Menjajal Kos Kapsul

Ridho
First and foremost, I am just a writer. Plain and simple, like Dennis Bergkamp dribbling a ball.
Konten dari Pengguna
6 September 2019 12:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ridho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penghuni Kos Kapsul. Desainer: Putri Sarah A./kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Penghuni Kos Kapsul. Desainer: Putri Sarah A./kumparan
“Dho, kamu pernah tinggal di kos kapsul?” tanya seorang redaktur, memanggilku yang sedang asyik mendengar lagu via aplikasi streaming.
Aku menggeragap sejenak sebelum menjawab, “Pernah. Nginep semalam doang sih di kos teman dekat kampusnya.”
“Oke, coba tulis gimana rasanya pengalaman kamu nginep di sana,” katanya.
Aku—yang magang di kumparan sejak bulan lalu sampai akhir tahun nanti untuk melihat dari dekat cara kerja wartawan—langsung mengiyakan. Sekadar menceritakan pengalaman menginap apa susahnya, pikirku.
Kos kapsul ramai dibahas sejak kos sejenis di kawasan Johar Baru, Jakarta Pusat, disegel lantaran dinilai tak layak huni. Walau begitu, penghuninya punya perspektif berbeda. Mereka justru merasa terbantu dengan kos ala sleep box tersebut.
Ilustrasi. Suasana kos kapsul di Jakarta. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Kos yang pernah kuinapi berlokasi di dekat salah satu kampus di Jakarta. Kos itu disewakan khusus untuk laki-laki. Harga satu kabin kapsul kalau tak salah berkisar Rp 50 ribu-60 ribu per hari. Bila mau sewa langsung untuk sebulan, dikenakan biaya sekitar Rp 600 ribu.
Seperti kos umumnya—atau juga hostel, kos kapsul yang kusambangi itu punya ruang bersama untuk tempat bersantai para penghuninya. Di ruangan itu, televisi layar datar (LED) tergantung di dinding. Namun TV itu tampaknya tak terlalu diminati. Para penghuni kos lebih senang bersenda gurau sembari menyesap kopi dan mengisap rokok ketimbang menonton TV.
Di ruangan itu juga terdapat lemari kabinet berisi kopi, teh, mi instan, dan air mineral. Lengkap dengan kompor dan bak cuci piring. Sementara di sudut lain, terdapat empat toilet dan tempat mencuci baju. Semua fasilitas itu untuk digunakan bersama. Nuansanya betul-betul seperti hostel untuk backpacker.
Oh, musala juga ada di kos itu. Tak jauh darinya, tersedia deretan loker untuk menaruh barang-barang penghuni kosan.
Kamar tempatku bermalam berukuran sekitar 4 x 4 meter. Di dalamnya berjajar kabin-kabin kapsul bertingkat—atas dan bawah—yang satu sama lain bersekat tripleks tebal. Kamar itu dilengkapi pendingin ruangan alias AC.
Itu kali pertama aku menginap di kabin kapsul. Kebetulan kabin di sebelah kabin kawanku sedang kosong ditinggal penghuninya pulang kampung, sehingga aku mendapat izin pemiliknya untuk menempatinya barang semalam. Waktu itu, aku habis lembur menggarap tugas sehingga terlalu lelah serta mengantuk untuk berkendara pulang.
Ilustrasi. Kos kapsul di Jakarta. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Kabin kapsul yang aku pinjam malam itu sangat sederhana namun rapi jali. Di dalamnya, kasur bantal berbalut seprai rapi tertata. Tersedia pula lampu dan stopkontak. Jadi, tak perlu cemas tak bisa baca buku atau mencari colokan listrik untuk mengisi ulang baterai ponsel.
Hari masih sore, namun tubuhku sudah meraung minta direbahkan. Aku juga ingin segera merasakan sensasi berbaring di kabin kapsul. Tapi oh tapi… masuk ke kabin kapsul ternyata membutuhkan teknik tersendiri.
Aku perlu tiarap lebih dulu untuk bisa masuk ke dalamnya. Aku juga mesti menjaga keseimbangan tubuh supaya tidak menyenggol sekat kabin—yang meski terlihat tebal ternyata bikin gaduh ‘jedag-jedug’ kalau tersenggol kaki atau tangan.
Kalau aku tinggal cukup lama di kos kapsul macam itu, sepertinya aku harus mengasah kemahiran masuk ke dalam kabin agar tidak menimbulkan prahara dengan tetangga tidur.
Setiba di dalam kabin, ternyata ruangan kabin memungkinkan bagiku untuk duduk nyaman di dalamnya. Jarak antara kepala dengan atap kabin mungkin sekitar dua jengkal. Lumayanlah…
Tapi baru juga beberapa menit, aku merasa hawa jadi gerah. Padahal AC menyala. Tak lama kemudian, aku membuka pintu kamar untuk mendapat udara ekstra dari luar ruangan. Dan akhirnya alih-alih tidur, aku malah nongkrong di ruang bersama. Ah, dasar aku tak biasa tinggal di kabin kapsul. Untung saja, WiFi di ruang tengah itu sangat dahsyat, sehingga aku bisa berselancar di jagat maya dengan asyik.
“Daripada uang habis buat bayar tempat tinggal, mending yang murah begini. Sisa uangnya bisa kita tabung,” ujar seorang berkaus oblong yang duduk tak jauh dariku. Ia membuka obrolan sambil mengepulkan asap rokok dari bibirnya. Rupanya, ia akademisi yang hendak berhemat di tahun-tahun awal kariernya.
“Berhemat” memang jadi kata kunci di sini. Penghuni lain kos itu yang perantau dari luar pulau, juga getol menabung sebagian gajinya. Ia tak mau repot-repot bayar mahal demi ruang tinggal lebih luas dan nyaman.
Ilustrasi. Penghuni kos kapsul. Foto: Getty Images
Malam merayap, dan udara di kamar tak lagi pengap. Entah kenapa, di tempat “asing” itu, aku jadi sering melamun. Aku membayangkan kamarku sendiri—yang bukan kabin kapsul.
Mungkin mencari kosan yang pas di hati memang bukan perkara gampang. Bisa jadi itu sama sulitnya dengan mencari jodoh: mana yang bisa membuat kita nyaman dan merasa cocok.
Apa pun, kos kapsul bisa jadi solusi alternatif bagi kaum urban yang hendak berhemat.
Malam kian larut, dan AC kamar terasa semakin dingin. Tubuhku sepertinya sudah mulai beradaptasi dengan hawa kabin kapsul. Di sekotak ruang itu, aku pun memejamkan mata.