Konten dari Pengguna

Selisih Aturan Artificial Intelligence di China dan Amerika

Ricky Suwarno
CEO dan Pendiri Karoomba Asia. Anggota Asosiasi untuk Kecerdasan Buatan China (CAAI)
2 Agustus 2019 13:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ricky Suwarno tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam dua abad terakhir, dunia barat hampir memonopoli semua nilai output global. Tapi dalam Dunia Digital sekarang, negara Superpower Artificial Intelligence, China, bertekad membuat aturannya sendiri.
Belum lama ini, dua negara adidaya, AS dan China, sedang berdiskusi tentang Etika dan Aturan penggunaan artificial intelligence untuk masa depan.
zoom-in-whitePerbesar
Belum lama ini, dua negara adidaya, AS dan China, sedang berdiskusi tentang Etika dan Aturan penggunaan artificial intelligence untuk masa depan.
Dalam banyak hal, algoritma komputer berdasarkan nilai pandang manusia akan menentukan. Misalnya saja pekerjaan yang kita cari, teman cowok maupun cewek untuk kencan yang dicocokkan dengan kita, pinjaman bank yang kita dapatkan, orang yang terbunuh oleh drones maupun mobil tanpa awak dalam peperangan.
ADVERTISEMENT
Bagaimana kita menanamkan nilai-nilai kemanusiaan ke dalam kode algoritma ini, akan menjadi salah satu kekuatan terpenting dalam membentuk kehidupan di abad ini. Tetapi, antar negara masih belum bisa menyepakati nilai apa yang harus ditanamkan. Yang lebih memusingkan kepala adalah, perselisihan pandangan antara Amerika Serikat dan China.
Sehingga, dalam simposium Nuffield Foundation tentang Etika Kecerdasan Buatan di London, menyoroti seberapa besar perbedaan antara nilai-nilai pandang dunia barat dan nilai pandang China.

Prinsip AI Beijing

Sampai detik ini, sekitar 50 set pedoman kecerdasan buatan telah dikeluarkan dan disepakati oleh dunia bisnis, pemerintah, maupun organisasi sipil di seluruh dunia. Beberapa perusahaan teknologi raksasa China seperti Tencent dan Baidu, juga terdaftar di sini. Pada bulan Mei lalu, sebuah lembaga penelitian China juga telah merilis 'Prinsip AI Beijing'.
ADVERTISEMENT
Norma-norma barat cenderung berfokus pada keadilan, transparansi, hak-hak individu, privasi, dan akuntabilitas. Namun, Song Bing, Direktur Berggruen Institute China Center, mengutarakan kekhawatirannya bahwa pedoman ini kurang sesuai dengan perasaan dan pandangan orang Asia.
“Nilai-nilai pandang tersebut sebagian besar hanya menguntungkan orang barat. Ini bukan berarti orang Asia atau China tidak beresonansi dengan dunia barat. Tetapi, aturan-aturan yang diadopsi juga harus benar-benar cocok sebagai kerangka kerja normatif secara global. Bukan hanya menguntungkan satu pihak barat saja.
Song Bing menekankan bahwa peneliti etika kecerdasan buatan atau AI China, lebih memperhatikan nilai-nilai keterbukaan dari Asia. Misalnya daya toleransi, kemampuan beradaptasi, dan cara bergaul antar negara. Tetapi menolak kompetisi zero-sum games yang selama beberapa abad ini sering dipraktikkan oleh dunia barat. Zero-sum game adalah situasi dalam game theory di mana keuntungan seseorang setara dengan kerugian orang lain. Arti singkatnya, hanya menguntungkan satu pihak, yaitu pihak barat.
ADVERTISEMENT
Song Bing merangkum hasil seminar sebagai satu sistem filosofis, yang menciptakan resonansi umum dan harmoni yang dalam. Kepentingan kolektif sama pentingnya dengan hak individu.
Professor Liu Zhe, seorang filsuf dari Universitas Peking, menambahkan ada sistem nilai pandang China tertentu. Nilai pandang China yang memadukan unsur-unsur Konfusianisme, Taoisme, dan pemikiran Buddha. Karena keragaman nilai pandang, sulit untuk membentuk sikap terpadu terhadap kecerdasan buatan di China, apalagi seluruh dunia.
Professor Zeng Yi dari Akademi Ilmu Pengetahuan China meragukan, apakah diperlukan suatu aturan global. Dia menyarankan: “Mereka (aturan-aturan ini) tidak boleh bersaing satu sama lain. Tetapi harus saling melengkapi untuk membentuk pola global kecerdasan buatan.”
Dia bahkan mempertanyakan apakah cocok untuk mempromosikan 'humanisasi kecerdasan buatan'? Karena beberapa peneliti AI China berpendapat, bahwa manusia adalah “makhluk terburuk di dunia.” Bisakah robot-robot AI mematuhi standar etika yang lebih tinggi daripada manusia?
ADVERTISEMENT
Penulis buku terkenal AI Superpowers, Kaifu-Lee, mengatakan China akan menjadi pemimpin dunia. China akan menerapkan kecerdasan buatan atau AI ke banyak bidang. Aplikasi, perangkat, dan robot dengan prinsip-prinsip yang tertanam di China, akan semakin banyak digunakan di seluruh dunia.
Masih banyak perselisihan pandangan antara AS, yang melambangkan suara dunia barat dengan China, yang mewakili suara Dunia Timur tentang aturan dan etika dalam penggunaan AI di masa depan.
China mengadopsi sikap pandangan 'utilitarianisme teknis'. Kaifu-Lee menekankan kepentingan banyak orang. Bukannya, misi moral yang hanya melindungi hak-hak pribadi. Itulah sebabnya, mengapa konsumen China kurang peduli untuk memasang perangkat pengenal wajah di troli super market, yang berfungsi untuk memperoleh pengalaman berbelanja yang khusus dipersonalisasi, ataupun di sekolah untuk memonitor pelajar yang kurang perhatian. Dibandingkan dengan barat, dalam hal pemantauan dan kenyamanan, China telah melakukan keseimbangan.
Di lain pihak, para kritikus mengemukakan kekhawatiran tentang keamanan dan privasi tentang aplikasi kencan gay. Di mana pemilik Grindr adalah perusahaan China. Aplikasi ini memiliki 4,5 juta pengguna setiap hari.
ADVERTISEMENT
Berhubung tradisi budaya yang berbeda, para filsuf dapat menghabiskan waktu seumur hidup membahas prinsip-prinsip kecerdasan buatan universal.
“Haruskah aplikasi medis kita mencakup konsep Konfusius atau Kant?”
Just like grandma says, pada tingkat praktik, kita perlu mencapai beberapa konsensus minimum secara global. Titik awal yang baik adalah membangun kerangka kerja internasional dasar, yang menguraikan cara-cara yang dapat diterima untuk penggunaan kecerdasan buatan atau AI dalam perang cyber dan robotika nantinya.