Konten dari Pengguna

Dari Dominasi ke Emansipasi: Dekonstruksi Narasi Lingkungan di Bendung Tirtonadi

Ridwan Pambudi
Co-founder and Project Director of Karst Progressive & Master's Graduate of Environmental Management, University of New South Wales (UNSW) Sydney, Australia
14 Januari 2025 17:15 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ridwan Pambudi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar 1. Potret taman dan aktivitas anak-anak pada sore hari di Bendung Tirtonadi (sumber: dokumentasi pribadi penulis)
zoom-in-whitePerbesar
Gambar 1. Potret taman dan aktivitas anak-anak pada sore hari di Bendung Tirtonadi (sumber: dokumentasi pribadi penulis)
ADVERTISEMENT
Prolog
Beberapa tahun yang lalu, musim hujan sering kali membawa petaka bagi masyarakat sekitar Terminal Tirtonadi, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta. Mengutip laman Kementerian Keuangan, wilayah ini kerap dilanda banjir karena letaknya berada di dataran rendah, yang menjadi titik pertemuan beberapa sungai. Namun, sejak rampungnya proyek revitalisasi Bendung Tirtonadi pada tahun 2018, banjir yang sebelumnya menjadi ancaman rutin dikabarkan telah teratasi.
ADVERTISEMENT
Menelan total biaya sebesar Rp 211,5 miliar, selain mengatasi ancaman banjir, proyek ini juga mencakup penataan bantaran sungai menjadi taman (gambar 1). Keberadaan infrastruktur pengendali banjir yang disertai dengan taman ini lazim dinarasikan oleh berbagai media sebagai destinasi baru wisata edukasi lingkungan. Hal ini sejalan dengan visi Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat kala itu, Basuki Hadimuljono, yang menginginkan situs ini dapat mengedukasi masyarakat yang berkunjung mengenai pentingnya air serta pengelolaannya yang berkelanjutan.
Observasi: dari imajinasi hingga interaksi
Mengingat terbatasnya ruang terbuka hijau di Indonesia, berbagai berita positif tentang situs ini memikat penulis untuk mengunjunginya. Pada siang hari yang relatif sepi, penulis mendapatkan kesempatan untuk mengamati berbagai elemen situs ini secara mendalam. Dari sekian banyak yang diamati, rumah kaca dan media tanam vertikal di sisi utara menjadi daya tarik utama (gambar 2). Objek ini dengan mudah memicu imajinasi tentang bagaimana masyarakat dapat belajar hidup lebih berkelanjutan dengan memenuhi kebutuhan pangan melalui produksi mandiri, meskipun berada di tengah keterbatasan lahan perkotaan.
Gambar 2. Media tanam vertikal di sisi utara Bendung Tirtonadi (sumber: dokumentasi pribadi penulis)
Menjelang sore hari, suasana berubah lebih hidup dengan banyaknya pengunjung yang berdatangan (gambar 3). Hal ini memberikan kesan bahwa situs ini tidak hanya berfungsi sebagai wahana edukasi lingkungan tetapi juga menjadi ruang sosial bagi masyarakat. Namun, di tengah riuhnya pengunjung, penulis mulai menyadari bahwa tampaknya tujuan wisata edukasi lingkungan di Bendung Tirtonadi berupa meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mengadopsi sikap dan kebiasaan yang lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan dalam kehidupan sehari-hari akan sulit terwujud.
Gambar 3. Suasana Bendung Tirtonadi pada sore hari (sumber: dokumentasi pribadi penulis)
Skeptisisme penulis bukan hanya tumbuh dari artikel "The Effectiveness of Environmental Education: Can We Turn Tourists into ‘Greenies’?" oleh Mark B. Orams (1997), yang mengkritik bahwa tujuan wisata edukasi lingkungan sering kali terlalu menyederhanakan kompleksitas perubahan kebiasaan manusia, tetapi juga dari realitas yang ditemui di lokasi. Sepanjang pengamatan penulis, alih-alih menjalin hubungan atau berkontemplasi secara bermakna terhadap kehadiran alam ‘lebih dari manusia’ (more-than-human), mayoritas pengunjung justru sibuk bercengkerama dengan sesama dan berswafoto dengan infrastruktur jembatan atau objek dekoratif bingkai raksasa sebagai latar belakangnya (gambar 4). Tanpa adanya perubahan, para pengunjung akan selalu melewatkan kesempatan penting yang menurut Louise Chawla (2002) dalam "Spots of Time: Manifold Ways of Being in Nature in Childhood" dapat memberikan ingatan, imajinasi, dan keterhubungan yang lebih dalam dengan ‘lebih dari manusia’.
ADVERTISEMENT
Gambar 4. Objek dekoratif bingkai raksasa di Bendung Tirtonadi (sumber: dokumentasi pribadi penulis)
Membaca simbol-simbol dominasi manusia
Namun demikian, setelah meninjau kembali berbagai objek di situs ini, mungkin dua aktivitas yang sebelumnya dilakukan oleh para pengunjung tersebut merupakan pilihan yang terbaik. Hal ini lantaran sekalipun pengunjung meluangkan waktu untuk merefleksikan kehadiran atau berinteraksi dengan ‘lebih dari manusia’, hal tersebut tampaknya tidak akan membawa perubahan yang signifikan, bahkan justru melanggengkan penindasan yang sering kita lakukan terhadap mereka dalam kehidupan sehari-hari. Ini dikarenakan keberadaan dan kondisi ‘lebih dari manusia’ di situs ini secara simbolis ditinjau melalui lensa kritik ekofeminisme yang diuraikan Anna Kosovac (2021) dalam "Masculinity and Smart Water Management: Why We Need a Critical Perspective", justru memperlihatkan maskulinitas manusia yang tengah mengontrol mereka. Situasi ini dapat dilihat dari pepohonan yang ditanam di taman yang berfungsi memperindah dan membuat sejuk taman, namun dengan sengaja dibatasi agar akar mereka tidak tumbuh melampaui ruang yang telah ditentukan (gambar 5).
Gambar 5. Salah satu pohon di sisi selatan Bendung Tirtonadi yang ruang hidupnya dibatasi (sumber: dokumentasi pribadi penulis)
Manifestasi dominasi manusia terhadap ‘lebih dari manusia’ juga terlihat lebih jelas dalam keberadaan infrastruktur pengendali banjir, yang menjadi pemandangan utama dari situs ini. Tanpa refleksi kritis dari para pengunjung, infrastruktur ini berpotensi menyempitkan cara kita memaknai air, yang hanya dilihat sebagai ancaman bagi eksistensi manusia, sehingga harus dijinakkan. Sementara pada sisi yang lain, hal ini juga berpotensi menyamarkan peran manusia dalam memicu bencana tersebut, terutama melalui perubahan tutupan lahan yang masif akibat perluasan pemukiman di Kota Surakarta, yang meningkatkan laju erosi, sedimentasi, dan menghilangkan area resapan air. Dengan berlandaskan pemahaman-pemahaman ini, solusi berbasis infrastruktur yang mengendalikan alam pada akhirnya dianggap sebagai satu-satunya pendekatan yang dapat mengatasi permasalahan—yang terus direproduksi dalam benak para pengunjung.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh lagi, kehadiran objek buatan menyerupai penguin yang difungsikan sebagai tempat sampah (gambar 6) berpotensi memperburuk kesadaran ekologis yang diharapkan tumbuh di situs ini. Objek ini, yang mungkin awalnya dimaksudkan untuk menghias taman dan memperkenalkan biodiversitas, justru secara vulgar mencerminkan kurangnya penghormatan manusia terhadap spesies lain. Jika diterima tanpa refleksi kritis, representasi yang berakar pada antroposentrisme ini justru dapat melanggengkan kesewenang-wenangan manusia dalam berhubungan dengan ‘lebih dari manusia,’ di mana spesies lain hanya dihargai berdasarkan kebermanfaatannya bagi manusia, tanpa mengakui nilai intrinsik mereka.
Gambar 6. Objek patung penguin yang digunakan sebagai tempat sampah di Bendung Tirtonadi (sumber: dokumentasi pribadi penulis)
Epilog
Bendung Tirtonadi, beserta narasi lingkungan yang menyertainya, merupakan satu dari banyak intervensi teknologi atau infrastruktur di Indonesia yang melanggengkan dominasi manusia terhadap ‘lebih dari manusia’. Di tengah krisis iklim dan lingkungan yang kita hadapi saat ini, alih-alih mempertahankan dominasi yang telah terbukti membawa kita pada krisis tersebut, kita seharusnya, seperti yang diusulkan Phillipp Frey dkk. (2021) dalam “Towards Emancipatory Technology Studies”, menempatkan teknologi sebagai alat emansipasi, baik bagi manusia maupun spesies lainnya.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks penanggulangan bencana banjir, langkah awal yang penting adalah mengakui peran manusia dalam menciptakan bencana sekaligus menyadari antroposentrisme sebagai akar permasalahan. Pendekatan ini membuka ruang bagi solusi yang lebih holistik, tidak hanya terbatas pada pembangunan infrastruktur seperti bendungan, tetapi juga mencakup dan tidak terbatas pada peningkatan rencana tata ruang yang lebih berpihak kepada ‘lebih dari manusia’. Selanjutnya, dalam konteks mendesain infrastruktur air yang memiliki fungsi lain sebagai wahana edukasi lingkungan, alih-alih menormalisasi sungai, pendekatan naturalisasi sungai dapat dipertimbangkan. Dengan demikian, keberadaan kembali alam non-manusia secara signifikan dapat memberikan pengunjung kesempatan untuk merasakan kehadirannya dan berinteraksi langsung dengannya. Hal ini memperbesar peluang tumbuhnya kepedulian ekologis yang emansipatoris, yang pada akhirnya dapat mengikis dominasi kita terhadap mereka.
ADVERTISEMENT