Konten dari Pengguna

Puncak Prau, Kekecewaan dan Rasa Syukur

Petrus Richard Sianturi
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Katolik Darma Cendika, CEO Korner, Lawyer.
24 November 2020 15:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Petrus Richard Sianturi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Doc. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Doc. Pribadi
ADVERTISEMENT
Tanpa ada rencana panjang lebar, Minggu, 15 November lalu, saya dan dua teman mendaki Gunung Prau. Kira-kira satu minggu sebelum pendakian itu, saya masih di rumah, saya mengajak seorang teman untuk mempersiapkan pendakian itu (seorang teman lagi kemudian juga saya ajak semalam sebelum hari pendakian).
ADVERTISEMENT
Karena bermaksud untuk punya waktu “menarik diri” sebentar, saya katakan untuk diam-diam saja. Tidak perlu ramai-ramai. Saya kemudian berangkat ke Jogja untuk beberapa urusan lain, dan setelahnya rencana pendakian itu bisa terlaksana.
Gunung Prau memang cantik, meski bukan yang begitu istimewa untuk saya. Alasannya bukan soal ketinggian atau tantangan di sepanjang jalur pendakian. Hanya suasana Wonosobo yang terkenal dingin itu, apalagi dekat dengan kawasan wisata Dieng, membuat saya memutuskan untuk pergi ke sana.
Rencana paling awal saya memang hanya mau ke Dieng. Berdiam di sana sebentar saja, lalu pulang. Tapi mengingat hanya dalam sebuah pendakian saya betul-betul bisa menemukan keheningan, pendakian Gunung Prau tidak bisa ditinggalkan. Apalagi pendakian saya yang terakhir adalah sebelum pandemi.
ADVERTISEMENT
Kalau di pendakian-pendakian sebelumnya saya suka menulis tentang insight apa yang saya dapat, kali ini saya malah belajar dari pengalaman langsung mendaki di masa pandemi sekarang. Hasil rapid test dan surat keterangan sehat adalah kewajiban pertama yang “menganggu” rencana. Saya punya, tetapi dua teman tidak. Tapi infonya, di basecamp disediakan. Satu urusan beres.
Sampai di Patak Banteng, basecamp sudah dipenuhi pendaki. Alih-alih protokol kesehatan, prosedur registrasi tidak menekankan jaga jarak. Ini memang tidak terhindarkan. Masak! Di area sekecil itu, berharap ada jaga jarak aman?
Ada beberapa formulir yang perlu diisi, perihal kondisi tubuh saat sampai di basecamp itu, termasuk beberapa pertanyaan dari petugas untuk memastikan bahwa perlengkapan pendakian cukup dan memenuhi syarat. Tapi ada yang membingungkan saya.
ADVERTISEMENT
Kalau ada delapan pendaki dalam satu kelompok, dan mereka hanya membawa enam matras (padahal ini biasa terjadi), maka mereka cuma punya dua pilihan: tidak jadi naik atau segera mencari dua matras lagi (misalnya dari penyewa sekitar basecamp). Alasannya makin membingungkan saya: matras harus masing-masing untuk menjaga jarak! Are you kidding me? Untunglah, alat dan perlengkapan saya dan dua teman lengkap dan sesuai ketentuan.
Tentu saja, kalau saya menyampaikan hal ini, bukan karena saya mau menyalahkan pihak-pihak tertentu. Tetapi bahwa hal-hal macam begini mengecewakan saya, harus saya akui. Bagaimana mungkin dibuat ketentuan-ketentuan, bukan untuk menyelesaikan masalah atau mencegah terjadinya suatu masalah, tapi malah memperumit keadaan? Tidak bisa dibantah bahwa protokol kesehatan memang harus dipatuhi di masa pandemi yang menyebalkan ini, kapanpun dan dimanapun. Termasuk di sebuah pendakian. Hanya saja, ini bukan lagi zamannya “memancing di air keruh”.
ADVERTISEMENT
Pengalaman ini pengalaman mengecewakan, setidaknya untuk saya pribadi. Tapi ingat, ini soal administrasi biasa, yang saya dan Anda bisa temukan dimana-mana. Jadi teknis saja. Hal ini sama sekali tidak menjadikan pendakian saya sampai Puncak Prau jadi ikut mengecewakan.
Doc. Pribadi
Sejak awal pendakian sampai menuju Pos 2, karena langit masih cerah, saya betul-betul terpesona dengan keindahan alam Wonosobo dan sekitarnya. Pemandangan alam, sejauh mata memandang, didominasi lahan pertanian (kentang dan kol). Semakin menanjak, semakin tidak kelihatan kesibukan orang dan lalu lintas kendaraan. Semua tergantikan pemandangan alam. Hanya saya dan para pendaki, dikuasai pepohonan, tanah dan batu, juga udara segar.
Pendakian Prau, bagi siapa saja yang pernah, memang cukup ramah. Ketinggiannya yang tidak lebih dari 2.600 mdpl dengan jalur pendakian yang “pendek”, membuat saya betul-betul bisa menikmati pendakian kali ini. Udara dingin, tanpa hujan dan jalur licin, juga (saya kira) waktu pendakian yang tepat (jam empat sore), benar-benar pengalaman yang memuaskan. Apalagi dengan hanya dua orang teman, saya sesungguhnya seperti sedang solo hiking saja. Menikmati keheningan dan “berbincang” dengan diri sendiri.
ADVERTISEMENT
Tapi keheningan itu memang tidak ada sama sekali setelah kami sampai di Puncak Prau. Saat sampai, tenda sudah banyak. Beberapa kelompok pendaki memang ribut sekali. Begitu juga keheningan tidak bisa terasa saat kami memasuki tenda. Hujan mulai turun, dan semakin malam-semakin deras, ditambah angin kencang. Dingin di Puncak Prau tidak bersahabat.
Bahkan masak pun harus kami lakukan di dalam tenda yang benar-benar tertutup karena angin tidak memungkinkan api bisa hidup kalau kami melakukannya di luar tenda. Selesai makan, mau tidak mau, kami segera tidur.
Bangun pagi, kami keluar tenda dan menemui sekian banyak orang yang sibuk dengan diri dan kelompoknya masing-masing, begitu juga kami. Mengambil sedikit foto, menikmati beberapa saat keindahan dari Puncak Prau, kami segera bersiap untuk turun kembali. Perjalanan turun, seperti biasa, agak menyiksa, karena lutut saya susah berkompromi. Tetapi syukurlah, hanya dengan waktu sekitar satu jam setengah, kami sudah sampai kembali di basecamp.
ADVERTISEMENT
Pendakian kali ini diawali dengan kekecewaan seperti saya ceritakan di awal. Meski kelihatan hal kecil, tetapi bagi saya, itu cukup mempengaruhi kondisi perasaan. Dengan latar belakang ilmu hukum yang sampai sekarang saya pelajari, berhadapan dengan “birokrasi” dan ketentuan-ketentuan yang tidak efektif-efisien, mudah memancing emosi saya.
Tetapi Puncak Prau membayar itu semua dengan keindahan dan keramahannya. Puncak Prau mengingatkan saya, untuk fokus pada hal yang utama. Tujuan saya mendaki Gunung Prau adalah untuk menarik diri sebentar, bukan untuk meneliti regulasi pendakian di sana.
Akhirnya saya tetap bersyukur bisa menikmati pendakian ini. Saya bersyukur, sekali lagi, Tuhan memberikan kesempatan untuk saya mengoreksi hidup dan diri saya lewat sebuah perjalanan pendakian. Apapun yang mengecewakan tidak perlu diingat lagi.
ADVERTISEMENT