Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Intrik dan Polemik Sekulerisme di Indonesia
14 Maret 2024 7:27 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Ridha Furqon Wahyu Ramdhani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebelum kita memasuki kepada tahapan yang lebih dalam, saya ingin mengingatkan bahwa tulisan ini hanya berfokus sebagai reflektifitas sekulerisme di Indonesia. Nilai sekuler pertama berkembang di Eropa pada abad ke-15, yang dimana kondisi sosial dan politik pada saat itu di dominasi oleh Gereja mengakibatkan penolakan atas ilmu pengetahuan yang bertolak belakang dengan apa yang di ajarkan Gereja. Beberapa ilmuan terkemuka seperti Copernicus dan Bruno harus meregang nyawa lantaran ide serta gagasannya yang dirasa bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh Gereja. Sekulerisme sendiri pertama kali diperkenalkan oleh George Jacub Holyoake yang mengatkan “sekulerisme adalah suatu system etik yang didasarkan pada prinsip moral alamiah dan terlepas dari agama, wahyu atau supernaturalisme”. Jadi dapat kita simpulkan bahwa konsep Sekulerisme ialah suatu usaha untuk memisahkan antara agama dan pemerintahan meskipun dapat kita ketahui juga nilai Sekulerisme ini terus berkembang dengan berbagai bentuk dan pengklasifikasian.
Sekulerisme di Indonesia
Sudah bukan hal yang baru lagi dimana kita rakyat Indonesia mengalami isu sekuler, terkhusus Ketika pemilu akan, maupun sedang berjalan. Isu agama dalam ranah politik ini seakan menjadi suatu kebiasaan maupun tabiat yang dipergunakan untuk mendeskriminasi maupun melegitimasi sikap politik para calon-calon penguasa. Pada dasarnya penggunaan agama sebagai identitas politik merupakan suatu hal yang sah-sah saja digunakan hanya saja harus sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam agama itu sendiri (disini saya mengatakan agama berarti semua yang di akui di Indonesia, bukan agama tertentu). Dalam Pancasila saja nilai ke-Tuhanan ditempatkan pada point pertama di atas kemanusiaan, persatuan, perwakilan, dan keadilan. Agama menjadi sebuah etika nilai yang selayaknya tidak terpisahkan dari suatu individu sehingga sikap maupun policy yang akan dikeluarkan nantinya sesuai dengan etika nilai yang berkembang di Masyarakat sebagaimana kita mengetahui bahwa rakyat Indonesia adalah manusia yang beragama. Dalam salah satu teori politik yang biasa disebut dengan Black Box of Government, nilai yang tersebar dimasyarakat merupakan bahan yang semestinya digunakan dalam setiap policy atau kebijakan pemerintah, dikarenakan etika nilai tertinggi ialah agama. kita dapat mengambil contoh pada masa kekhalifahan Abbasiyah Harun Ar-Rasyid 766-809 Masehi, agama dijadikan satu oleh pemerintahan sehingga era tersebut biasa disebut dengan Islamic Golden Age. Peran agama begitu fundamental dikalangan Masyarakat, ditambah lagi pemerintah yang sangat mendukung kajian-kajian filsafat dan agama sehingga ilmu pengetahuan berkembang dengan pesatnya dimasa itu. Penyatuan agama tidaklah merupakan hal yang buruk selama nilai tersebut tidak di nodai oleh kepentingan-kepentingan kelompok maupun golongan tertentu.
ADVERTISEMENT
Sistem politik Indonesia sejatinya bukanlah sebuah sistem sekuler, melainkan sistem yang netral dan tidak mengekang agama apapun untuk ikut berpartisipasi dalam politik sebagaimana pada UUD 1945 pasal 28D ayat 3 “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan” dan pasal 29 ayat 1 dan 2 “Negara berdasar atas ketuhanan yang maha esa. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu”. Beragama dan berpolitik merupakan suatu hal yang harus tetap berjalan seiringan dan berdampingan sehingga nilai yang tersebar dimasyarakat dapat diakomodir dengan sebaik-baiknya.