Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.91.0
Konten dari Pengguna
Kasus Asabri Bukan Tindak Pidana Korupsi
21 Februari 2021 19:33 WIB
Tulisan dari Ricky Vinando tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setelah kasus Jiwasraya, kini mulai bergulir kasus dugaan korupsi Asabri yang disebut-sebut telah merugikan keuangan negara lebih dari Rp. 23 triliun. Penetapan tersangka terhadap beberapa orang pun telah dilakukan oleh Kejaksaan Agung RI. Salah satu yang ditetapkan tersangka adalah Benny Tjokrosaputro yang sebelumnya juga terseret dalam kasus Jiwasraya.
ADVERTISEMENT
Namun untuk kasus Asabri, jawaban saya sama dengan pandangan hukum saya dalam kasus Jiwasraya, yaitu kasus Asabri bukan bukan kasus tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara sebagaimana Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Tidak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Perubahan UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kalau dikatakan bahwa, "Oh, kenapa seluruh terdakwa kasus Jiwasraya termasuk Benny Tjokro divonis seumur hidup kalau memang Jiwasraya bukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara?" Ya tidak apa-apa, toh jalan masih panjang. Masih ada proses di tingkat banding, bahkan nanti masih dapat diuji ditingkat kasasi bahkan PK yang bisa diajukan lebih dari satu kali.
ADVERTISEMENT
Apa yang menjadi alasan hukum saya mengatakan kasus Asabri bukan tindak pidana korupsi Pasal 2 ayat 1 ataupun Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?
Pertama, Kementerian BUMN memiliki kebijakan yang tidak mewajibkan Asabri perusahaan asuransi anggota TNI, POLRI dan PNS Kementerian Pertahanan untuk menyetorkan dividen sebagai penerimaan negara dalam bentuk PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). Kebijakan ini telah berlangsung sejak 2018. Sehingga dengan tidak adanya kewajiban menyetorkan dividen, maka apabila Asabri rugi karena transaksi saham dan reksa dana saham, maka itu menjadi kerugian bisnis Asabri sebagai PT bukan kerugian negara kecuali kalau tak ada kebijakan tersebut. Masa sih beli saham mau untung terus giliran untung diam. Itu kerugian Asabri bukan kerugian negara.
ADVERTISEMENT
Jadi, dengan tidak adanya kewajiban setor dividen sebagai capital gain bagi negara karena Asabri perusahaan BUMN, maka kerugian Asabri tidak dapat masuk ke dalam Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Tidak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Perubahan UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dapat masuk, kecuali itu dipaksakan.
Kedua, jika Kejaksaan Agung berdalih negara rugi, karena sebelum-sebelumnya ada PMN (Penyertaan Modal Negara) masuk ke PT Asabri (Persero) alias ada uang negara yang masuk ke Asabri, yang padahal PMN berasal dari APBN, sehingga kalau PT Asabri yang menerima gelontoran PMN mengalami kerugian, maka negara pun ikut menjadi rugi, maka itu adalah SANGAT KELIRU.
ADVERTISEMENT
Karena PMN yang masuk atau mengalir ke PT-PT BUMN tanpa terkecuali, telah dipisahkan dari APBN dan dikelola secara korporasi, yang artinya bahwa dana PMN yang masuk ke dalam PT-PT BUMN bukan lagi sebagai bagian dari keuangan negara ataupun bagian dari APBN, karena telah dipisahkan dari APBN sehingga tak berlaku lagi prinsip pengelolaan APBN pada Asabri jikalau Asabri dapat PMN.
Sehingga apabila ada PT-PT BUMN menerima kucuran PMN dari pemerintah, termasuk Asabri maka PMN itu secara hukum menjadi milik Asabri, PT-PT BUMN dan tidak dikelola sesuai prinsip APBN namun dikelola secara korporasi artinya dikelola dengan prinsip tata kelola perusahaan yang baik.
Jadi, dua celah hukum di atas harus digunakan semaksimal mungkin oleh seluruh tersangka Asabri, terutama Benny Tjokro, karena penetapan tersangka yang dilakukan Kejaksaan Agung ini adalah sangat berlebihan karena seolah-olah ada kerugian negara hingga lebih dari Rp. 23 triliun, padahal sekalipun ada PMN atau tidak ada PMN, penerimaan negara hanya dari dividen, nah sedangkan itu oleh Kementerian BUMN tak diwajibkan termasuk Asabri dan Taspen.
ADVERTISEMENT
Sementara walaupun ada PMN, dengan masuknya PMN ke Asabri itu milik Asabri sebagai PT BUMN bukan lagi milik negara PMN itu. Hal itu dapat dibuktikan berdasarkan Pasal 1 ayat 7 Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas yang berbunyi sebagai berikut:
‘’Penyertaan Modal Negara adalah pemisahan kekayaan Negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau penetapan cadangan perusahaan atau sumber lain untuk dijadikan sebagai modal BUMN dan/atau Perseroan Terbatas lainnya, dan dikelola secara korporasi’’.
Fokus ke dijadikan sebagai modal BUMN, lah kalau tak ada kewajiban Asabri setor dividen kenapa negara rugi? Kan keuntungan dari modal pada BUMN adalah dividen sedangkan itu tak diwajibkan Kementerian BUMN. Bahkan kalau awalnya ada PMN, itu dikelola secara korporasi bukan secara prinsip-prinsip pengelolaan APBN.
ADVERTISEMENT
Sehingga dengan demikian, maka kasus Asabri tidak dapat dikategorikan masuk ke dalam Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 No. 31 Tahun 1999 Tentang Tidak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Perubahan UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Karena pada dasarnya Asabri walau PT BUMN tetaplah sama seperti PT-PT lainnya PT Tbk, yaitu sama-sama memiliki kekayaan yang terpisah, dalam konteks PT BUMN, negara hanya punya kekayaan saham dan keuntungannya dividen. Kekayaan negara yang dipisahkan itu telah ditegaskan dalam UU Tentang BUMN.
Karena sangat tidak logis apabila PT BUMN tidak memiliki kekayaan walau 1 rupiah pun. Contoh PT Pertamina (Persero) setiap hari dapat berapa dari hasil jualan BBM? Pasti besar sekali, apakah itu kekayaan negara? Tentu bukan, tapi itu kekayaan PT Pertamina (Persero) sebagai PT BUMN. Artinya hasil jualan BBM masuk ke dalam rekening Pertamina Pusat dan nanti jatah negara hanya dividen, nah masalahnya Kementerian BUMN memiliki kebijakan tak memungut atau tak mewajibkan Asabri termasuk Taspen menyetorkan dividen.
ADVERTISEMENT
Kalau sudah demikian, maka makin jelas, kasus Asabri tak ada kerugian keuangan negara walau 1 rupiah pun. Pun termasuk untuk PT Asabri (Persero) terbuka sajalah, kan ada beberapa mantan bos Asabri yang jadi tersangka, buka semua kebijakan Kementerian BUMN terhadap Asabri terutama soal tak ada kewajiban setor dividen yang dialihkan untuk restorasi atau lingkungan hidup atau untuk lainnya itu. Jangan tertutup Asabri!
Ketiga, ada nebis in idem pada Benny Tjokro dalam kasus Asabri, karena subjeknya (Benny Tjokrosaputro), objeknya (soal saham dan reksa dana saham), kronologinya (salah satunya mengendalikan Asabri tanpa izin), alasan hukumnya juga sama (merugikan keuangan negara), tempus dan delictinya (waktu dan tempat kejadiannya), itu semua sama dengan kasus sebelumnya (Kasus Jiwasraya) yang telah diadili sebelumnya, walaupun untuk mengatakan ini masih harus menunggu putusan kasasi Mahkamah Agung (putusan berkekuatan hukum tetap). Asas nebis in idem artinya seseorang tak bisa dituntut dua kali atas perbuatan yang sama yang telah mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap. Jadi, saran saya kalau nanti putusan banding kasus Jiwasraya masih belum dapat keadilan, kejar terus sampai PK.
ADVERTISEMENT