Kemampuan Mendongeng

Ricky Suwarno
CEO dan Pendiri Karoomba Asia. Anggota Asosiasi untuk Kecerdasan Buatan China (CAAI)
Konten dari Pengguna
10 April 2019 11:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ricky Suwarno tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kecerdasan buatan. Foto: Gerlat/Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kecerdasan buatan. Foto: Gerlat/Pixabay
ADVERTISEMENT
Big data dan AI alias kecerdasan buatan semakin menarik untuk dijadikan topik pembahasan, terutama di negara maju dan orang di kalangan digital seperti para ilmuwan data dan ilmuwan algoritma yang kelihatannya tidak ada hubungan sama sekali dengan ilmu sosial.
ADVERTISEMENT
Tapi sekarang tren baru telah muncul. Semakin banyak antropolog di Amerika serikat ataupun China memasuki bidang ini. Mereka bekerja dengan para ilmuwan data dan ilmuwan algoritma untuk mempelajari perilaku manusia.
Data besar dan aplikasi kecerdasan buatan menjadi semakin luas. Sehingga data perilaku manusia atau pengguna semakin banyak terpantau dan dikumpulkan. Algoritma data ini digunakan untuk melakukan analisis dan prediksi.
Tetapi data besar dan kecerdasan buatan memiliki satu masalah yang sama, yakni data yang dingin. Tidak hidup dan cuma angka atau kode belaka. Sedangkan, di belakang kecerdasan buatan dan data besar adalah manusia yang hidup, yang punya perasaan dan pemikiran.
Jadi, bila hanya data besar melibatkan ilmuwan data, kadang terasa kurang cukup untuk menjelaskan perilaku manusia. Dengan menggunakan data untuk menafsirkan perilaku nyata, baru dapat menemukan pola, dan menguasai hukum atau prinsip dasar lebih baik.
ADVERTISEMENT
Data besar telah menempelkan para pengguna dengan sejumlah tag data. Manusia tidak akan terkesan dengan tag data ini. Tetapi, orang-orang secara alami akan lebih terkesan oleh sebuah cerita. Sederhananya, era big data membutuhkan kemampuan untuk bercerita atau mendongeng alias story-telling.
Ilustrasi Big Data Foto: Pixabay
Manusia tidak memiliki perasaan terhadap data. Untuk meninggalkan kesan yang dalam buat pengguna, kita perlu menerjemahkan data menjadi karakter, adegan, dan alur cerita yang dapat dipahami pengguna.
Karena setiap orang memiliki pemahamannya sendiri tentang hal yang sama atau tumpukan data yang sama, pengguna memiliki kisah nyata mereka sendiri. Ketika seseorang menerima sebuah cerita, dia bahkan mungkin menolak data nyata dan menutup mata terhadap data dan teori.
Dari hubungan masyarakat, negara, pemerintah, hingga pemasaran perusahaan untuk menjangkau pengguna. Dari tim kepemimpinan untuk mencapai tujuan hingga pembentukan dan promosi hubungan sosial antara orang-orang, kemampuan bercerita sangat diperlukan.
ADVERTISEMENT
Konten yang rasional memerlukan cara sensibilitas untuk disampaikan kepada pengguna. Sensibilitas lebih menyentuh daripada menggunakan logika akal dan data. Karena itu, di era big data, kita dituntut untuk memiliki keterampilan mendongeng.
Contohnya Netflix yang sangat berhasil menggunakan data pengguna. Dalam membuat TV serial drama terlaris House of Cards, ilmuwan data mengumpulkan data pengguna, kemudian mereka memberikan data ke penulis naskah. Penulis naskah mempelajari preferensi pengguna berdasarkan data yang terkumpul, dan kemudian menulis skrip jalan cerita yang diminati pengguna.
Dapat diperkirakan, just like grandma says bahwa produksi film atau televisi yang akan berhasil di masa depan. Bukan lagi stasiun TV dengan saluran siaran tradisional, tetapi perusahaan jaringan yang memiliki data interaksi pengguna, dan menggunakan skrip data untuk bercerita.
ADVERTISEMENT
Untuk mempelajari lebih lanjut tentang perkembangan teknologi terkini, bisa klik di sini.
10 April 2019