Sudah Lupa dengan Gelombang Kedua?

Ridwan Luhur Pambudi
Mahasiswa S1 Jurnalistik Universitas Padjadjaran
Konten dari Pengguna
11 Februari 2022 13:42 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ridwan Luhur Pambudi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Melonjaknya angka penambahan harian covid-19 kian meyakinkan bahwa ancaman gelombang ketiga sudah kian dekat. Namun, ancaman itu tidak dibarengi kesadaran dari masyarakat, seolah telah melupakan gelombang kedua tahun lalu. (ilustrasi: covid19.go.id dan dokumentasi pribadi).
zoom-in-whitePerbesar
Melonjaknya angka penambahan harian covid-19 kian meyakinkan bahwa ancaman gelombang ketiga sudah kian dekat. Namun, ancaman itu tidak dibarengi kesadaran dari masyarakat, seolah telah melupakan gelombang kedua tahun lalu. (ilustrasi: covid19.go.id dan dokumentasi pribadi).
ADVERTISEMENT
Memasuki tahun ketiga pandemi COVID-19 di Indonesia, pembahasan tentang virus Corona seakan tak ada habisnya. Setelah melandai hingga akhir tahun 2021 lalu, kasus konfirmasi positif kembali naik signifikan pada awal tahun 2022 ini. Pada saat yang sama, topik tentang korona kembali ramai menggema di berbagai media, terlebih kehadiran varian baru Omicron yang disebut lebih cepat menular daripada varian sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Kenaikan kasus harian yang terjadi mulai pada awal Januari hingga saat ini terbilang tinggi dan cukup cepat. Hal ini, dapat dilihat dari angka penambahan harian selama tiga bulan terakhir yang cenderung berada di bawah seribu dan terus menurun, bahkan sempat beberapa kali menyentuh angka 100-an kasus pada Desember 2021, tetapi dalam kurun waktu kurang dari satu bulan, angka hariannya melonjak menjadi puluhan ribu kasus. Tak hanya itu, angka keterisian rumah sakit juga dilaporkan meningkat dan membuat pemerintah harus kembali mempersiapkan segala kebutuhan untuk perawatan pasien, sekaligus menghadapi lonjakan yang diperkirakan puncaknya akan terjadi pada bulan Februari. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga telah menyebut bahwa saat ini Indonesia sudah memasuki awal gelombang ketiga.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Sudah Jenuh
Lonjakan yang telah terjadi pada saat ini sayangnya tidak dibarengi dengan kesadaran masyarakat. Pendapat yang meremehkan virus korona kian kentara di media sosial. Di Facebook contohnya, setiap kali ada media yang mengunggah berita tentang COVID-19, warganet membanjiri kolom komentar dengan opini mereka yang tak lagi percaya akan ancaman virus korona. Sementara itu, di media sosial twitter, beberapa warganet "menyerang" para dokter yang twitnya membahas COVID-19 dan vaksinasi. Mereka menyebut para dokter itu sebagai "sales vaksin".
Komentar keraguan terhadap COVID-19 oleh masyarakat melalui media sosial pada saat ini memiliki kecenderungan yang sama, yaitu anggapan bahwa momentum pandemi di Indonesia dibisniskan oleh sekelompok orang. Bukan tanpa alasan, kabar mengenai dugaan adanya pejabat yang melakukan bisnis dari tes COVID-19 dilaporkan oleh salah satu media nasional. Pejabat tersebut juga menjadi tokoh penting dalam penanganan pandemi, termasuk mewajibkan tes COVID-19 (PCR) bagi masyarakat yang ingin bepergian.
ADVERTISEMENT
Meskipun kabar ini dibantah oleh pejabat terkait dengan menyebut dirinya tidak mengambil keuntungan apa pun, isu ini sudah ramai menjadi perbincangan dan telah membuat masyarakat kehilangan kepercayaan. Selama dua tahun masyarakat bersabar dan berkorban kehilangan pendapatan, wajar rasanya jika mereka marah ketika ada segelintir orang yang mengambil keuntungan di atas penderitaannya. Banyak masyarakat menganggap mereka telah jenuh dipermainkan, termasuk menghadapi ketidakjelasan kapan pandemi selesai. Seakan sudah menjadi hal biasa jika saat ini banyak yang tak lagi menaati protokol kesehatan.
Wajib Diingatkan
Hilangnya kepercayaan pada masyarakat terhadap ancaman COVID-19 menjadi suatu hal yang berbahaya. Di tengah ancaman gelombang ketiga dengan varian yang lebih cepat menular, masyarakat seolah telah lupa dengan apa yang terjadi pada pertengahan tahun lalu.
ADVERTISEMENT
Pada bulan Juni 2021, gelombang kedua COVID-19 menerpa Indonesia. Dari angka 5000-an kasus perhari, melonjak menjadi puluhan ribu kasus. Puncaknya pada pertengahan Juli yang sempat menyentuh angka penambahan 56 ribu kasus dalam 24 jam. Angka kematian juga naik hingga 2 ribu kematian dalam sehari pada akhir bulan Juli 2021. Namun, ada dugaan bahwa angka kematian sebenarnya lebih tinggi dari yang dilaporkan. Beberapa kalangan menyebut menutup-nutupi data asli merupakan upaya untuk menyelamatkan muka pemerintah.
Bukan sekadar angka, yang lebih penting untuk diingat adalah situasi yang dirasakan saat itu. Varian Delta yang menjadi penyebab tingginya kasus cukup membuat rumah sakit kewalahan. Tak lagi kuat menampung, banyak pasien yang terpaksa dirawat dengan tenda darurat. Fenomena rumah sakit yang menolak pasien akibat tempat penuh jadi hal lumrah. Sebagian dari saudara kita juga harus meninggal di ambulans karena tak kunjung dapat tempat perawatan.
ADVERTISEMENT
Oksigen menjadi benda langka. Orang-orang berjejer mengantre untuk mengisi tabung oksigen merupakan pemandangan biasa. Namun, perjuangan itu bukan menjadi jaminan. Meskipun ditolong oksigen, cerita tentang keluarga yang meninggal ketika isolasi mandiri di rumah pun ramai bermunculan di media sosial. Kehilangan beberapa anggota keluarga menjadi kisah nyata dari beberapa saudara kita.
Pada saat itu, tak perlu lagi memperdebatkan ada tidaknya virus Corona. Apa yang terjadi saat itu harusnya mampu menyadarkan masyarakat tentang bahaya COVID-19. Realita tersebut semestinya cukup untuk meningkatkan kewaspadaan bagi mereka yang mau membuka mata.
Setelah enam bulan berlalu, kewaspadaan masyarakat justru kian terkikis. Pemerintah harus bekerja ekstra untuk mengembalikan kepercayaan tersebut jelang ancaman gelombang ketiga. Tak sekadar karena informasi hoaks, adanya kebijakan plin-plan dan tidak jelas juga turut menggerus kepercayaan masyarakat, terlebih mengenai ketentuan perjalanan beserta aturan karantina, sebut saja buka-tutup penerbangan internasional yang seringkali tidak tepat hingga tarik-ulur lama masa karantina. Inilah yang perlu mulai diperbaiki pemerintah untuk meyakinkan publik, setidaknya agar masyarakat percaya bahwa virus ini memang ada.
ADVERTISEMENT