Konten dari Pengguna

Stabilitas Transisi Kekuasaan Melalui Meritokrasi Birokrasi dan Kabinet

ridwan budiman
ASN di Sekretariat Jenderal DPR RI, Alumni Diklat Lemhannas RI 2024, Alumni Sekolah Ekonomi Politik INDEF, Alumni Fisipol UGM
7 Oktober 2024 17:10 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari ridwan budiman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Meritokrasi di Birokrasi (foto: pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Meritokrasi di Birokrasi (foto: pixabay.com)
ADVERTISEMENT
Transisi kekuasaan, khususnya di negara demokrasi, bagaikan memegang sebilah pedang. Jika kita tidak mampu mengelolanya, ia akan melukai diri sendiri. Namun, jika kita pandai menggunakannya, ia malah akan bermanfaat banyak, seperti untuk memotong daging, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Transisi kekuasaan sering berjalan baik, tapi pun tak jarang timbulkan percikan. Negara Mesir pernah mengalami buruknya transisi kekuasaan tersebut. Presiden Mursi yang terpilih secara demokratis dalam Pilpres di 2013, akhirnya dikudeta oleh Jenderal Abdul Fattah As-sisi yang tidak lain adalah komandan militer Mursi sendiri. Situasi politik Negeri Piramida tersebut berubah total: dari rezim demokratis masuk ke dalam suasana gelapnya otoritarianisme.
Pun halnya di Indonesia. Transisi kekuasaan penuh konflik sudah pernah dialami negeri ini. Pergolakan tidak hanya di level elit, tetapi juga terjadi di akar rumput. Gejolak yang awalnya menyangkut ekonomi, berubah ke ranah sosial, lalu merambah ke politik, yang ditandai dengan pergantian rezim secara drastis. Meskipun demikian, pascatragedi memilukan 1998 itu, Indonesia belajar banyak dengan menjaga stabilitas sosial dan politik di tiap kali terjadi transisi kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Salah satu pelajaran penting dari peristiwa 1998 itu adalah konsolidasi sosial-politik di semua level strategis. Salah satunya adalah perbaikan sistem yang lebih mengedepankan profesionalisme dan penguatan mekanisme pengawasan melalui pembentukan berbagai lembaga (institusionalisme). Presiden BJ Habibie menaikkan gaji PNS hampir 100 persen sebagai bentuk apresiasi terhadap kesejahteraan pegawai, Presiden Megawati membentuk institusi KPK dan MK, Presiden SBY membentuk berbagai lembaga sampiran negara dalam rangka pengawasan terhadap eksekutif, hingga adanya proses konsolidasi politik yang berhasil dilakukan Presiden Jokowi saat ini.
Linz dan Stepan (1996) menilai bahwa konsolidasi demokrasi hanya bisa berjalan dengan baik jika masuk dalam lima arena, yaitu masyarakat sipil, partai politik, penegakan hukum, aparatur negara, dan masyarakat ekonomi. Teori ini menekankan agar bagaimana institusi demokrasi dibangun dan diperkuat, sehingga stabil dan tidak mudah kembali ke rezim otoriter. Konsolidasi terjadi ketika demokrasi menjadi "aturan main" dapat diterima oleh seluruh aktor politik.
ADVERTISEMENT
Meritokrasi Kabinet
Dari sana bisa dipahami bahwa terdapat dua institusi yang harus jadi perhatian jika stabilitas politik ingin tetap terjaga di era demokrasi. Dua institusi ini harus senantiasa dijaga prinsip profesionalitasnya alias Merit System. Sehingga mereka yang terlibat di dalamnya bukan berdasarkan subjektivitas, melainkan objektivitas terukur berdasarkan rekam jejaknya.
Meritokrasi dalam aspek pertama harus berlangsung saat formasi kabinet yang dipilih oleh rezim berkuasa (Kabinet Zaken). Istilah ini merujuk pada pengertian bahwa para menteri yang diangkat oleh presiden merupakan menteri yang berasal dari kalangan ahli, bukan berasal dari kalangan partai. Meskipun demikian, dalam praktik dan sejarahnya, formasi kabinet yang terbentuk sejak zaman Presiden Soekarno hingga sekarang tidak pernah tidak diisi dari kalangan partai.
ADVERTISEMENT
Hal itu terlihat dari tiga kabinet di era Presiden Soekarno yang bahkan kerap disebut dalam sejarah sebagai Kabinet Zaken. Pertama, Kabinet Djuanda. Periode pemerintahan Kabinet Djuanda dimulai dari 9 April 1957 sampai dengan 5 Juli 1959. Beberapa nama menteri yang menjabat di antaranya adalah Djuanda Kartawidjaja (Perdana Menteri/nonpartai), Hardi (Wakil Perdana Menteri I/PNI), dan Idham Chalid (Wakil Perdana Menteri II/NU).
Kedua, Kabinet Natsir yang masa pemerintahannya dimulai pada 6 September 1950 sampai dengan 21 Maret 1951. Di antara nama menterinya adalah Mohammad Natsir (Perdana Menteri/Partai Masyumi), Sri Sultan Hamengkubuwana IX (Wakil Perdana Menteri/nonpartai), dan Tandiano Manu (Menteri Pertanian/PSI).
Ketiga, Kabinet Wilopo yang asa pemerintahannya dimulai pada 3 April 1952 sampai dengan 3 Juni 1953. Beberapa nama yang terdapat di dalamnya adalah Wilopo (Perdana Menteri/PNI), Prawoto Mangkusasmito (Wakil Perdana Menteri/Masyumi), dan Iskandar Tedjasukmana (Menteri Perburuhan/Buruh).
ADVERTISEMENT
Dalam pandangan penulis, sebenarnya Kabinet Zaken tidak hanya berhenti di tiga periode itu saja. Melainkan, di tiap-tiap rezim presiden yang berkuasa juga memiliki standardisasi dan komposisinya sendiri, untuk memadukan unsur, baik dari kalangan partai maupun nonpartai. Bahkan, unsur ormas, asal daerah, hingga keterwakilan dunia internasional menjadi perhatian.
Dengan kata lain, sebenarnya, proses konsolidasi demokrasi melalui pembentukan kabinet yang berasal dari beragam unsur tidak melulu dimaknai sebagai suatu politik dagang sapi. Melainkan juga bagian untuk memperkuat sistem meritokrasi yang sangat kompleks, disesuaikan dengan kebutuhan untuk menjaga stabilitas saat terjadi transisi kekuasaan.
Meritokrasi Birokrasi
Tak cukup sampai di situ. Meritokrasi dalam rangka menjaga stabilitas saat transisi kekuasaan, juga harus terjadi di ranah penyelenggara pemerintahan, yaitu aspek birokrasi. Sebagai suatu katalisator pembangunan, birokrasi adalah unsur terpenting yang berada di antara dua ranah: elit dan akar rumput. Birokrasi adalah institusi penerjemah kebijakan dari elit ke akar rumput, sekaligus agregator aspirasi akar rumput untuk dibahas oleh para elit pengambil kebijakan.
ADVERTISEMENT
Birokrasi yang dibangun berdasarkan meritokrasi, mendorong setiap aktor (pegawai) di dalamnya untuk tidak terjebak dalam kepentingan politik sesaat. Aktor ini bekerja hanya untuk kepentingan negara dan publik, sebagaimana sumpah jabatannya selama ini. Proses rekruitmen, promosi, hingga mutasi yang dibangun dalam sistem birokrasi tersebut pun berdasarkan meritokrasi yang transparan.
Pelembagaan meritokrasi di tubuh pegawai, khususnya, para ASN ini, sebenarnya sudah pernah terjadi dengan hadirnya Komite Aparatur Sipil Negara (KASN). Komite yang dibentuk di era Presiden SBY ini merupakan implementasi konkret dalam rangka menjaga meritokrasi di tubuh ASN. Sehingga, mereka tidak tergoda dalam tarik-menarik kepentingan sesaat, sekaligus menjaga agar profesionalitas dan integritas dalam bekerja terus dilaksanakan sebaik mungkin.
Terlepas dari dinamika politik yang ada, menurut penulis, pelembagaan meritokrasi di tubuh ASN di luar institusi kementerian, menjadi penting. Pelembagaan ini tidak dapat tercampur dengan kebijakan kementerian yang sarat dengan kepentingan politik, karena status menteri adalah jabatan politik. Meskipun demikian, dengan adanya revisi UU ASN terbaru, di mana fungsi meritokrasi ASN dimasukkan menjadi salah satu tupoksi kementerian terkait, maka harus dapat dipastikan seluruh kebijakan terkait ASN bukan berdasarkan like or dislike, melainkan harus terukur, transparan, dan profesional.
ADVERTISEMENT