Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
RUU Lembaga Kepresidenan Acuan Kewenangan Eksekutif
20 Desember 2024 23:03 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Rico Novianto Hafidz tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Polemik Presiden Prabowo Subianto yang menyatakan sikap mendukung salah satu pasangan calon Gubernur Jawa Tengah dan memohon rakyat Jawa Tengah untuk memberikan suaranya kepada pasangan calon Ahmad Luthfi dan Taj Yasin telah diputuskan oleh Bawaslu. Bawaslu sendiri menyatakan bahwa video Prabowo tersebut tidak melanggar peraturan perundang – undangan dengan merujuk pasal 70 ayat 2 UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada, Putusan MK Nomor 52/2024, dan PP Nomor 32 Tahun 2018 yang membolehkan Presiden berpartisipasi dalam kampanye pemilihan umum dan kepala daerah. Landasan ini yang dijadikan acuan bagi Bawaslu memperbolehkan langkah Presiden karena dilakukan di hari minggu.
ADVERTISEMENT
Meskipun begitu, tindakan tersebut dianggap oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) terdapat penyalanggunaan sumber daya negara. Selain itu, ketiadaan UU tersendiri atas kewenangan Presiden yang lebih jelas pada level Undang – Undang menyebabkan kurangnya acuan bagi kewenangan Presiden baik pada pemilu maupun sektor eksekutif lain yang menjadi dasar tindakan presiden.
Pengaturan dan Kewenangan Lembaga Kepresidenan
Presiden hingga hari ini tidak memiliki UU Kepresidenan yang secara khusus mengatur mengenai kekuasaan eksekutif sebagaimana legislatif yang mengatur MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau “UU MD3” dan kekuasaan yudisial diatur pada UU Kekuasaan Kehakiman, UU Mahkamah Agung, UU Mahkamah Konstitusi. Padahal, rancangan UU Lembaga Kepresidenan telah dibahas sejak tahun 1999 dan belum menemukan titik terang bahkan sekadar untuk masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
ADVERTISEMENT
Sementara itu, pengaturan dan kewenangan Presiden mengacu pada UUD 1945 dan UU maupun peraturan perundangan – undangan yang tersebar dengan memberikan kewenangan tertentu pada Presiden. Konstitusi sendiri setidaknya memberikan lima belas kewenangan baik sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Salah satunya adalah pasal 7 UUD 1945 yang menyebutkan Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun. Pada pasal ini, tidak diberikan perbedaan antara hari libur dan hari kerja.
Rezim pemilu memberikan pengaturan dan kewenangan mengenai presiden, terlebih dalam pemilu, presiden merupakan peserta pemilu jika maju kembali pada periode kedua. Beberapa hal yang diatur dalam UU Pilkada terkait presiden adalah memberikan cuti kepada kepala daerah, pelantikan kepala daerah, dan kampanye dengan tidak memakai fasilitas negara dengan didahului cuti karena digolongkan sebagai pejabat negara lainnya pada pasal 70 UU Pilkada menurut Bawaslu. Lebih lanjut, PP 53 Tahun 2023 tentang pengunduran diri, permintaan izin, dan cuti jika kembali maju sebagai calon presiden dan berpartisipasi dalam pelaksanaan kampanye pemilihan umum untuk presiden dan wakil presiden.
ADVERTISEMENT
Cuti Presiden dan Vacuum of Power
Sesuai konstitusi dan konvensi ketatanegaraan, presiden memiliki jabatan selama lima tahun. Masa jabatan Presiden Prabowo Subianto dimulai 20 Oktober 2024 - 20 Oktober 2029. Dalam hal ini, konstitusi maupun peraturan perundang - undangan tidak mengenal adanya pengaturan mengenai masa libur atau cuti sebagai presiden. Terlebih lagi, pada sistem presidensial, presiden memiliki kewenangan yang sangat besar sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. Jimly Asshidiqie menegaskan, Presiden suatu negara tidak boleh berada dalam kondisi vacuum off power, sebagaimana terbunuhnya Presiden John F. Kennedy, maka segera dilantik Lyndon B. Johnson sebagai Presiden Amerika Serikat ke-36 berlangsung pada hari Jumat, 22 November 1963, di dalam pesawat Air Force One di Love Field, Dallas.
ADVERTISEMENT
Sejarah kepemimpinan Indonesia juga menggambarkan hal yang sama. Saat itu Belanda melakukan agresi militer kedua dengan menduduki Ibukota Yogyakarta dan menangkap para pemimpin RI, termasuk Soekarno-Hatta dan separuh anggota kabinet. Sjafruddin Prawiranegara kemudian menjadi tokoh penting yang dengan berjasa besar saat memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari Bukittinggi, 19 Desember 1948- 13 Juli 1949.
Selain itu, Indonesia juga pernah memiliki tiga kali presiden tanpa wakil presiden. Pertama adalah masa Soekarno 1953 – 1967, kedua adalah Soeharto 1967 – 1973, dan ketiga adalah BJ Habibie 1998 – 1999. Ketiga masa tersebut terjadi karena adanya transisi atau pergolakan kekuasaan yang terjadi di dalam negeri sehingga membuat kekosongan wakil presiden dalam tempo kekuasaan ketiga masa presiden tersebut. Hal ini menggambarkan bahwa jabatan presiden perlu tetap ada untuk memastikan kekuasaan eksekutif negara tetap berjalan.
ADVERTISEMENT
Dengan kewenangan yang begitu besar pada konsitusi, sulit dibayangkan jika Presiden mengambil cuti atau dilepaskan jabatannya sebagai presiden karena hari minggu. Keputusan besar sebagai pemegang tertinggi kekuasaan militer, menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, menyatakan keadaan bahaya, menetapkan perppu dan kewenangan lain yang juga beririsan pada kekuasaan legislatif dan yudisial tidak dapat dijalankan karena presiden sedang cuti.
Kewenangan yang sangat besar tersebut hendaknya dimaknai dengan presiden sama sekali tidak boleh mengambil cuti atau membedakan hari kerja dan hari libur. Sebab, jika ada bahaya dari faktor eksternal baik manusia atau alam, negara tidak dapat segera mengambil tindakan untuk rakyat karena presiden sedang berkampanye. Tsunami Aceh menjadi saksi bagaimana seharusnya presiden dapat segera mengambil tindakan dan bergegas untuk menyelesaikan permasalahan bangsa tanpa terhalang cuti kampanye dan hari minggu.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, seharusnya pasal 71 UU Pilkada menjadi acuan bagi presiden yang dikategorikan pejabat negara. Pasal 71 UU Pilkada memiliki kewajiban untuk ASN, TNI/Polri, kepala desa, dan pejabat negara untuk netral dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon. Acuan bagi presiden sebagai pejabat negara pada pasal tersebut merujuk UU ASN yang menyebutkan Presiden adalah pejabat negara pasal 58 huruf a UU ASN.
Sementara, pasal 70 UU Pilkada disebutkan dengan frasa “pejabat negara lainnya” dan bukan pejabat negara. Pejabat negara lainnya tersebut merujuk pada pasal 58 huruf n UU ASN dan tidak dapat dikaitkan dengan presiden dan wakil presiden. Maka dari itu, ketentuan pada pasal 70 UU Pilkada tidak ada kaitan sama sekali yang membolehkan Presiden berhak untuk mengajukan cuti atau berkampanye.
ADVERTISEMENT
Presiden yang berkampanye tentu bertujuan untuk menggalang suara sebanyak – banyaknya untuk calon yang didukungnya. Pengaruh itu tidak akan dapat dilepaskan kepada kekuasaan eksekutif yang akan terbawa seperti ASN, TNI/Polri, dan kepala desa yang secara langsung dan tidak langsung memiliki ikatan baik secara struktur dan anggaran karena bagian dari kekuasaan eksekutif.
Pelajaran yang diambil pada era orde baru yang kemudian saat reformasi yang “mencabut” hak politik bagi ASN, TNI/Polri dan kepala desa, tentu tidak terlepas dari kewenangan besar yang dimiliki aparatur negara tersebut yang dapat membuat pemilu dan pilkada tidak berjalan “luber jurdil”. Maka dari itu, sebagai sebuah negara presidensial, tentunya akan sangat mahal jika mengorbankan kewenangan eksekutif presiden dengan menukar hak politik pribadi yang menjabat sebagai seorang presiden.
ADVERTISEMENT
Urgensi RUU Lembaga Kepresidenan
Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dalam negara Indonesia yang menganut sistem presidensial, hingga hari ini tidak memiliki suatu UU khusus yang mengatur lembaga kepresidenan. Meskipun telah banyak diatur pada konstitusi dan UU terkait, hal ini tetap saja tidak memberikan batasan kewenangan yang memadai bagi presiden baik sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Perlu diketahui, RUU Lembaga Kepresidenan masuk ke Badan Legislatif DPR sejak 28 Juni 2001. Hal yang diatur adalah tugas pokok dan fungsi presiden. Namun, hingga hari ini UU tersebut belum disahkan. Padahal, dengan kewenangan yang besar dalam UUD, perlu ada pengaturan lebih lanjut semisal batasan pada materi perppu, kriteria keadaan bahaya, dan kriteria pemberian grasi dan amnensi yang dapat menjadi acuan bagi presiden dalam menjalankan kekuasaan eksekutif.
ADVERTISEMENT
Pengalaman transisi kekuasaan presiden atau lame duck session, menurut Fitra Arsil juga perlu dibatasi minimal dengan UU. Hal ini tidak terlepas dari aktivitas legislasi presiden yang mendadak tinggi dan pengalaman terakhir saat Presiden Joko Widodo melakukan cawe – cawe dan mendukung salah satu calon presiden dengan notabene wakil presiden adalah anak kandung dari presiden itu sendiri. Presiden yang tidak mengedepankan etika tentu akan beranggapan bahwa ketiadaan hukum yang mengatur tersebut artinya tindakan yang dibuat selama masa lame duck tersebut tetap sah.
Maka dari itu, DPR dan Presiden hendaknya segera menyelesaikan RUU Lembaga Kepresidenan untuk membatas kekuasaan eksekutif tersebut. Pelajaran dari masa Orde Baru yang mengedepankan kebijakan berdasarkan kekuasaan ketimbang aturan hukum sebagai dasar tindakan pemerintah, tentu harus dihindari. Terlebih lagi, amandemen UUD merupakan hal yang sulit untuk dijalankan dalam waktu singkat dan UU Lembaga Kepresidenan merupakan salah satu jalan untuk membatas kekuasaan eksekutif dan manuver politik presiden untuk memastikan demokrasi dan pemilihan umum dapat berlangsung langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil di Indonesia.
ADVERTISEMENT