Konten dari Pengguna

Menakar Posibilitas SBY seperti Ahmadinejad

19 April 2017 2:09 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari ridho rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Konferensi pers SBY. (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Konferensi pers SBY. (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
Bagi negeri kita, membicarakan pilpres 2019 merupakan wacana nonetis yang masih jauh panggang dari api. Jika sejumlah elit politik nasional membahas pemerintahan Jokowi periode dua, sesungguhnya secara tak langsung mereka telah mengecewakan rakyat yang lebih butuh perbaikan kesejahteraan ketimbang urusan-urusan pemilu yang masih lama.
ADVERTISEMENT
Memori dan polarisasi Pilpres 2014 masih membekas di benak publik. Tak benar jika negeri ini dipenuhi oleh wacana satu pemilu ke pemilu berikutnya. Tetapi bagi Iran, pembahasan pilpres sangat relevan saat ini. Iran segera menggelar Pilpres pada 19 Mei 2017.
Membicarakan Pilpres Iran adalah sosok Mahmoud Ahmadinejad yang mencuri perhatian publik lantaran dirinya kembali maju sebagai kandidat Presiden Iran 2017-2021. Sosok presiden dua periode ini (2005-2013) dikenal sebagai simbol kekuatan nasionalisme Iran di tengah arus utama dunia dan embargo Barat.
Tepatnya, Rabu (12/4), hari kedua masa pendaftaran kandidat, ia mendaftarkan diri ke komisi pemilihan umum. Sebenarnya, tak banyak yang bisa dikulik di balik motif dirinya maju pilpres selain ketidakpuasannya pada sikap moderat Iran kepada Barat dan stagnansi ekonomi nasional di bawah pimpinan Presiden Hassan Rouhani.
ADVERTISEMENT
Mantan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Mantan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad (Foto: Reuters)
Membicarakan Ahmadinejad dan mengkontekstualisasikannya di tanah air merupakan diskursus menarik bagi publik yang telaten mengikuti perpolitikan nasional. Sebagaimana judul tulisan ini, penulis mencoba menarik relevansi (similiaritas dan diferensiasi) antara sosok Ahmadinejad dengan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam konteks persaingan pemilihan presiden.
Sebagaimana diketahui, SBY dan Ahmadinejad merupakan presiden keenam dengan dua masa jabatan beruntun di negaranya masing-masing. Pascalengser presiden, eksistensi keduanya tetap penting dalam politik nasional: SBY sebagai Ketum Partai Demokrat, Ahmadinejad sebagai kepala kampanye pemilu Partai Abadgaran (The Alliance of Builders).
Jika mengacu sekitar setengah dekade lalu, analisis komparatif SBY-Ahmadinejad sebenarnya sudah banyak. Sebagian besar memang pretentif tentang gaya hidup SBY yang jomplang dibanding altruisme Ahmadinejad. Sebagai tokoh neoconservatism, Ahmadinejad memang loyal pada nilai-nilai perjuangan Revolusi Iran 1979 dengan sikap-pernyataan yang kontroversial. SBY-Ahmadinejad dikontraskan sebagai pemimpin hati-hati (lamban) vs berani. Selepas itu, komparasi tersebut bak angin lalu karena sifatnya yang cenderung politis-delegitimatif dan tak urgensif.
ADVERTISEMENT
Justru, menilik capaian ekonomi, warisan SBY lebih signifikan ketimbang Ahmadinejad. GDP Indonesia tahun 2014 sebesar 890 USD billion (hampir empat lipat dibanding awal menjabat); Iran tahun 2013 sebesar 511 USD billion (dua kali lipat) (tradingeconomics.com). Begitu pula dari sisi penerimaan negara, Indonesia purna-SBY lebih baik dibandingkan saat turunnya Ahmadinejad. Artinya kemajuan substantif lebih prestatif SBY tenimbang sikap menentang Barat ala Ahmadinejad.
Secara umum, tujuan dan orientasi nasional membentuk karakteristik para pemimpin negara. Negara muslim homogen seperti Iran cenderung membentuk pemikiran nonprogresif (konservatif) sebagaimana sosok Ahmadinejad. Sedangkan, Indonesia sebagai negara demokratis-pluralis terbesar ketiga dunia melahirkan pemimpin-pemimpin moderat seperti SBY. Jiwa kepemimpinan SBY ditempa sebagai militer karier.
Sedangkan, Ahmadinejad besar sebagai insinyur dan birokrat. Waktu bergulir, kepemimpinan dan kekuasaan pun berganti. Kedua tokoh ini lengser keprabon tanpa mandeg pandhita (hidup mengasingkan diri: pendeta) lantaran aktivitasnya yang tetap berkutat di urusan politik.
ADVERTISEMENT
Kesamaan soal kelengseran mereka adalah tentang suksesor yang diferentiatif. Jokowi Widodo di Indonesia dan Hassan Rouhani di Iran menjadi antitesis dan membawa paradigma kepemimpinan yang berbeda pula. Joko Widodo dikenal sebagai birokrat cekatan dan sederhana; Rouhani merupakan tokoh moderat yang kaya pengalaman profesional.
Lebih dari itu, partai-partai pengusung SBY-Ahmadinejad pun kalah pamor hingga pengganti presiden bukan hanya orang lain, tetapi juga dari partai lain. Namun, keduanya tidaklah lengser karena kalah. Mereka mundur karena batasan periode presiden.
Menakar Peluang Sekecil Mungkin
Berbeda Indonesia dan Iran, cara mendaftarkan diri sebagai kandidat capres Iran tak sesulit di Indonesia yang harus mencari basis 20% kekuatan parlemen atau 25% hasil pemilu lalu (Pilpres 2004-2014). Karena begitu longgarnya kebijakan tahun ini, tercatat 1.636 orang mendaftarkan diri dengan rentang usia 6 sampai 89 tahun.
ADVERTISEMENT
Lepas dari ketaklaziman itu, majunya Ahmadinejad punya efek drama sendiri karena ia sebelumnya disebut hanya menemeni Hamid Baghaei dalam proses administrasi pencapresan. Apalagi sebelumnya, Ahmadinejad pernah diminta Supreme Leader Ayatollah Ali Khamenei untuk tidak maju.
Bicara tentang politik dan model pemerintahan Iran agaknya sulit dipahami bagi publik Indonesia. Singkat kata, majunya Ahmadinejad diyakini sebagai strategi untuk menyulitkan Guardian Council apakah meloloskan Ahmadinejad atau Baghaei sebagai capres pada 26 April mendatang. Di luar itu, Ahmadinejad diyakini punya basis massa loyal (khususnya di kalangan bawah) yang diyakini bakal membuat partai-partai konsevatif berpikir panjang untuk mendukung siapapun.
Selain basis dukungan struktural Partai Demokrat, SBY dianggap punya modal politik yang kuat seperti halnya Ahmadinejad. Dibanding modal kapital (uang), keduanya lebih mempunyai modal sosial yang kuat hasil dari akumulasi kredibilitas, popularitas, dan jaringan di masyarakat. Ketiga poin tentang modal sosial ini menjadi kekuatan legitimasi politik.
ADVERTISEMENT
Legitimasi politik menurut Firmanzah (2010) terbagi dalam jenis simbolik dan prosedural yang harus dikelola secara baik dengan menggunakan metode marketing politik. Hanya politisi yang dapat membangun kerpecayaan dan simpati publik melalui serangkaian produk politik yang akan mendapat suara elektabilitas signifikan. SBY oleh berbagai pengamat disebut tokoh yang pandai merawat citra diri (personal branding) sebagai wujud dari strategi simbolik.
SBY dan Demokrat adalah kekuatan oposan berpengaruh yang sejak awal melabeli diri sebagai partai penyeimbang karena tak ikut kontestasi pilpres 2014. Demokrat menyatakan akan mendukung kebijakan pemerintah yang pro rakyat, sekaligus mengkritik kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Bahkan, secara tegas SBY menginstruksikan kepala-kepala daerah yang berasal dari Demokrat untuk mendukung Pemerintahan Jokowi-JK.
ADVERTISEMENT
Istilah “Posisi Penyeimbang” yang dicetuskan Partai Demokrat dalam ilmu politik sebenarnya merupakan satu varian dari model-model oposisi politik (disloyal opposition; Robert Dahl). Sebuah sikap oposisi politik yang memberi ruang kuasa bagi pemerintah, sekaligus melakukan pengawalan kebijakan dengan ketat (lewat activity, actor, and site of action; Nathalie Brack). Namun, lumrahnya oposisi, Demokrat pun berniat duduk sebagai partai penguasa kelak, lewat mekanisme pemilihan umum.
ADVERTISEMENT
Sebagai mantan presiden paling baru, kerinduan publik pada kepemimpinan SBY-Ahmadinejad tentunya lebih kuat dibandingkan kerinduan pada era Soeharto- Ali Khamenei yang hanya dialami oleh generasi tua. Seiring menurunnya performa presiden pengganti, posibilitas mereka yang berasal dari suara-suara nostalgic, muncul ke permukaan. Menariknya, tren survei hingga sekarang, elektabilitas SBY menguntit di belakang nama Jokowi dan Prabowo untuk pilpres 2019.
Ditelisik mendalam, peluang pengusungan Ahmadinejad diyakini tak lagi sedigdaya satu dekade lalu. Pasalnya bermunculan tokoh-tokoh konservatif lain, termasuk Ebrahim Raisi, kandidat persaing utama presiden petahana. Ini yang juga dirasa serupa dengan SBY. Ketokohan dan elektabilitasnya belumlah pudar. Namun, dinamika jelang pemilihan masing membentang luas. Gelaran pilkada-pilkada yang berlangsung sebelum pilpres 2019 menjadi wadah reproduksi kontestan-kontestan calon RI1 baru.
ADVERTISEMENT
Menilik relevansi SBY dengan Ahmadinejad secara proporsional merupakan bagian dari studi perbandingan politik sebagai upaya sistematis dalam memproyeksi masa depan berdasarkan struktur yang unik. Dengan memasukkan variabel-variabel secara ketat tujuan prediktif dapat diterima secara objektif.
Jika Ahmadinejad berani mengambil peluang pencapresan, tentu SBY lebih potensial lagi. Walhasil, bukan tak mengindahkan temuan-temuan yang ada. Namun, kembali pada premis awal, tak etis bicara pilpres 2019 hari ini.