Demokrasi adalah Satu Orang Satu Suara?

Ricky Suwarno
CEO dan Pendiri Karoomba Asia. Anggota Asosiasi untuk Kecerdasan Buatan China (CAAI)
Konten dari Pengguna
15 April 2019 11:39 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ricky Suwarno tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sistem demokrasi adalah sistem kesejahteraan untuk memenuhi kepentingan rakyat di jangka pendek. Ilustrasi Pemilu. Foto: Sabryna Putri Muviola/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sistem demokrasi adalah sistem kesejahteraan untuk memenuhi kepentingan rakyat di jangka pendek. Ilustrasi Pemilu. Foto: Sabryna Putri Muviola/kumparan
ADVERTISEMENT
Banyak orang berpikir bahwa demokrasi adalah satu orang, satu suara, dan otokrasi tidak memungkinkan anda untuk memilih, karena kekuasaan dimonopoli. Namun, saya merasa ini pandangan yang kurang tepat, karena perbedaan antara demokrasi dan otoriterisme bukanlah pada pemungutan suara, melainkan dari dasar kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Kunci untuk membedakan terletak pada kemenangan jumlah orang dalam aliansi partai. Misalnya pada akhir abad ke-19, ada seorang raja di Belgia yang merupakan idola banyak orang pada saat itu. Dia sangat mempromosikan demokrasi dan kebebasan, yang kemudian berhasil mengubah Belgia dari negara otoriter menjadi demokrasi modern dalam waktu lebih dari 40 tahun.
Namun, orang ini berbuat satu hal yang sangat berbeda di negara koloni jajahannya, Kongo. Dia tidak memberi orang Kongo hak asasi manusia, dan memaksa tenaga kerja Kongo dengan berbagai cara. Penganiayanya telah menewaskan lebih dari 10 juta orang Kongo.
Mengapa orang yang sama bisa sangat begitu kontras? Ada teori 'tiga pengukuran' yang dapat menjelaskan hal ini dengan baik. Sebagai contoh, sosok body seseorang dapat dilihat dari 3D jumlah pengukurannya. Demikian pula, baik negara, perusahaan, atau organisasi internasional, struktur kekuatan mereka tidak bisa hanya diukur dengan 'demokrasi' dan 'kediktatoran', tetapi juga dengan tiga cara pengukuran di atas.
ADVERTISEMENT
Kekuatan dan demokrasi suatu negara juga bisa dilihat dari 'tiga pengukuran'. Pertama, adalah pemilih nominal. Semua warga negara yang memiliki hak untuk memilih dan dipilih. Jumlah pemilih nominal lebih bersifat ilusi, karena mereka sama sekali tidak memiliki pengaruh pada siapapun pemimpinnya.
Kedua, pemilih yang sebenarnya. Mereka yang benar-benar memiliki pengaruh terhadap siapa pemimpinnya. Misalnya Amerika Serikat, pemilih yang sebenarnya adalah mereka yang memberikan suara pada hari pemilihan. Namun, pemilih yang sebenarnya di Arab Saudi yang sangat otoriter, adalah anggota keluarga kerajaan.
Kampanye Pemilu paruh waktu AS Foto: REUTERS/Carlos Barria
Ketiga adalah aliansi kemenangan partai, di mana pemimpinnya harus mengandalkan mereka untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Bagi presiden AS, aliansi kemenangan adalah pihak yang memberikan kunci suara di daerah pemilihan utama, sehingga kandidat terpilih. Bagi diktator seperti Arab Saudi, pendukung utamanya adalah orang di dalam tentara, dan kaum bangsawan.
ADVERTISEMENT
Jadi, untuk melihat apakah suatu negara benar-benar demokrasi, kuncinya adalah melihat jumlah orang dalam aliansi kemenangan. Karena, aliansi kemenangan adalah sekelompok orang yang benar-benar dapat mengendalikan seorang pemimpin. Esensi kerja seorang pemimpin adalah melayani kepentingan pihak aliansi kemenangan. Jika pemimpin tidak dapat menjamin kepentingan aliansi, mereka bisa menggantikan pemimpinnya.
Kesimpulannya, jika ada banyak orang dalam aliansi kemenangan, maka negara ini adalah negara yang biasa kita sebut sebagai negara demokrasi. Sebaliknya, jika jumlah orang dalam aliansi kemenangan sangat kecil, maka terlepas dari apakah negara ini memiliki pemilu atau tidak, negara ini sebenarnya adalah negara diktator.
Jadi, kembali ke contoh raja Belgia di daerah koloninya, Kongo. Karena aliansi kemenangannya di sana adalah sekelompok kecil tentara dan kaum bangsawan, dia hanya perlu membuat minoritas ini bahagia dan puas. Dengan demikian, sudah cukup untuk mempertahankan pemerintahannya dan kekuasaannya. Jadi, dia bisa seenaknya melakukan apapun tanpa masalah moral.
ADVERTISEMENT
Tetapi di Belgia, dia harus memuaskan lebih banyak orang, di mana jumlah orang dalam aliansi kemenangan lebih banyak. Artinya, harus mementingkan kepentingan mayoritas.
Sebenarnya, tidak ada perbedaan mendasar antara pemimpin negara demokratis dan negara otoriter. Mereka berdua harus mengutamakan kepentingan pendukung keras mereka. Yang namanya negara demokrasi, karena ada terlalu banyak orang dalam aliansi kemenangan, dan pemimpin tidak bisa menyogok secara langsung, sehingga mereka sering memakai kebijakan sebagai gantinya.
Misalnya, para pendukung inti Obama adalah orang miskin, etnis minoritas, anak muda, dan wanita. Setelah dia terpilih, dia harus menggunakan sejumlah besar pajak untuk kesejahteraan sosial, seperti memperkuat asuransi kesehatan dan layanan masyarakat. Ini adalah cara di mana politisi dapat memberi hadiah kepada pemilih tertentu di daerah pemilihan mereka sendiri.
Ilustrasi memilih dari sistem demokrasi. Foto: Pixabay
So, just like grandma says, sistem demokrasi adalah sistem kesejahteraan untuk memenuhi kepentingan rakyat di jangka pendek. Salah satu fenomena yang paling jelas adalah semua pemerintah suka meminjam uang, karena meminjam uang dapat dihabiskan sendiri (apalagi pemimpin yang koruptor). Selain itu, pengembalian utang merupakan masalah presiden atau pemerintahan selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Singkatnya, esensi demokrasi bukanlah pemilu, melainkan jumlah aliansi yang menang. Jadi, cara mendasar untuk mendemokratisasi adalah memperluas jumlah orang dalam aliansi.