Konten dari Pengguna

Joint Statement Antara Indonesia dan Cina yang Menuai Kontroversi

Ridha Aulia Zarifah
Mahasiswa Fakultas Hukum - Universitas Jambi
18 November 2024 10:23 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ridha Aulia Zarifah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
cr: Biro Pers Sekretariat Negara Republik Indonesia
zoom-in-whitePerbesar
cr: Biro Pers Sekretariat Negara Republik Indonesia
ADVERTISEMENT
Presiden terpilih Republik Indonesia, yaitu Prabowo Subianto, mengunjungi Cina pada masa awal jabatannya sebagai Presiden. Kunjungannya ke Cina tersebut tak hanya menghasilkan keuntungan bagi kedua negara tetapi juga membuahkan Joint Statement atau Pernyataan Bersama yang mencakup sejumlah pernyataan kerja sama dalam berbagai bidang dengan tujuan memelihara persahabatan dan juga mengembangkan ekonomi kedua negara. Salah satunya adalah terkait Joint Statement atau Pernyataan Bersama Indonesia Cina soal klaim 9 garis putus-putus atau "9-Dash-Line" oleh Cina yang bertumpang tindih dengan klaim Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Natuna Utara.
ADVERTISEMENT
Pada 9 November 2024, pemerintah Indonesia Cina mengeluarkan Joint Statement terkait kemitraan strategis kedua negara. Dalam pernyataan tersebut terdapat 14 poin kerja sama, salah satunya adalah poin kerja sama yang menimbulkan perbincangan soal posisi Indonesia terhadap isu Laut Cina Selatan. Dalam poin sembilan, kesepakatan maritim antara Indonesia dan Cina menuai kontroversi khususnya perumpamaan overlapping claim yang diasumsi adalah kawasan tumpang tindih antara "9-Dash-Line" dan ZEE Indonesia. Poin ke-9 tersebut berjudul:
"The two sides will jointly create more bright spots in maritime cooperation". Disebutkan bahwa "The two sides reached important common understanding on joint development in areas of overlapping claims".
Pernyataan ini pun menuai kontroversi, sebab pada masa pemerintahan Presiden Jokowi, Indonesia memiliki kebijakan tidak mengakui klaim 9 garis putus-putus dari Cina. Hal ini karena klaim 9 garis putus-putus tidak dikenal dalam Hukum Laut Internasional atau UNCLOS, di mana Indonesia dan Cina merupakan negara peserta. Pemerintah Cina telah lama mengklaim bahwa "9-Dash-Line" atau 9 garis putus-putus yang berada di tengah laut dan tidak berkoordinat berdasarkan alasan historis. Namun, hal tersebut tidak memiliki dasar dan tidak disetujui dalam Konvensi PBB tentang hukum laut.
ADVERTISEMENT
"Nine-Dash-Line" tersebut melewati beberapa negara ASEAN termasuk Vietnam, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Filiphina, di mana garis putus-putus tersebut overlapping atau tumpang tindih dengan ZEE masing-masing negara. Diksi overlapping tersebut antara Indonesia dan Cina dapat ditafsirkan bahwa Indonesia mengakui adanya wilayah tumpang tindih yang secara yuridis dianggap sebagai pengakuan klaim Cina atas Laut Cina Selatan khususnya Laut Natuna Utara.
Dalam keterangan tertulisnya, Senin 11 November Kementerian Luar Negeri Indonesia (Sugiono) menegaskan bahwa "Pernyataan bersama Indonesia Cina yang disepakati dalam kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Beijing bukan pengakuan atas klaim sepihak Cina di Laut Cina Selatan". Kemlu juga mengatakan bahwa "Kerja sama tersebut bertujuan memajukan berbagai aspek kerja sama ekonomi khususnya di bidang perikanan dan konservasi perikanan di kawasan dengan tetap menghargai prinsip-prinsip saling menghormati dan kesetaraan" (dilansir dari www.kemlu.go.id). Namun pernyataan Kemlu tersebut belum cukup jelas khususnya untuk negara-negara ASEAN terkhusus yang berkonflik dengan Laut Cina Selatan.
ADVERTISEMENT
Kerja sama bilateral antar negara tentu haruslah menganut asas saling menguntungkan bagi kedua belah pihak, jika ada poin-poin kerja sama yang dianggap merugikan salah satu pihak, tentu harus menjadi perhatian bersama agar bisa diperbaiki, termasuk Pernyataan Bersama Indonesia Cina yang dalam hal ini merugikan Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah harus mengambil sikap untuk meluruskan persoalan yang sebenarnya terjadi.