Harun, Nasi Goreng, dan Nostalgia Dipatiukur Lama

Ridwan Luhur Pambudi
Mahasiswa S1 Jurnalistik Universitas Padjadjaran
Konten dari Pengguna
25 Juni 2023 13:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ridwan Luhur Pambudi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tiap menjelang magrib, Harun sibuk menata kios nasi goreng miliknya yang berlokasi di dekat Unpad Dipatiukur Bandung. Seperti pedagang lain, Harun bersiap-siap mencari rezeki di area yang setiap malamnya terkenal jadi pusat wisata kuliner. Untungnya, Ia tak perlu lagi mendirikan tenda karena kios milik Harun telah berdiri lama di pinggir jalan. Sekitar pukul setengah enam sore, dengan cekatan Harun mengeluarkan perlengkapan dan bahan memasak dari gerobak tua yang sebelumnya telah ia dorong.
Harun, pedagang nasi goreng di Dipatiukur, Bandung. (Dok. Ridwan Luhur)
Kios nasi dan mie goreng milik Harun menjadi kios dengan kuliner yang jarang ditemui di area itu. Dirinya berusaha bertahan di tengah serbuan penjual ayam-bebek goreng yang mulai menjamur di sekitar kiosnya.
ADVERTISEMENT
“Ayam bebek itu sebenarnya baru sekarang, dulu (di sini banyaknya) bubur kacang, roti bakar, martabak, gorengan,” ucap Harun.
Ingatan Harun tentang Dipatiukur masih bertahan hingga sekarang. Dirinya mengaku telah puluhan tahun berjualan di tempat itu. Harun ingat saat awal berjualan nasi goreng, satu porsinya ia banderol dengan harga Rp250 kala itu sekitar tahun 80-an, dan kini sudah berada di angka Rp13.000.
Nostalgia Harun pada masa awal berjualan membawa ingatannya ke era kejayaan Dipatiukur. Masa-masa itu dinilai sulit digapai kembali, yang ada, pikirnya, justru kian menjauh.
Sebelum Unpad Dipatiukur ditinggalkan mahasiswa S1, Dipatiukur disebutnya sebagai daerah ‘makmur’. Namun, titik balik akhirnya terjadi pada 2016, saat mahasiswa FEB dan FH yang menjadi mahasiswa S1 terakhir di Unpad Dipatiukur, benar-benar bermigrasi ke Jatinangor. Dari ditinggal hingga pandemi datang, malang tak hanya bagi pedagang, daerah kos-kosan pun perlahan tinggal kenangan.
ADVERTISEMENT
“2016 anak-anak pindah semua, dikasih korona, parah daerah sini, apalagi yang orang jualan, yang punya kos-kosan banyak yang kosong (tak laku),” keluhnya.
Perlahan, Harun membuka kenangan kala Dipatiukur masih ramai mahasiswa. Bukan hanya tentang dirinya, kenangan itu juga menyatu dengan banyak orang di sekitarnya. Harun bercerita soal lingkungan tempatnya berdagang sehari-hari.
“Dulu jam segini lagi rame-ramenya, (termasuk juga kos-kosan) ada satu kosan bisa lima anak,” kenang Harun.
Mengingat banyaknya kos-kosan berarti mengingatkan Harun tentang betapa ramainya area dia berjualan. Dirinya menyebut, daerah kos di area depan Unpad Dipatiukur menjadi primadona bagi mahasiswa baru kala itu.
"Dulu kan kalau anak baru carinya yang depan, (dulu) kos-kosan di sini, sekarang daerah sini sepi lah” lanjutnya sambil menunjukkan area permukiman di belakang kiosnya.
ADVERTISEMENT
Tak terasa, cerita Harun kian mengalir membahas profesi lain. Ojek menjadi hal lain yang ia ingat.
“Dulu, itu anak-anak udah banyak yang keluar, ojek tuh jam setengah tiga (sudah sibuk), rame banyak orderan,”
Pekerjaannya menjadi penjual nasi goreng selama puluhan tahun membuatnya sangat hafal pada lingkungan. Harun lihai dalam mengamati apa yang terjadi di sekitarnya.
“Fotokopi, sampai anak-anak sampai tiduran itu di depan, dulu kalau masih jaman Unpad, itu sampai depan sana, wah jangan tanya yang fotokopi, sampai malam. Sekarang, mau siang mau sore (sepi) hahaha,” ujarnya diikuti gelak tawa.
Dipatiukur yang dikenal Harun pada masa lalu memanglah sangat berbeda dengan yang terlihat hari ini. Namun, Harun bisa membuktikan bahwa tekadnya untuk terus berjualan mampu meneguhkan dirinya tetap berada di tempat yang sama. Harun adalah satu dari beberapa orang yang membuat Dipatiukur tetap hidup.
ADVERTISEMENT