Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Saatnya Kebijakan Penanganan COVID-19 Berbasis Riset
31 Maret 2020 15:06 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Petrus Richard Sianturi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam tiga minggu terakhir, kita dapat melihat bagaimana kualitas pengambilan kebijakan oleh otoritas publik di Indonesia dalam menangani kasus COVID-19. Melihat beberapa penyataan dan kebijakan yang telah diambil, terlihat bahwa masalah pandemik tidak didasarkan pada pendekatan riset keilmuan. Ada dua keterlambatan di tahap awal yang menggambarkan hal itu.
ADVERTISEMENT
Pertama, prediksi tentang potential initial cases. Penelitian Marc Lipsitch, profesor di departemen kesehatan masyarakat, Universitas Harvard melalui local linier regression model, maka Indonesia setidaknya sudah memiliki lima kasus corona. Prediksi itu bukan tanpa dasar, karena yang diteliti oleh Lipsitch adalah data volume perjalanan dari Wuhan yang dibandingkan dengan jumlah kasus-kasus negara di mana dilakukan pengawasan tinggi.
Penelitian itu menyatakan bahwa kecenderungannya banyak negara hanya berfokus pada exported cases daripada imported cases. Dalam konteks Indonesia, sangat mungkin, dengan melihat jumlah orang yang datang dari wilayah terdampak, sudah terjadi transmisi lokal. Sayangnya, Menteri Terawan menyatakan penelitian itu sebagai penghinaan terhadap Indonesia. Jika Menteri Terawan menghargai warning dari penelitian itu, bukan tidak mungkin kita bisa melakukan tahap-tahap pencegahan lebih dini.
ADVERTISEMENT
Kedua, terkait dengan pemetaan daerah zona merah. Juru bicara pemerintah dalam penanganan COVID-19, Ahmad Yurianto, menyatakan bahwa yang terpenting bukan membuka daerah-daerah mana yang menjadi penyebaran COVID-19, melainkan cukup tracing kemana pergerakan orang yang tertular positif. Alasannya: Penyebaran COVID-19 tidak berbasis daerah dan masyarakat Indonesia belum cukup dewasa mencerna informasi.
Keputusan itu patut disayangkan, sebab negara-negara yang membuktikan efektifitas penanganan COVID-19 seperti Korea Selatan, Singapura, Jepang, dan Jerman membuka data mengenai daerah-daerah paling terdampak dengan tujuan agar prioritas pelayanan kesehatan dapat ditentukan. Di samping itu, kewaspadaan di masyarakat juga dapat terbangun. Dalam kondisi kritis, transparansi pemerintah sangat dibutuhkan.
Peneliti dari Departemen Geografi, FMIPA Universitas Indonesia, Ardiansyah, mengembangkan Web Geographic Information System Portal yang dapat memetakan persebaran populasi yang terinfeksi. Portal ini dapat memperlihatkan distribusi lokasi dari populasi yang positif tertular COVID-19, termasuk di dalamnya status mereka: low, medium atau high prone. Pengembangan portal ini menunjukkan bahwa informasi mengenai daerah-daerah zona merah sangat penting dan menentukan.
ADVERTISEMENT
Dari kedua hal ini kita bisa tau dan dengan jujur harus mengakui bahwa kita telah kehilangan momentum pencegahan di tahap awal dan sudah saatnya kita bersama-sama bersinergi menyelesaikan pandemik ini. Basis yang menurut saya sangat perlu adalah setiap upaya penanganan, baik pengambilan kebijakan oleh otoritas publik dan upaya mandiri masyarakat harus didasarkan pada riset, bukan asumsi.
Keterlambatan dan sikap acuh tak acuh di tahap-tahap awal perlu dibayar oleh ketegasan dan kecepatan di masa-masa genting sekarang ini, maka ada dua hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, keharusan masyarakat untuk melakukan social distancing tidak bisa lagi dijadikan hanya sebagai imbauan melainkan kewajiban hukum. Untuk itu diperlukan peraturan ketat yang bisa dijadikan dasar.
ADVERTISEMENT
Ada dua kemungkinan mengapa sampai sekarang social distancing tidak terlaksana secara efektif. Kesadaran masyarakat yang sangat rendah dalam memahami situasi saat ini dan arena tidak adanya regulasi hukum yang menjadi dasar untuk melakukan penegakan hukum. Perlu diingat Maklumat Kapolri meskipun dapat diapresiasi, secara legalitas kurang cukup kuat dijadikan dasar hukum terkait ini.
Maka, Presiden bisa mempertimbangkan untuk menerbitkan peraturan pengganti undang-undang (Perppu) terkait langkah-langkah penanganan COVID-19 di mana salah satunya menyatakan aturan social distancing sebagai kewajiban hukum. Tentu kerja sama dengan DPR diperlukan agar Perppu ini dapat dijalankan dan diimplementasikan ke dalam peraturan-peraturan turunan dan teknis.
Jalankan UU Kekarantinaan Kesehatan
Terkait dengan implementasi social distancing, maka hal kedua adalah keharusan pemerintah untuk segera menjalankan Undang-Undang No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Dalam UU 6/2018, sudah sangat jelas diatur mengenai pola-pola penanganan ketika negara menghadapi wabah penyakit menular, seperti COVID-19 ini. Dengan kondisi saat ini, maka pembatasan keluar-masuknya orang dari satu daerah ke daerah lain sangat dibutuhkan.
ADVERTISEMENT
Implementasi UU 6/2018 akan sangat membantu pemerintah dan penegak hukum dalam memastikan bahwa angka transmisi COVID-19 lintas daerah dapat ditekan. Karantina wilayah, sebagaimana diingatkan oleh Profesor Siti Setiati dari Fakultas Kedokteran UI, sangat membantu dalam mencegah penularan COVID-19 semakin meluas. Melihat pengalaman Iran dan Italia, telatnya lockdown membuat lonjakan jumlah orang yang tertular.
Pasal 4 UU 6/2018 menyatakan bahwa, “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit dan/atau faktor risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat melalui penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan”. Berdasarkan pasal 9, maka pemerintah memiliki kewenangan untuk mengedepankan kesehatan publik dengan keputusan-keputusan yang harus ditaati masyarakat, termasuk penegakan hukum manakala masyarakat melanggar implementasi karantina wilayah.
ADVERTISEMENT
Sekurang-kurangnya empat hari ke belakang, perpindahan masyarakat ke daerah-daerah di pulau Jawa untuk melakukan mudik menjelang Idul Fitri, semakin meningkat. Masyarakat yang pergi dari Jakarta, wilayah dengan kasus terbanyak terbanyak, sangat tinggi bahkan setelah diimbau oleh masing-masing Gubernur untuk tidak mudik. Hal ini akan terus terjadi selama karantina wilayah tidak segera dilakukan.
Bahwa berdasarkan Menkopolhukam, pemerintah pusat akan segera melakukan karantina wilayah dengan skala terbatas. Yang membingungkan saya adalah mengapa, hal itu memerlukan waktu yang lama, padahal pemerintah pusat sendiri sudah menyatakan negara sedang dalam keadaan bencana non-alam. Lagipula keputusan penetapan untuk karantina wilayah sepenuhnya kewenangan pemerintah pusat. Wacana menyatakan darurat sipil tentu tidak tepat karena pendekatan "keamanan" yang akan dilaksanakan. Darurat bencana tentu lebih masuk akal mengikuti alur berpikir UU Kekarantinaan Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Kini Indonesia dalam masa pertaruhan. Berdasarkan gambaran flattening the curve, saat ini Indonesia belum mencapai puncak kritis. Di saat yang sama, berdasarkan penelitian dari Pusat Pemodelan Matematika Penyakit Menular di London Inggris, diprediksi kasus orang terinfeksi di Indonesia telah mencapai puluhan hingga ratusan ribu kasus. Tingkat pengetesan yang rendah membuat kasus-kasus itu tidak terungkap. Jika penanganan pemerintah tidak lebih tegas, salah satunya dengan segera menetapkan karantina wilayah, maka korban terdampak akan jauh lebih banyak.
Mari semua bekerja sama dan saling percaya
Tapi perdebatan dan saling menyalahkan tidak membantu sama sekali. Meskipun kita dalam kondisi yang dilematis dan genting, kepercayaan masyarakat kepada otoritas publik tetap dibutuhkan. Masyarakat tetap perlu menjadikan setiap upaya oleh otoritas publik, baik pemerintah pusat dan daerah, sebagai sumber utama dalam pencegahan penularan COVID-19 di tingkat yang paling rendah, keluarga dan lingkungan rumah.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, kini saatnya setiap pengambilan kebijakan oleh otoritas publik harus berbasis pada riset keilmuan dan bukan pada asumsi-asumsi yang menciptakan hilangnya kepercayaan publik. Pemerintah harus berkomitmen untuk menjalankan prinsip transparansi terhadap data dan informasi yang diperlukan masyarakat untuk diketahui agar antara pemerintah dan masyarakat dapat saling bersinergi.
Masalah ini adalah masalah bersama, mari kita saling memahami, saling membantu dan saling bekerja sama.
-
Petrus Richard Sianturi, Kandidat Magister Ilmu Hukum, FH UGM. Minat studi pada hukum dan kejahatan berbasis teknologi serta perlindungan korban.
Live Update
Pada 5 November 2024, jutaan warga Amerika Serikat memberikan suara mereka untuk memilih presiden selanjutnya. Tahun ini, capres dari partai Demokrat, Kamala Harris bersaing dengan capres partai Republik Donald Trump untuk memenangkan Gedung Putih.
Updated 5 November 2024, 21:56 WIB
Aktifkan Notifikasi Breaking News Ini