di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Hukum adat diatur?
Ada satu masalah lagi yaitu soal dimasukkannya living law (meski diterjemahkan hanya sebagai hukum adat, padahal living law lebih luas artinya). Soal ini tidak dimasukan ke dalam pembagian dua ranah penyebab persoalan di atas, karena soal living law adalah perihal perbedaan tentang konsep pengaturan atas norma non-hukum ke dalam norma hukum. Sebuah konsep yang dipaksakan.
Pengaturan hukum adat ke dalam sebuah kitab hukum pidana positif jelas sulit dipahami. Karakter hukum adat yang tidak tertulis bertentangan dengan karakter hukum pidana positif yang harus dirumuskan secara jelas (lex certa), ketat (lex stricta) dan tertulis (lex scripta).
Hukum adat tidak bisa serta merta dikualifikasi sebagai bagian dari norma hukum mengingat sifat dan karakternya yang berbeda dengan, misalnya hukum pidana atau hukum perdata. Eugen Erlich dalam Fundamental Principles of the Sociology of Law, menegaskan bahwa hukum adat termasuk norma atau kebiasaan etis. Masyarakat tidak menganggapnya semata sebagai hukum tetapi menghidupinya sebagai sebuah penghargaan bersama dalam kelompok (2001: 449).
ADVERTISEMENT
Di samping itu, adalah tidak mungkin membuat semacam kompilasi atau kodifikasi hukum adat. Sekali lagi, hal itu akan memaksakan hukum adat menjadi tertulis (sesuatu yang harus ditentang) dan juga akan mengacaukan proses penegakan hukum terutama terkait dengan asas legalitas dalam hukum pidana (seseorang tidak dapat dipidana sebelum hukumnya diatur tertulis). Sebelum RKUHP ini, seperti ditulis Prof Satochid Kartanegara, Belanda juga ingin mencoba melakukan kodifikasi hukum adat, tetapi gagal, karena masyarakat adat sendiri menolak.
Masalah-masalah di atas menjadi isu sentral yang saat ini menimbulkan banyak polemik dan menuntut sikap. Kita tetap perlu mendukung RKUHP yang sudah diupayakan selama puluhan tahun dan tidak dibuat dengan sembarang. Hanya, selain juga agar RKUHP sesuai dengan perkembangan zaman, RKUHP juga perlu mempertimbangkan sisi kemanfaatan bagi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Masa penundaan ini perlu benar-benar ditanggapi serius untuk membicarakan ulang soal-soal di atas. Bahwa mungkin saja masih ada hal-hal lain, dan bisa jadi banyak, yang bisa diperdebatkan, jangan menjadi alasan untuk menolak secara keseluruhan RKUHP. Demi pembaharuan sistem hukum pidana nasional, kita harus proporsional dalam memperdebatkan RKUHP di masa penundaan pengesahan ini.
*Petrus Richard Sianturi, Kandidat Magister Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Pidana, FH UGM, Yogyakarta.