Konten dari Pengguna

Dosen Jeli, Mahasiswa Siap Tempur: Kunci Membuat Kelas Seru

Ricky Bryan DP Tampubolon
Dosen Akuntansi IPB University
11 November 2024 11:06 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ricky Bryan DP Tampubolon tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: https://www.shutterstock.com/image-photo/adult-male-professor-law-lecturing-students-2498507817
zoom-in-whitePerbesar
sumber: https://www.shutterstock.com/image-photo/adult-male-professor-law-lecturing-students-2498507817
ADVERTISEMENT
Sebagai dosen yang ingin menyeimbangkan antara fun dan ketegasan, ada satu aturan baku yang sebenarnya bisa membuat proses belajar-mengajar jauh lebih efektif: mahasiswa harus belajar sebelum masuk kelas! Kedengarannya sepele, tapi praktiknya luar biasa menantang, terutama kalau kita ingin menghadirkan kelas yang interaktif, penuh diskusi yang bermutu, bukan sekadar dosen ngomong—mahasiswa ngangguk-ngangguk sambil buka ponsel di bawah meja.
ADVERTISEMENT
Nah, kali ini kita bahas kenapa mahasiswa perlu belajar dulu sebelum masuk kelas, dan bagaimana dosen bisa menerapkan strategi mengajar yang lebih memperhatikan perbedaan kemampuan tiap mahasiswa dalam menangkap materi. Sederhananya, kalau “mahasiswa datang ke kelas siap tempur” dan “dosen jeli melihat siapa yang ‘kecolongan’ pemahaman”, kualitas diskusi akan naik. Setuju?
Persiapan Mahasiswa: Datang ke Kelas dalam Mode Siap Tempur
Banyak mahasiswa merasa, “Ah, ngapain belajar dulu. Kan bisa nanti setelah kelas, biar paham setelah dijelasin dosen.” Nah, pola pikir inilah yang perlu diubah. Ketika mahasiswa datang tanpa bekal, kelas berubah jadi sesi ceramah sepihak yang penuh dengan "dosen yang ngomong" dan "mahasiswa yang mendengar dengan berat hati." Kelas seperti ini akhirnya membuat semua pihak capek sendiri.
ADVERTISEMENT
Bayangkan kalau setiap mahasiswa sudah memahami konsep dasar sebelum kelas dimulai. Alih-alih memulai dari nol, mahasiswa bisa langsung tancap gas, bertanya tentang hal-hal yang belum dipahami, atau bahkan berdiskusi dengan rekan sebelah untuk memperdalam konsep. Tujuannya bukan untuk jadi bintang kelas atau sekadar biar kelihatan “niat”, tapi ini soal efektivitas belajar. Diskusi yang terjadi bukan lagi tanya-jawab pasif, tapi debat ide, pemikiran kritis, bahkan perdebatan seru soal perbedaan pandangan.
Tentu saja, bagi dosen, ini adalah keuntungan besar. Dengan mahasiswa yang aktif dan sudah punya modal pengetahuan dasar, kelas jadi lebih hidup dan berwarna. Dosen tak lagi sekadar mentransfer pengetahuan, tapi ikut menajamkan analisis dan cara berpikir mahasiswa. Kelas jadi tempat latihan berpikir kritis, bukan sekadar hafalan.
ADVERTISEMENT
Tugas Dosen: Jeli Melihat "Tingkat Kecepatan" Mahasiswa
Tidak semua mahasiswa punya kecepatan yang sama dalam menangkap materi. Di sinilah letak tantangan seorang dosen. Menghadapi mahasiswa yang belajar dengan tingkat kecepatan berbeda-beda bukanlah perkara gampang. Di satu sisi, ada mahasiswa yang “sekali baca langsung paham” dan siap ngegas dalam diskusi. Tapi di sisi lain, ada yang butuh lebih banyak waktu untuk memahami konsep. Kalau dosen tidak jeli, kelas bisa berubah jadi kompetisi antara mereka yang cepat tangkap dengan yang masih bingung.
Lalu, bagaimana cara dosen menghadapi perbedaan ini tanpa membuat mahasiswa merasa tertinggal atau malah jadi tertekan? Pertama, dosen bisa menerapkan pendekatan inklusif: misalnya, memberikan kesempatan bagi mahasiswa yang tampaknya belum paham untuk bertanya atau mengutarakan pemikiran. Kedua, dosen bisa membuat kelompok belajar kecil dalam kelas, sehingga mahasiswa dengan pemahaman yang lebih kuat bisa membantu teman-temannya yang belum paham. Dengan cara ini, mahasiswa tidak merasa dibiarkan ketika belum paham, dan yang lain bisa memperdalam pemahaman dengan menjelaskan ulang kepada teman-temannya.
ADVERTISEMENT
Dosen juga perlu mengembangkan metode penyampaian yang menarik untuk mahasiswa yang "lambat panas". Materi yang diajarkan bisa disampaikan melalui kasus nyata atau contoh sehari-hari yang mudah dipahami. Misalnya, jangan hanya menjelaskan teori akuntansi, tetapi dosen juga bisa membawa contoh dari berita terkini tentang fraud yang terjadi di perusahaan. Dengan cara ini, mereka yang butuh waktu lebih lama untuk paham teori dasar bisa langsung “nyambung” melalui aplikasi nyata.
Diskusi Kelas yang Lebih Hidup
Yang paling menyenangkan dari semua ini adalah suasana kelas yang jauh lebih hidup. Bayangkan, jika semua mahasiswa datang ke kelas dengan pertanyaan dan ide-ide yang sudah mereka siapkan dari hasil belajar mandiri. Kelas akan penuh dengan tanya-jawab yang menantang, diskusi yang tajam, dan sesi debat yang mungkin penuh dengan “Oh iya ya!” atau “Nggak setuju, Pak!”
ADVERTISEMENT
Diskusi kelas juga membuat mahasiswa semakin percaya diri untuk berbicara di depan publik. Ketika mereka terbiasa mengeluarkan pendapat di depan teman-teman sekelas dan berani mengutarakan pemikiran kritis, keterampilan ini akan sangat berguna di dunia kerja nantinya.
Jadi, Mahasiswa yang Siap, Dosen yang Jeli
Mengajar dan belajar di universitas bukan cuma soal transfer ilmu, tapi juga soal melatih pola pikir dan keterampilan yang akan dibutuhkan di masa depan. Mahasiswa yang datang ke kelas dengan persiapan matang akan lebih mampu mengikuti alur pengajaran dosen, sementara dosen yang jeli memahami kebutuhan dan kecepatan belajar mahasiswa akan lebih mudah menciptakan suasana kelas yang inklusif dan interaktif. Dengan begitu, dunia pendidikan tinggi bisa bertransformasi dari “sekadar tempat belajar” menjadi ruang latihan berpikir kritis yang kaya akan pemahaman dan keterampilan.
ADVERTISEMENT