Stafsus Milenial dan Kapan Seharusnya Hukum Memaafkan?

Petrus Richard Sianturi
Menulis seputar hukum, literasi dan perlindungan lingkungan hidup.
Konten dari Pengguna
17 April 2020 0:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Petrus Richard Sianturi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi hukum Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hukum Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Tahun lalu, mantan dekan Harvard Law School, Profesor Martha Minow menerbitkan buku yang, bukan hanya menarik, tetapi juga mendalam khususnya dalam kajian sistem peradilan pidana kontemporer.
ADVERTISEMENT
Buku itu menarik, sekurang-kurangnya untuk saya, diawali karena judulnya yang tidak biasa: “When Should Law Forgive?”. Mendalam karena untuk melihat karakter “keras” hukum pidana (internasional), Minow juga mendekatinya dari kasus-kasus lain, misalnya utang-piutang sampai maladministrasi pemerintahan Donald Trump.
Minow menyajikan contoh misalnya, perang di Sierra Leone, Afrika Barat yang terjadi antara tahun 1991-2002. Menurut catatan PBB, perang yang menewaskan lebih dari 50 ribu orang itu, menyertakan sekitar 10 ribu tentara anak-anak. Minow mengambil satu contoh kasus yaitu Emmanuel yang diculik sejak umur tujuh tahun dan selama empat tahun dipersiapkan untuk menjadi petarung perang. Selama perang, Emmanuel menjadi seperti apa dirinya dibentuk. Pasca perang, Emmanuel menjadi “sampah masyarakat” di hadapan komunitasnya, sulit mendapat pendidikan dan benar-benar ditolak secara sosial.
ADVERTISEMENT
Menurut Minow, bagaimana mungkin Emmanuel harus dihukum untuk sesuatu yang tidak dia kehendaki terjadi, tidak dalam kontrol dirinya dan bahkan dalam kondisi di mana dia adalah pelaku yang sebenarnya juga adalah korban? Mungkinkah bagi kasus-kasus seperti kasus Emmanuel, pemaafan mendapat tempat?
Konteks buku Minow yang ingin saya ceritakan saya cukupkan sampai di sini. Anda lalu bertanya, apa hubungannya dengan kasus salah satu staf khusus (stafsus) milenial yang heboh sekarang? Tidak ada.
Saya tertarik dengan judul bukunya. Judul ini, jika semata-mata didekati dalam logika hukum positivistik (letterlijk), seketika kedengaran omong kosong. Bagaimana mungkin, kasus hukum berat, apalagi terkait pidana, bisa selesai dengan pemaafan? Umumnya, bahwa ketika perbuatan telah memenuhi unsur-unsur delik, maka untuk perbuatan itu dikenakan sanksi hukuman. Sesederhana itu.
ADVERTISEMENT
Kasus salah satu stafsus milenial Presiden, Andi Taufan Garuda, yang mengirimkan surat “instruksi” bagi camat seluruh Indonesia memang cukup mengherankan. Selain cacat secara substansi akibat kesalahan penggunaan kewenangan, surat itu juga menunjukkan adanya pelanggaran etika publik yang berat oleh, seperti disebut Donny Gahral pada acara talkshow televisi, mereka yang berada dalam ring-1 istana. Surat itu, berkop resmi, terang-terangan memperlihatkan bahwa Andi sebagai pejabat, sama sekali tidak memahami posisi dan kewenangannya. Sesuatu yang amat fatal dan disayangkan dalam konteks penyelenggaraan negara.
Bahwa Andi sudah melakukan klarifikasi adalah kewajaran yang diperlukan. Persoalannya sekarang, banyak masyarakat yang menuntut Andi segera dipecat. Bukan hanya itu, komisioner ombudsman menegaskan bahwa ada dugaan terjadinya pelanggaran maladministrasi berat yang diancamkan hukuman maksimal 20 tahun penjara. Bahkan sebagian mengatakan telah terjadi korupsi di masa darurat yang berarti menempatkan Andi pada ancaman hukuman mati. Ada kelompok pengacara sudah melaporkan Andi ke polisi, meski saya tidak memahami apa maksudnya.
ADVERTISEMENT
Menurut saya, kasus ini harus ditempatkan secara proporsional. Pertama, Andi adalah seorang profesional muda yang memiliki karya dan kontribusi nyata sebelumnya dia bergabung dengan istana. Saya tahu, bahwa ini kedengaran klise. Tetapi saya memang mencari tahu tentang perusahaannya dan saya mendapatkan impresi baik karena perusahaan yang dirintisnya terbukti sudah ikut berkontribusi pada upaya pengembangan keuangan mikro di masyarakat. Fakta ini perlu diketahui dan diakui.
Kedua, kontribusi yang dilakukan Andi sebagaimana pada poin pertama dan tentu latar belakangnya yang lain yang relevan dengan profesionalitasnya, membuat saya sulit menemukan kemungkinan bahwa Andi menuliskan surat kepada para camat itu dengan didahului “niat-niat jahat”, hal mana sebagai prasyarat penting suatu perbuatan dapat dikualifikasi sebagai kejahatan. Jadi, sekali lagi, saya meragukan bahwa Andi pada dasarnya memang berniat melakukan pelanggaran ini.
ADVERTISEMENT
Saya sepakat bahwa yang dilakukan Andi adalah kumulasi dari pelanggaran etika dan pelanggaran hukum. Andi tidak seharusnya membiarkan perusahaannya ikut dalam proyek negara, meskipun, seperti diklarifikasi tidak menggunakan APBN, tetapi ini tetap melanggar secara etika. Secara hukum, Andi telah melanggar karena adanya dugaan penyalahgunaan kewenangan. Dan terhadap keduanya Andi harus bertanggung jawab. Dan terkait poin ketiga inilah saya memiliki pendapat.
Jika ketiga poin di atas diurutkan, maka logika yang saya bangun adalah bahwa niat Andi kiranya agar edukasi lapangan dan pendataan kebutuhan alat pelindung diri Puskesmas di wilayah desa, dapat berjalan dengan lancar. Hal itu membutuhkan bantuan para camat untuk membantu upaya yang dilaksanakan oleh PT Amartha Mikro Fintek (Amartha), perusahaan miliknya. Yang fatal adalah bahwa secara teknis birokrasi, Andi menabrak beberapa ketentuan seperti misalnya keharusan berkordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri untuk menyurati para camat.
ADVERTISEMENT
Penekanan saya adalah pada niat. Ketika, berdasarkan dua poin pertama sulit ditemukan korelasi antara niat dan pelanggaran hukum dan etika yang kemudian terjadi, apakah masih cukup relevan bagi kita secara terus-menerus melakukan penghakiman terhadap yang bersangkutan. Seperti ditanyakan Minow terkait kasus Emmanuel, bagaimana mungkin kita menjatuhkan hukuman kepada mereka yang tanpa kehendaknya suatu perbuatan (melanggar) akhirnya terjadi?
Saya sepakat jika sebaiknya bagi kita untuk lebih mendudukan persoalan ini pada bobot pelanggaran etika berat daripada segera membawanya ke ranah hukum. Jika kasus Andi dilihat dari kaca mata etika, saya menantikan keberanian Andi untuk segera mundur dari jabatannya sebagai staf khusus Presiden. Selain untuk menghentikan polemik yang sudah sangat besar berkembang di masyarakat, keputusan untuk mundur akan menjadi pelajaran bagi para pejabat lainnya soal etika bernegara dan berbangsa.
ADVERTISEMENT
Saya tidak mengenal stafsus milenial ini sama sekali, tetapi saya merasa keributan ini menambah-nambah masalah yang berkepanjangan. Padahal kita berada di situasi yang sangat sulit dan energi bangsa sudah terkuras karena pandemik COVID-19 yang terus menimbulkan korban. Polemik-polemik yang segera bisa diselesaikan, sudah seharusnya dihentikan. Mari kita kembali fokus pada masalah bersama yang paling utama: penanganan COVID-19.
Kasus Andi sejatinya memberikan diskursus baru bagi masyarakat untuk membangun paradigma penghukuman di negeri ini: bukan lagi semata-mata menghukum, tetapi membuat sadar. Jangan-jangan, wacana hukum dapat memaafkan bisa menjadi jalan keluar pertama dari semuanya. Ini pendapat saja.
-
Petrus Richard Sianturi, Kandidat Magister Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Pidana, FH UGM.