Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Jokowi, Prabowo, dan Godot
29 Oktober 2019 15:05 WIB
Di bawah pohon tandus yang beratapkan langit terik itu, Vladimir dan Estragon masih resah menunggu kedatangan Godot. Entah sudah berapa lama mereka menanti. Keduanya tak lagi ingat apakah telah menunggu seharian, seminggu, sebulan, setahun, atau bahkan belasan tahun.
Estragon: “Let’s go.”
Vladimir: “We can’t.”
Estragon: “Why not?”
Vladimir: “We’re waiting for Godot.”
Kedua sahabat itu tak henti berdebat untuk memutuskan apakah harus pergi atau tidak. Mereka sudah begitu lelah menunggu, tapi bagaimana jika Godot datang ketika mereka berdua pergi? Begitu pikir keduanya.
Pada akhirnya, mereka sepakat untuk setia menunggu kehadiran Godot. Mereka yakin darinyalah hidup mereka akan menjadi lebih baik. Seandainya Godot tak datang pun, “menunggu” telah menjelma menjadi suatu “perjuangan” dan “harapan” dalam hidup Vladimir dan Estragon.
Penantian Vladimir dan Estragon adalah drama teater yang populer di akhir tahun 1950-an. Drama dua babak berjudul Waiting for Godot itu masih amat relevan hingga sekarang. Lihat saja Aksi Kamisan di Jakarta.
Di bawah payung hitam yang beratapkan langit terik, Aksi Kamisan yang telah berjalan 12 tahun tak ubahnya Vladimir dan Estragon. Setiap Kamis, para korban maupun keluarga mereka berdiri di depan Istana Presiden, menuntut dan menunggu penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berlarut tak tertuntaskan.
Kamis, 24 Oktober 2019, Aksi Kamisan digelar untuk yang ke-607 kalinya di luar Istana. Aksi “diam” itu digelar berbarengan dengan meriahnya rapat pertama Kabinet Indonesia Maju di dalam Istana.
Kali itu, para aktivis HAM menambah tuntutan. Mereka menolak penetapan Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan oleh Presiden Jokowi. Keputusan politik itu membuat kening aktivis hak asasi manusia semakin berkerut.
Prabowo diduga melakukan pelanggaran HAM berat dengan membentuk Tim Mawar untuk menculik 23 aktivis pro-demokrasi pada 1998.
Meragukan komitmen Jokowi dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM memang bukan hal baru. Lima tahun sebelumnya, janji-janji manis Jokowi untuk menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu terucap. Namun janji tinggal janji.
Mulai dari kasus kerusuhan Mei, Trisakti, Semanggi I dan II, Penghilangan Paksa, Talang Sari Lampung, Tanjung Priok, sampai Tragedi 1965 pada zaman dahulu kala, diyakinkan bakal tuntas sesuai Nawa Cita yang dicanangkan Jokowi pada masa kampanyenya lima tahun silam.
Apa boleh buat, penantian dan harapan belum berujung. Pada periode pertamanya menjabat sebagai presiden, belum ada satu pun kasus pelanggaran HAM yang diselesaikan Jokowi. Ia malah memberikan posisi penting kepada orang-orang yang diduga terlibat kasus pelanggaran HAM berat.
Misalnya, mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Wiranto yang kerap dikaitkan dengan penculikan aktivis hingga kasus pelanggaran HAM di Timor Leste, diangkat menjadi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan 2016- 2019.
Mantan Panglima Kodam Jaya Letjen (Purn) Sutiyoso yang diduga ikut bertanggung jawab dalam peristiwa Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli 1996) diangkat menjadi Kepala Badan Intelijen Negara 2015-2016.
Mantan Kepala BIN AM Hendropriyono yang disebut-sebut terlibat kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib dan kasus Talangsari Lampung diberi posisi sebagai Penasihat Tim Transisi Jokowi-JK.
Tak cuma itu, sepanjang masa kepemimpinan Presiden Jokowi, langkah penuntasan pelanggaran HAM lewat Pengadilan Ad Hoc mandek. Berkas penyelidikan Komnas HAM atas pelanggaran HAM masa lalu tak pernah menembus kejaksaan untuk ditindaklanjuti. Lembaga penegak hukum itu selalu beralasan soal teknis pembuktian tanpa terobosan.
Jika presiden punya itikad menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu seharusnya bolak-balik berkas dari Komnas HAM ke Kejaksaan Agung disetop. Presiden tinggal meminta jaksa untuk mengakhiri beda pendapat dan menyusun solusi.
Itikad presiden inilah kunci penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu melalui pengadilan. Itikad ini pula yang akan memenuhi perjalanan bekas pelanggaran HAM seperti amanat UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Berkas lengkap kejaksaan akan dilanjutkan dengan rekomendasi DPR lantas Presiden mengeluarkan keppres pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc.
Tapi lagi-lagi berharap itikad presiden ini seperti menunggu Godot yang tak pernah datang.
Pemerintah justru berkukuh menempuh jalur non-yudisial. Jokowi seperti tersandera orang-orang di lingkarannya yang tak ingin kasus pelanggaran HAM diutak-atik. Alhasil, penuntasan kasus pelanggaran HAM jalan di tempat.
Bahkan, belum sempat juga kasus HAM masa lalu tuntas seperti yang dijanjikan, pemerintah Jokowi malah terkesan membiarkan daftar pelanggaran HAM memanjang.
Pergelutan panas Pilpres 2019 berbuntut pada aksi 21-23 Mei yang berakhir dengan tewasnya 9 orang saat terjadi kerusuhan.
Tambah lagi kerusuhan di penjuru Papua yang salah satunya dipicu oleh aksi rasisme terhadap mahasiswa Papua yang tengah studi di Surabaya, pertengahan Agustus lalu.
Sampai Jokowi kembali dilantik untuk kedua kalinya sebagai presiden, dugaan pelanggaran HAM dalam insiden 21-23 Mei dan Papua tak kunjung selesai.
Pada poin berikutnya adalah kekerasan aparat terhadap mahasiswa dalam demonstrasi penolakan berbagai RUU kontroversial. Aksi 23-30 Oktober itu menewaskan lima orang.
Iktikad menyelesaikan pelanggaran HAM tak kunjung terlihat. Pada pidato kenegaraan Jokowi saat dilantik, tak satu pun frasa “hak asasi manusia” terucap dari bibirnya. Yang ia soroti ialah perkembangan ekonomi dan pembangunan infrastruktur.
Kini, alih-alih menepati janji soal penuntasan pelanggaran HAM, Jokowi tampak mengulang kesalahannya. Ia memberi kuasa dan akses logistik di bidang pertahanan kepada seorang mantan perwira tinggi yang diduga menculik aktivis. Ini, tentu saja, makin menumbuhkan pesimistis.
Pada akhirnya, menunggu penegakan HAM yang dijanjikan Jokowi memang seperti menunggu Godot—sungguh tak pasti apakah benar ia akan datang.
Detail bagaimana akhir kisah Vladimir dan Estragon, saya agak lupa. Sepertinya cerita berakhir dengan tragedi. Wajah dua sahabat itu mengeriput dan rambut mereka memutih, sedangkan Godot tak kunjung tiba.
Hingga kematian menjemput, Godot tak pernah datang. Menunggu Godot yang dipandang sebagai “perjuangan” dan “harapan” akhirnya sekadar menjadi penantian konyol.
Kita tentu berharap, hal itu tak terjadi di sini. Penantian atas penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia mestinya memiliki ending berbeda dengan kisah Godot.
Yang perlu diantisipasi adalah, bila orang yang dulu menjanjikan Godot akan datang memiliki hidung yang semakin panjang.