Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Patung "Erotis" di Lombok, Antara Pariwisata atau Kearifan Lokal
8 September 2017 19:00 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
Tulisan dari Angger Rico Winanda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

(Patung karya Jason deCaires Taylor yang jadi perdebatan warga Lombok. FOTO : kicknews.today)
ADVERTISEMENT
Beberapa bulan belakangan foto-foto patung sempat menjadi perdebatan warganet. Patung berupa manusia yang ada di dasar perairan Gili Meno, Kabupaten Lombok Utara, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) ini tak membutuhkan waktu lama untuk menjadi viral di media sosial.
Banyak kalangan netizen yang mendukung keberadaan objek tersebut, tetapi tak sedikit pula yang enggan menerima kehadirannya lantaran gestur patung dianggap erotis. Seolah-olah patung akan menjadi sebuah icon pariwisata dan justru melunturkan nilai-nilai kearifan lokal yang kental khas budaya timur di daerah itu.
Ironinya, perkembangan pariwisata di sana atau NTB pada umumnya justru tengah menanjak. Sukses menyabet penghargaan sebagai destinasi halal internasional membuat pariwisata daerah yang mayoritasnya di huni umat muslim ini semakin mendunia. Dengan demikian, seharusnya patung tersebut mampu dijadikan barang jualan guna menarik wisatawan mancanegara tambah berdatangan.
ADVERTISEMENT
Ditengah pariwisata yang menggeliat, agaknya cukup relevan jika warga mesti mengesampingkan kearifan lokal untuk memanjakan wisatawan yang tentu, hal ini berimplikasi terhadap faktor ekonomi mereka sendiri. Sayangnya sebagian warga, bahkan pemerintah setempat pun enggan menempuh asumsi ini.
Bupati Lombok Utara, H. Najmul Akhyar sempat menegaskan bahwa kawasan Gili Meno yang termasuk dalam perairan konservasi Gili Matra (Trawangan, Meno, dan Air) tidak membutuhkan icon-icon yang tak sesuai dengan karakteristik warganya. Meski ia pun secara pribadi mendukung perkembangan pariwisata, tetapi bukan lantas menanggalkan adat budaya dari leluluh.
Menurutnya selama ini kawasan pariwisata yang menyumbang hampir 60 persen kunjungan wisatawan ke NTB itu sudah cukup bagus meskipun hanya mengandalkan keindahan alam saja. Oleh karena itu, belakangan pihaknya meminta supaya jajarannya menindaklanjuti dan mengangkat patung tersebut.
ADVERTISEMENT
Warga Dusun Gili Meno sendiri, yang notabene mendukung keberadaan patung belum lama ini menyatakan bakal menghadang upaya pemerintah. Mereka tak habis pikir, patung yang tadinya diharapkan bakal menjadi sumber bermuaranya para wisatawan, kini terancam hilang. Aksi penolakan juga sempat diutarakan oleh para pemuda yang tergabung dalam Satuan Tugas (Satgas) remaja Gili Meno.
Bahkan mereka lebih brutal, puluhan pemuda itu disebut-sebut akan memboikot seluruh kapal atau fast boat yang membawa penumpang dari Gili Trawangan menuju pulau tetangganya ini. Bukan tanpa sebab, mereka kedung kecewa atas sikap pemerintah. Padahal sebelum mencuat menjadi masalah, banyak wisatawan yang snorkeling, diving hanya sekadar ingin melihat patung tersebut.
Sejatinya puluhan patung yang diperkirakan berjumlah sekitar 48 unit ini adalah milik salahsatu investor hotel yang akan merintis usaha di pulau dengan populasi sekitar 15.000 ribu jiwa. Dibuat oleh seniman patung Jason deCaires Taylor, kesan megah dan elegan langsung tersemat manakala melihat rupanya. Namun, atas penolakan sejumlah warga yang di amini oleh pemerintah, maka pihak manajemen pun melunak.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, pertemuan antara pemerintah dan manajemen Hotel yang diketahui bernama BASK berlangsung juga. Camat Pemenang (perwakilan pemda KLU) Faisol S,sos yang memimpin jalannya mediasi kala itu menyimpulkan beberapa kesepakatan. Mau tak mau, patung manusia itu harus diangkat ke darat dan diubah bentuknya sehingga kesan pornografi yang disematkan hilang. Pemerintah juga menyarankan supaya membuat patung yang bertema adat Lombok.
Manajemen hotel mengakui kesalahannya, mereka bahkan tak kepikiran niat baik untuk menciptakan sebuah icon baru di kawasan pariwisata pun berujung nestapa. Namun, kali ini, lagi-lagi "warganet" yang terus memantau perkembangan melalui media sosial masih terus menyisakan perdebatan. Seakan tak puas, dan tak pernah lelah, mereka terus mendesak berbagai pihak hanya untuk melihat apa yang ingin mereka lihat di akhir polemik patung itu.
ADVERTISEMENT